2 September 2002 | 4841 kata
Oleh Chik Rini
Mengapa gerakan separatisme Aceh dikaitkan dengan terorisme?
SUATU malam Agustus tahun lalu, puluhan polisi menggerebek los-los hanggar lantai dua Blok C Pasar Minggu di Jakarta Selatan. Waktu sudah lewat tengah malam, ketika semua laki-laki yang ada di los hanggar dikumpulkan dan disuruh tiarap di lantai kotor. Beberapa polisi menyepak orang-orang itu sambil membentak.
“Kalian GAM ya?”
“Kalian yang jual ganja?”
“Kalian ikut bom ya?”
Polisi juga mencongkeli lemari dagangan, tong-tong, dan sudut-sudut yang mencurigakan mereka. Hasilnya lumayan. Polisi mendapatkan 50 butir peluru masih utuh dalam kotak kemasan, 15 bungkus daun ganja kering, puluhan pisau, golok, celurit, belasan botol minuman keras, 400 ikat kepala bertuliskan “Referendum,” spanduk-spanduk, dan satu rim pamflet yang berisi ajakan masuk GAM. Sebanyak 57 pria, kebanyakan asal Aceh, malam itu juga digiring ke kantor polisi Jakarta Selatan. Mereka dicurigai polisi sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka atau populer disebut dengan GAM.
Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, sebuah lembaga advokasi di Jakarta, yang mendapat pengaduan dari sejumlah orang Aceh, melayangkan protes kepada polisi karena penangkapan itu sewenang-wenang. Polisi dianggap menangkap para pedagang kelontong yang tak tahu dengan gerakan politik. Setelah diperiksa semalaman, hanya dua orang yang ditahan karena diduga sebagai pemilik peluru dan ganja.
Kepala polisi Jakarta Selatan Komisaris Besar Bambang W kepada Kompas mengatakan operasi itu dilakukan di daerah yang memang sejak lama dicurigai sebagai markas orang Aceh. Polisi sudah mencurigai mereka sejak awal karena bersikap tertutup dan selalu datang silih berganti tanpa alasan dan tujuan jelas. "Maksud operasi ini adalah mencari lokasi-lokasi yang diduga merupakan tempat pembuatan bahan peledak," katanya.
Pasar Minggu adalah simpul komunitas orang Aceh terbesar di Jakarta. Los hanggar yang digerebek polisi itu adalah tempat di mana orang-orang Aceh biasa berkumpul. Di situ ada orang Aceh berjualan kopi, mie Aceh, dan nasi dengan lauk khas Aceh. Tempat itu juga sering disinggahi orang Aceh yang kebetulan datang ke Jakarta. Ada yang sekedar makan atau bertemu sejumlah kerabat. Di situ juga tempat main gaple dan tempat tidur orang-orang Aceh yang tak punya rumah.
Penggerebekan malam itu terjadi beberapa hari setelah tiga tersangka pelaku pengeboman gedung Bursa Efek Jakarta: Kopral Dua Ibrahim Hasan (anggota Kostrad Divisi I Cilodong), Sersan Dua Irwan (anggota Kopassus Unit Demolisi dan Antiteror), dan seorang warga sipil bernama Nuryadin melarikan diri dari penjara Cipinang. Ketiganya dituduh polisi membom Bursa Efek Jakarta pada 13 September 2000. Ibrahim Hasan dan Irwan dikatakan telah disertir dari kesatuannya. Pangkat mereka rendah tapi prajurit macam inilah yang masih tangkas mengerjakan kerja fisik militer. Para perwira, apalagi jendral yang perutnya buncit, sudah diragukan ketangkasannya dalam menembak atau memasang bom.
Tersangka lain adalah Teungku Ismuhadi, warga Aceh di Jakarta, yang terseret karena Irwan sering datang ke bengkel mobil milik Ismuhadi di Ciganjur. Di bengkel ini polisi mengatakan bom dirakit.
Teungku Ismuhadi cukup dikenal sebagian besar orang Aceh di Pasar Minggu. Dia bendahara Forum Kerja Rakyat Aceh, sebuah organisasi pergerakan orang Aceh di Jakarta. Organisasi ini beberapa kali melakukan demontrasi besar-besaran di Jakarta, menuntut dilaksanakannya referendum di Aceh. Dalam setiap demontrasi itu, selalu melibatkan orang-orang Aceh terutama dari Pasar Minggu dalam jumlah besar.
Polisi Indonesia setidaknya menyebut tujuh kasus bom yang terkait dengan Aceh: (1) bom yang menghancurkan BEJ pada 21 September 2000; (2) bom yang meledak di asrama mahasiswa Aceh di Jakarta pada 10 Mei 2001; (3) bom mobil yang meledak di Atrium Senen pada 23 September 2001; (4) granat meledak dekat warung ayam bakar Bulungan Blok M pada 1 Januari lalu; (5) Bom rakitan ringan meledak di Cililitan dua minggu sesudah Bulungan; (6) Bom meledak 9 Juni lalu di diskotik Eksotis Mangga Dua; (7) Bom yang meledak di Graha Cijantung, sebuah gedung pusat perbelanjaan milik Komando Pasukan Khusus (Kopassus) awal Juli lalu.
Kait-mengkait tentang orang Aceh inilah yang kemudian menyeret nama GAM sebagai pelaku pemboman. Kelompok ini dituduh ingin membuat situasi Jakarta kacau. GAM dituduh ingin ekonomi Indonesia memburuk dan dolar naik sehingga GAM lebih bebas bergerak memperjuangkan kemerdekaan Aceh.
GAM konsisten membantah keterlibatan mereka dalam tujuh kasus bom di Jakarta itu. Mereka mengatakan tertangkapnya tentara-tentara Indonesia justru memperkuat dugaan mereka bahwa Tentara Nasional Indonesia tak mampu mengatur barisannya sendiri. GAM mengatakan selalu ada unsur tentara dalam tiap kasus. “Itu tuduhan untuk bisa mencap GAM sebagai teroris. Padahal militer sendiri yang terlibat. GAM tidak melakukan aksi pemboman di Jakarta,” kata Sofyan Dawod, juru bicara GAM di Aceh.
Dawod bilang pada saya bahwa GAM tak pernah mengirim pasukannya ke Jakarta. “GAM tidak kenal dengan orang-orang yang dituduh sebagai pelaku bom di Jakarta. Banyak yang mengaku-ngaku sebagai GAM. Di Jakarta ada puluhan tentara disersi yang kini membelot ke GAM. Disertir ini membantu GAM untuk mendapatkan senjata. TNI banyak terlibat memasok senjata untuk GAM. Mereka main belakang.”
Siapa yang benar, siapa yang salah masih harus dibuktikan. Tapi ribut-ribut kasus bom ini membuat Pasar Minggu tak seramai dulu. “Orang mulai agak takut datang ke sini, karena tempat ini sering dikait-kaitkan dengan GAM dan ganja,” kata Budiman, seorang pemuda Pasar Minggu. Budiman sudah delapan tahun tinggal di Pasar Minggu setelah hijrah dari kampungnya di Meureudu Pidie.
Sejarah orang Aceh di Pasar Minggu sudah dimulai puluhan tahun lalu. Mereka jadi pedagang kecil dan sangat dominan di tempat itu. Sekarang jumlah mereka membengkak seiring makin banyaknya sanak-saudara dan kenalan yang datang ke Jakarta. Orang Aceh yang tinggal di Pasar Minggu kebanyakan menjadi pedagang kelontong dan kaki lima. Sebagian lagi hidup luntang-lantung karena tak memperoleh peruntungan. Mereka inilah yang kemudian banyak terlibat dalam jual beli ganja.
“Mereka kebanyakan dari pendidikan rendah. Mereka suka curiga dengan orang asing. Mungkin dikarenakan mereka datang dari Aceh dengan latar belakang beragam,” kata Fajran Zain, ketua Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh Jakarta.
Antara 1999 dan 2000, memang banyak orang Aceh datang ke Jakarta. Alasannya, faktor ekonomi dan politik. Sejak Presiden B.J. Habibie mencabut status Daerah Operasi Militer pada 1999, kondisi Aceh makin memburuk. Perekonomian terpuruk mendorong terjadinya pengangguran di sana. Teror meningkat tajam. Banyak pembunuhan dan penculikan yang dilakukan oleh orang tak dikenal. Tentara-tentara Indonesia juga banyak melakukan kekejaman. Mereka curiga pada hampir tiap orang Aceh. Mereka juga terlibat beberapa pembantaian di mana puluhan orang Aceh, tua dan muda, ditembak mati seketika ketika tak menuruti kehendak mereka. Tahun ini setidaknya 1.000 orang sudah tewas. Militer dan GAM sama-sama jadi aktor kekerasan itu. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat dari Januari hingga Juni 2002, dari 1.771 kekerasan yang terjadi, 416 kasus dilakukan aparat Indonesia (tentara dan polisi) dalam operasi bersama, 891 kasus oleh tentara, 148 oleh polisi dan selebihnya dilakukan oleh GAM.
Keadaan ini menyebabkan banyak orang laki, terutama anak-anak muda, memilih menyingkir ke luar Aceh. Mereka banyak yang memilih Malaysia sebagai tempat pelarian. Tapi makin hari makin susah masuk Malaysia. Banyak pelarian ini yang tertahan di Pulau Batam, dekat Singapura, dan sebagian terdampar ke Jakarta.
Menurut Fajran Zain, jumlah orang Aceh di Jakarta mencapai 60 ribu lebih. Jumlah itu bertambah hampir 30 persen dibanding periode sebelum keputusan Presiden Habibie. “Ada kabar anggota GAM ramai datang ke Jakarta pada 1999-2000. Tapi sulit membuktikan keberadaan mereka di sini. GAM tidak muncul terang-terangan,” kata Fajran.
“Yang keluar dari Aceh itu bukan GAM. Mereka orang-orang sipil yang ketakutan. Banyak orang Aceh di Jakarta yang menjadi simpatisan GAM. Mereka banyak membantu perjuangan kami,” kata Sofyan Dawod.
AWAL Juli lalu ketegangan ini meningkat sesudah bom meledak di Graha Cijantung, yang berbuntut ditangkapnya enam orang, diantaranya asal Aceh. Barang buktinya berupa ribuan amunisi, senjata dan alat peledak. Sementara nun jauh di ujung Pulau Sumatra, orang-orang resah dengan rencana pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk memberlakukan status darurat sipil terhadap Aceh.
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, salah seorang pembantu terdekat Megawati, 4 Juli lalu memberi label baru untuk GAM: kelompok teroris. Yudhoyono seorang pensiunan jendral bintang tiga. Di Jakarta dia dianggap seorang jendral yang bisa membaca buku. Dia pernah kuliah di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Artinya, orangnya bisa diajak diskusi, beda dengan kebanyakan jendral Indonesia yang relatif berpikiran sempit. Yudhoyono bahasa Inggrisnya fasih dan penampilan cool yang sering membuatnya dikagumi diplomat asing di Jakarta.
“Aksi GAM itu terorisme. Dunia sudah kita beritahu bahwa sulit bagi Indonesia berdialog dengan teroris. Apakah Amerika dan negara-negara Barat berdialog dengan teroris?” kata Yudhoyono.
Lima hari sesudah bikin pernyataan itu, Yudhoyono terbang ke Aceh selama seminggu. Di sana ia bertemu dengan para pejabat sipil, militer maupun ulama, di mana ia menemukan reaksi keras para pemimpin Aceh terhadap rencana darurat sipil. Bahkan Gubernur Aceh Abdullah Puteh, yang ditunjuk Jakarta untuk memimpin Aceh, menolak proposal panas itu.
Jakarta belum bergeming. Ketika Presiden Megawati berpidato di depan sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Agustus lalu, Megawati mengatakan pemerintah hendak mengambil langkah keras menghadapi GAM. Megawati tak tersurat menyebut “darurat sipil” tapi secara tersirat orang bisa menangkap pesannya sama dengan proposal Yudhoyono.
Ancaman ini mungkin dipicu kemarahan militer setelah GAM membunuh enam anggota Pasukan Khas Angkatan Udara 20 Juni lalu. Militer Indonesia menuduh GAM juga menyandera sembilan awak kapal motor Pelangi di peraian Selat Malaka yang mensuplai material untuk perusahaan Amerika Exxon Mobil di Aceh. Sembilan atlet asal Aceh Singkil juga ditahan di Aceh Timur sepulangnya dari sebuah event olahraga di Pidie. GAM juga dituding membakar 26 gedung sekolah dan menumbangkan beberapa tower jaringan listrik dalam beberapa bulan terakhir. GAM juga dituduh membunuh sejumlah pejabat di Aceh.
Perundingan yang diadakan di Geneva, dengan moderator Henry Dunant Center, antara Jakarta dan GAM sejak tahun lalu, juga terhenti awal tahun ini setelah perjanjian gencatan senjata sering dilanggar kedua belah pihak. Januari lalu tentara Indonesia bahkan menembak mati Teungku Abdullah Syafi'ie, pemimpin gerilya GAM.
Kebanyakan pelanggaran dilakukan pihak Indonesia. Surin Pitsuwan, mantan menteri luar negeri Thailand dan satu dari tiga diplomat internasional yang diminta ikut mengamati perundingan-perundingan di Geneva, pernah menyatakan kecemasannya melihat Jakarta tak bisa mengatur tentaranya sendiri di Aceh.
Tuduhan Yudhoyono muncul beberapa hari sebelum munculnya informasi yang kontroversial bahwa jaringan Al-Qaeda pimpinan jutawan Arab Saudi Osama bin Laden berminat menjadikan Aceh sebagai salah satu basisnya. Al-Qaeda adalah kelompok yang dituduh Amerika Serikat terlibat aksi serangan World Trade Centre dan Pentagon 11 September 2001 yang menewaskan sekitar enam ribu orang Amerika.
Kemungkinan besar Yudhoyono telah mendapatkan informasi itu sebelum diberitakan CNN pada 9 Juli. Laporan CNN itu bersumber dari dokumen dinas intelijen Filipina. Koresponden CNN Manila, Maria Ressa, melaporkan bahwa tangan kanan Osama bin Laden, Ayman al-Zawahiri dari Mesir, dan mantan pemimpin militer Al-Qaeda, Mohammad Atef, bersama wakil senior Al-Qaeda di Asia Tenggara Omar Al-Faruq datang ke Aceh bersama orang Indonesia yang jadi guide mereka. Namanya Agus Dwikarna dari Makassar.
CNN tak menyebutkan siapa yang ditemui orang-orang Al-Qaeda itu di Aceh dan bagaimana rute perjalanan mereka. CNN juga tak mengutip satu nama pun dari dinas intelijen Filipina. Tapi dilaporkan selama berada di Aceh, Ayman al-Zawahiri dan Mohammad Atef mempunyai kesan tersendiri dengan kondisi Aceh yang sedang bergolak karena perang antara aparat Indonesia dan GAM.
“Keduanya terkesan dengan longgarnya keamanan Aceh, serta dukungan dan banyaknya penduduk muslim,” kata laporan itu. “Kunjungan ini bagian dari strategi lebih luas untuk memindahkan markas Osama bin Laden dari Afghanistan ke Asia Tenggara.”
Osama bin Laden memang sering pindah-pindah negara. Dia lahir di kota Riyadh, kemungkinan pada 1957. Ketika lulus universitas, bin Laden ikut melakukan jihad di Afghanistan. Ketika itu Uni Soviet menduduki Afghanistan. Pada 1980-an banyak pejuang-pejuang Islam dari 20 negara, dengan jumlah total antara 16 ribu sampai 20 ribu, turut berperang bersama kaum Mujahidin Afghan mengusir pasukan Uni Soviet. Bin Laden satu di antaranya.
Ketika pulang ke Arab Saudi, Osama bin Laden disambut bak pahlawan. Pada 1991 ia terlibat sengketa dengan kerajaan Saudi Arabia gara-gara dukungan kerajaan terhadap Perang Teluk pimpinan Amerika Serikat. Bin Laden berpendapat negara-negara Islam bisa menghadapi serbuan Saddam Hussein dari Irak terhadap Kuwait tanpa bantuan Amerika. Bin Laden percaya umat Islam bisa menyelesaikan sengketa ini dengan caranya sendiri. Pihak kerajaan tak mau mendengarnya. Mereka menganggap Kuwait bukan Afghanistan. Mereka bahkan memusuhinya.
Bin Laden lari ke Sudan. Menurut wartawan CNN Peter Bergen dalam bukunya Holy War Inc. - Inside the Secret World of Osama bin Laden, di Sudan bin Laden berhubungan dengan Hassan Abdallah al-Turabi, cendekiawan muslim dan penasehat spiritual penguasa Sudan Jendral Omar al-Bashir. Al-Turabi jadi mentor bin Laden. Al-Turabi berpendapat syariat Islam harus dijadikan dasar hukum negara-negara berpenduduk mayoritas Islam sebagai alternatif sistem kapitalisme dan demokrasi yang dikembangkan Barat. Sudan adalah negara Afrika yang dililit krisis ekonomi, politik, dan sosial, termasuk sengketa antara bagian utara dan selatan, yang isunya berhimpitan dengan agama, Islam di utara dan Kristen di selatan.
Bin Laden mulai membangun bisnisnya sekaligus Al-Qaeda, sebagai suatu organisasi nirlaba, dari Sudan. Pada 1996 rezim al-Bashir minta Bin Laden angkat kaki dari Sudan karena tekanan diplomatik dan iming-iming bantuan dana Saudi Arabia. Bin Laden pun pindah ke Afghanistan -tempat yang membesarkannya pada 1980-an. Bin Laden membantu rezim Taliban dan menikah dengan putri sulung Mullah Muhammad Omar, orang nomor satu Taliban.
Dari Afghanistan, gosip politik bercampur laporan intelijen, yang tak jelas kebenarannya, mengatakan sejak lima tahun terakhir ini, bin Laden berupaya mencari daerah operasi baru. Afghanistan tak lagi ideal ketika kelompok Mujahidin di sana terpecah belah dan bentrok satu sama lainnya. Asia Tenggara salah satu pilihan al-Qaeda.
Kunjungan ke Aceh itu sendiri, menurut laporan Maria Ressa, tak menghasilkan apa pun untuk rencana bin Laden. Namun detail kunjungan sejumlah orang Al-Qaeda ke Aceh kemungkinan bisa membantu negara-negara Asia Tenggara untuk mengungkap jaringan ini.
Tak jelas dari siapa intelijen Filipina mendapat laporan perjalanan Al-Qaeda ke Aceh. Dari sumber intelijen Indonesiakah? Atau dari keterangan dua warga Indonesia yang kini dituduh teroris dan ditahan di Manila (Fathur Rohman al-Ghozi dan Agus Dwikarna)? Bagaimana Agus Dwikarna bisa disebut menjadi guide orang-orang Al-Qaeda ke Aceh?
Menurut International Crisis Group, sebuah think tank dari Brussels yang punya perwakilan di Jakarta, Agus Dwikarna seorang pengusaha dari Makassar. Dia kader Partai Amanat Nasional dan pendiri Laskar Jundullah, organisasi milisi dari Komite Penegak Syariat Islam Sulawesi Selatan. Dia ketua Komite Penanggulangan Krisis (Kompak) dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, yang banyak menyalurkan bantuan dari orang muslim Inggris ke Poso dan Ambon. Dia juga jadi sekretaris Majelis Mujahidin Indonesia pimpinan Abubakar Ba'asyir, seorang ulama yang dituduh beberapa negara Asia sebagai tokoh intelektual organisasi teroris Jemaah Islamiyah. Agus Dwikarna pernah ditangkap polisi karena menyerang sebuah bar karaoke di Makassar. Terlepas benar tidaknya Dwikarna terlibat terorisme, di Indonesia banyak orang percaya, dia lebih seperti kambing yang terperangkap dalam sebuah ambisi untuk menghantam gerakan teroris.
Dwikarna membantah cerita jadi guide Al-Qaeda. “Seumur hidup belum sekali pun saya ke Aceh,” kata Dwikarna kepada saya via telepon selular milik Tamsil Linrung di Manila. Linrung adalah kolega Dwikarna yang turut ditangkap polisi Manila Maret lalu. Tamsil Linrung dibebaskan, sementara dalam kopor Dwikarna ditemukan bahan peledak dan kabel sehingga ia dijatuhi hukuman penjara 10 hingga 17 tahun oleh pengadilan Manila. Dwikarna dan Tamsil berpendapat kopor itu “diracuni” dinas intelijen. Dwikarna lebih diincar karena kegiatan keislamannya.
Dwikarna mengatakan tak kenal dengan Ayman Al-Zawahiri, Mohammad Atef dan Omar Al-Faruq. “Itu fitnah. Saya tidak ada hubungannya dengan orang-orang Osama. Saya memang mempunyai hubungan dengan beberapa orang Arab. Tapi itu secara resmi melalui kedutaan Arab Saudi dalam kapasitas saya sebagai ketua Kompak dan Dewan Dakwah Sulawesi Selatan.”
Dwikarna menjelaskan pada saya bahwa sepanjang tahun 2000, dia sibuk mempersiapkan Konggres Umat Islam Sulawesi Selatan yang dilaksanakan bulan Oktober. Dwikarna adalah sekretaris panitia. Dia banyak melakukan perjalanan bolak-balik Makassar-Jakarta menemui orang-orang Makassar di Jakarta. Tujuan konggress itu adalah menerapkan syariat Islam di Sulawesi Selatan. Dwikarna juga pergi ke Malaysia, sebelum Juni, bersama sejumlah pejabat daerah Sulawesi Selatan, untuk bertemu dengan Menteri Besar negara bagian Terengganu Abdul Hadi Awang untuk keperluan bisnis. Awang juga ketua Parti Islam Se Malaysia (PAS) yang bermaksud menerapkan syariat Islam, antara lain hukuman potong tangan buat pencuri, di dua negara bagian yang dikuasainya, termasuk Terengganu.
Saya bertanya soal tuduhan pergi ke Aceh itu kepada Surani, istri Dwikarna. “Seingat saya Bapak sedang sibuk mempersiapkan acara Konggres Umat Islam. Bersama Pak Tamsil sering ke Jakarta untuk urusan bisnis, sebab Bapak itu marketing perusahaan air minum dan mengurus beberapa perusahaan lain milik Pak Tamsil. Ketika konflik Poso pecah, Bapak pulang pergi ke daerah konflik untuk suplai bahan makanan dan obat-obatan,” katanya.
Surani mengatakan tuduhan Dwikarna dengan orang-orang bin Laden tak benar. “Itu sangat menyakitkan hati keluarga kami. Dia itu tokoh perdamaian. Pernah mendapat penghargaan dari Menko Kesra karena mengurus pengungsi Timtim dan membantu perdamaian di Poso dan Ambon.”
Agus Dwikarna menduga cerita yang mengaitkannya dengan kelompok Al-Qaeda bersumber dari intelijen Indonesia. Dia pernah menyatakan ke beberapa media penangkapannya di Filipina merupakan order dari Badan Intelijen Nasional di Jakarta. “Saya tidak tahu kenapa orang-orang itu memfitnah saya. Apakah karena saya mendamaikan konflik di Poso? Mungkin ada yang tidak suka kalau Indonesia ini damai.”
INTELIJEN Filipina berpendapat Dwikarna memiliki hubungan dengan Al-Qaeda karena nama dan nomor telepon Omar Al-Faruq ditemukan tak hanya dari buku telepon Abu Zubaydah, orang Al-Qaeda yang tertangkap di Pakistan, tapi juga ada dalam buku telepon Agus Dwikarna. Omar Al-Faruq sendiri, yang dilaporkan CNN ikut pergi ke Aceh, ditangkap di Indonesia dan secara diam-diam diekstradisi ke Amerika Serikat.
Banyak kritisi berpendapat pemerintahan Presiden Gloria Macapagal-Arroyo ingin mendapatkan untung dalam membantu Amerika “memerangi terorisme.” Macapagal-Arroyo bahkan mengundang marinir Amerika ikut melawan pemberontakan Abu Sayaf di Filipina Selatan. Tak mengherankan jika cerita Al-Qaeda di Aceh itu juga intelijen Filipina yang membukanya lebih dulu.
GAM sendiri bereaksi cepat terhadap berita Al-Qaeda di Aceh. Saat Yudhoyono bicara pada wartawan di Jakarta dan memberi label GAM sebagai kelompok teroris, markas besar GAM di Swedia, di mana wali negara Aceh Merdeka Muhammad Hasan di Tiro bermukim, mengeluarkan bantahan lewat Zaini Abdullah, salah satu pembantu di Tiro. Kepada Kyodo, Zaini membantah keras hubungan mereka dengan Osama bin Laden. “Kami tidak tahu menahu tentang Al-Qaeda dan kami tidak memiliki hubungan apapun dengan Al-Qaeda karena GAM bukan berjuang untuk sebuah negara Islam tapi untuk kemerdekaan.”
Zaini menyebut laporan itu rekayasa Jakarta sebagai bahan propaganda untuk menyamakan GAM sebagai kelompok teroris. Stempel teroris ini akan membuka dukungan dari negara luar, terutama Amerika, untuk memerangi GAM secara terbuka. Stempel teroris juga akan mempermudah Jakarta menerapkan darurat sipil di Aceh.
Juru bicara GAM di Aceh, Sofyan Dawood mengatakan pada saya, sangat bodoh jika mereka mau menerima Al-Qaeda. Keberadaan Al-Qaeda bisa mengacaukan perjuangan GAM, sebab negara-negara luar akan sama-sama membenci GAM. Sulit bagi GAM bila Aceh dicap sebagai sarang teroris yang harus dimusnahkan. GAM sendiri sangat berharap dukungan negara luar terutama Amerika Serikat. Agak mustahil kemerdekaan Aceh dicapai tanpa dukungan negara adidaya tersebut.
Seorang pejabat senior Badan Intelijen Strategis mengatakan kepada The Jakarta Post bahwa mereka sudah lama mendapat informasi itu dari intelijen Filipina. Namun hingga saat ini tak ada indikasi Al-Qaeda memindahkan operasinya ke Aceh. The Jakarta Post tak menyebutkan nama sumbernya sehingga agak sulit menilai kualitas berita itu.
Seorang mayor intelijen militer dari Medan juga mengatakan pada saya bahwa perjalanan Al-Qaeda itu benar terjadi. Tapi ia tak mau identitasnya disebut. Saya cenderung skeptis terhadap orang-orang yang mau informasinya dikutip media, baik kepada CNN maupun The Jakarta Post, tapi tak mau identitasnya disebut walau keamanan mereka sama sekali tak terganggu bila identitasnya diungkapkan. Mayor itu cerita macam-macam. Tapi sulit bagi saya untuk mempercayainya. Makin jelas sebuah sumber mau disebutkan namanya, makin bertanggungjawab sumber bersangkutan. Tapi makin kabur identitasnya, makin berani pula si sumber mengeluarkan pendapatnya sehingga tak jelas mana yang fakta, mana yang interprestasi. Apalagi bila informasi itu datang dari orang intelijen. Sulit membedakan mana yang informasi umpan, mana informasi yang benar. Maria Ressa tampaknya mengatasi kesulitan ini dengan minta dokumennya.
Informasi yang lebih bertanggungjawab datang dari Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda di Aceh Brigadir Jendral M Djali Yusuf. Dia mengatakan kepada saya bahwa tak ada laporan kedatangan Al-Qaeda di Aceh. “Tidak ada perjalanan itu. Saya tidak pernah mendapat laporannya. Tidak ada laporan intelijen tentang itu. Saya justru membacanya di koran. Kita tidak pernah mendapatkan kegiatan-kegiatan seperti itu di Aceh. Saya tidak melihat ada hubungan antara GAM dengan kelompok Al-Qaeda.”
Saya tertarik mengapa perjalanan Al-Qaeda ke Aceh ini, kalau memang benar- benar terjadi, baru diungkapkan dua tahun kemudian? Bisa jadi ini terkait dengan semakin kuatnya tekanan Washington terhadap negara-negara Asia Tenggara untuk bertindak serius terhadap terorisme. Laporan CNN ini seperti makin menguatkan dugaan bahwa Indonesia sudah lama dijadikan basis jaringan teroris internasional. Washington sudah lama curiga Indonesia jadi tempat pelarian orang Al-Qaeda dari Afghanistan.
Mungkin untuk melunakkan kecurigaan Washington, secara diam-diam Jakarta menangkap dua orang yang dituduh terlibat terorisme dan Al-Qaeda. Asian Wall Street Journal menulis Indonesia Januari lalu membantu intelijen Amerika menangkap Havis Muhammad Saad Iqbal Madni, seorang warga Pakistan, untuk dideportasi ke Mesir, lalu dipindahkan ke Amerika dan ditahan di sana.
Orang ke dua yang ditangkap adalah Omar Al-Faruq, orang Al-Qaeda yang disebut CNN ikut dalam perjalanan ke Aceh. Al-Faruq ditangkap 5 Juni lalu di sebuah kawasan di Jawa Barat. Kini dia dalam penahanan Amerika Serikat di kamp Guantanamo Bay dekat Kuba, di mana banyak orang Al-Qaeda dari Afghanistan ditahan.
Penangkapan Al-Faruq luput dari media Indonesia. CNN dan The York Times yang memberitakannya. Pemerintahan Megawati bersikap tertutup terhadap isu Al-Qaeda di Indonesia. Mungkin untuk menahan protes dari kelompok Islam garis keras yang menentang “perang melawan terorisme” ala Washington. Dengan penduduk muslim mencapai 210 juta orang plus ada 29 partai politik berbendera Islam, isu penangkapan itu bisa memancing protes besar-besaran di Indonesia kalau momentumnya ditangkap media lokal.
ISU terorisme dan Aceh bukan saja terkait dengan kasus tujuh bom dan kunjungan Al-Qaeda. Februari lalu, Aceh lagi-lagi dikaitkan isu terorisme ketika Jaffar Umar Thalib dari Laskar Jihad Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah datang ke Aceh. Jaffar Umar Thalib datang ke Banda Aceh dan membuka perwakilan kelompok itu di Aceh. Seminggu sebelum kedatangan Umar Thalib, aksi menolak Laskar Jihad di Aceh gencar dilakukan oleh GAM dan sejumlah kelompok aktivis seperti Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dan Rabithah Thaliban. Mereka beralasan kehadiran Laskar Jihad bisa menyeret konflik Aceh ke dalam isu perang agama. Padahal konflik Aceh berakar pada ketidakpuasan orang Aceh dengan pemerintahan Jakarta. Penolakan GAM ditanggapi Umar Thalib sebagai sikap berlebihan karena dia datang hanya untuk berdakwah di beberapa mesjid Aceh.
Penolakan ini membuat dakwah Jaffar Umar Thalib di dua mesjid Banda Aceh hanya dihadiri seratusan orang. “Dari dulu juga, tidak ada kelompok Islam garis keras di Aceh. Jadi tidak ada perhatian untuk aksi-aksi seperti yang sedang dilakukan Laskar Jihad. Lagi pula tidak ada perang agama di Aceh. Itu perang GAM dengan TNI,” kata Otto Syamsuddin Ishak dari Cordova Aceh.
Kekhawatiran GAM terhadap Laskar Jihad ada alasannya. Adanya Laskar Jihad bisa mengundang kecurigaan Aceh jadi basis gerakan terorisme. The New York Times menulis Washington menganggap Laskar Jihad sebagai “sel tidurnya” Al-Qaeda di Indonesia. Laskar Jihad dianggap terlibat dalam kerusuhan berbau agama di Maluku dan Poso. Presiden George W Bush pernah mengingatkan Presiden Megawati untuk berhati-hati dengan Laskar Jihad. Mungkin peringatan ini agak berlebihan. Jaffar Umar Thalib sendiri mengatakan kelompoknya mempunyai visi berbeda dengan Al-Qaeda, kendati pernah ada orang bin Laden datang ke Maluku dan menawarkan dana tapi ditolak oleh Umar Thalib.
Sofyan Dawood mengatakan GAM tak pernah memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok Islam, baik di dalam maupun luar negeri. GAM lebih memilih membuka hubungan dengan pemerintahan asing untuk lobi dukungan terhadap gerakan ini.
Laporan CNN, tuduhan polisi Jakarta tentang tujuh bom, maupun kehadiran Jaffar Umar Thalib, bisa dijadikan dasar bagi pemerintah Megawati untuk mencap GAM sebagai kelompok teroris. Ada stigma baru untuk Aceh, bahwa ada sebuah potensi gerakan terorisme di sana. Kalau stigma itu diterima masyarakat internasional, bakal mudah bagi militer Indonesia untuk meningkatkan kehadirannya di Aceh dan menekan separatisme Aceh.
Selama ini Aceh bersih dari konflik berbau agama. GAM yang berideologi nasionalisme Aceh selama ini tak pernah mengedepankan isu agama dalam gerakannya. Ini strategi jitu mereka demi menarik simpati negara Barat, yang agak alergi dengan gerakan berbau Islam. Mereka berkeyakinan, jika Islam dikedepankan, akan sulit mendapat dukungan negara Barat terutama Amerika. Cerita adanya jaringan Al-Qaeda di Aceh tentu amat menggusarkan GAM. Cerita ini cenderung merugikan citra GAM di mata internasional.
Amerika sendiri tidak pernah memasukkan GAM dalam jaringan terorisme dunia, kendati sejumlah gerilyawan GAM pernah berlatih dan mendapat bantuan dana dari Libya, yang juga dianggap Amerika merupakan salah satu negara pendukung terorisme. Pada 1980-an sekitar 300-an gerilyawan GAM berangkat ke Libya dan mendapat pendidikan militer di beberapa kamp militer. Sekitar 10 tahun, mereka satu per satu pulang ke Aceh dan mulai melakukan perlawanan bersenjata terhadap militer Indonesia. Inilah yang jadi salah satu pemicu diberlakukannya operasi militer Jaring Merah yang represif selama 10 tahun kemudian.
Aceh memang sebuah potensi, kalau memang Al-Qaeda benar berniat memindahkan markasnya ke Aceh. Kondisi alamnya yang bergunung dan berhutan lebat memungkinkan jadi tempat persembunyian ideal untuk mengendalikan sebuah pergerakan. Letak Aceh juga sangat stragegis berada di posisi silang Asia Tenggara. Di sana penduduknya mayoritas muslim yang fanatik -walau ini bukan berarti akan ada dukungan untuk sebuah gerakan teroris.
Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat asal Aceh juga gusar dengan pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono. “Istilah teroris dari Pak Yudhoyono itu sudah kebablasan. Apalagi GAM kan kemarin berunding dengan pemerintah. Nah, apakah berarti pemerintah telah berunding dengan teroris?” kata Ahmad Farhan Hamid dari Fraksi Reformasi. Pemerintah dilihat seperti sedang bermain api. Istilah GAM teroris bisa mengundang intervensi negara asing masuk ke Aceh, yang notabene secara legal masuk wilayah Indonesia.
Munir dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mengatakan pemerintah tampaknya ingin menggiring sebuah opini baru terhadap GAM dengan memberi label teroris untuk kelompok ini. Pasca 11 September 2001, kelompok konservatif Amerika yang dipimpin Presiden George W Bush lebih menonjolkan isu terorisme dan meminggirkan isu hak asasi manusia. Dengan memberi cap terorisme tampaknya pemerintah ingin mendapat dukungan dari Washington untuk memerangi GAM secara terbuka. Washington telah membantu Filipina melatih tentaranya untuk menghadapi kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan. “Indonesia ingin menjadikan Aceh sebagai alat politik perang terhadap teroris seperti halnya Filipina terhadap kelompok Abu Sayyaf,” kata Munir.
Tapi Washington pun tak satu suara. Presiden Bush, Wakil Presiden Dick Cheney, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, sering beda pendapat dengan Menteri Luar Negeri Colin Powell. Mereka dianggap lebih keras ketimbang Powell yang lebih diplomatis. Powell datang ke Asia Tenggara Juli lalu. Mula-mula hadir dalam pertemuan dengan negara-negara Asean di Brunei Darussalam. Di sana Powell minta Asean mengambil langkah keras terhadap kelompok Islam seperti Abu Sayyaf di Filipina dan Kumpulan Mujahidin Malaysia, serta Jemaah Islamiyah di Singapura dan Indonesia. Powell lantas mengunjungi beberapa negara Asia Tenggara, termasuk semalam di Jakarta, untuk membicarakan terorisme.
Di Jakarta Powell mengeluarkan pengumuman yang bikin gembira Yudhoyono dan kawan-kawan. Washington mengalokasikan dana sebesar US$51 juta untuk membantu Indonesia dalam program anti-terorisme. Dari dana itu $47 juta untuk polisi dan $4 juta untuk militer. Bantuan ini berlaku untuk empat tahun. Jumlahnya tak seberapa. Bandingkan misalnya dana setahun $26 juta yang diberikan Washington untuk program demokratisasi Indonesia pada 1999. Tapi maknanya lumayan buat militer Indonesia. Pada 1999, Amerika membekukan semua bantuan militernya kepada Indonesia setelah tentara-tentara Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi manusia pasca jajak pendapat di Timor Timur. Amerika juga melakukan embargo senjata kepada Indonesia sejak terjadinya pembantaian Santa Cruz di Dili pada 1991. Embargo membuat Indonesia kesulitan suku cadang alat-alat militer. Banyak pesawat terbang, kapal laut, maupun kendaraan lapis baja yang tak bisa jalan karena embargo.
The New York Times menengarai, penangkapan dua orang Al-Qaeda di Indonesia itu jadi salah satu alasan pemerintah Presiden Bush membuka kembali kerja sama militer dengan Indonesia. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan pada wartawan di Brunei Darussalam, “Kami melakukan apa yang kami bisa. Sebagai contoh, kami menangkap dua tersangka teroris. Tentu saja, saya tahu Anda ingin saya menangkap kelompok-kelompok radikal, tapi radikalisme tak sama dengan terorisme.”
Di sisi lain, Amerika ingin mendapatkan lagi pengaruhnya terhadap Indonesia untuk mendukung Washington menekan “perang melawan terorisme.” Washington melihat untuk “memerangi terorisme” dibutuhkan militer dan polisi yang kuat. Sebagian besar dana itu, tepatnya $31 juta, akan dipakai untuk “melatih dan membantu” polisi Indonesia. Sebesar $16 juta untuk peningkatan kinerja polisi, termasuk pendirian sebuah unit khusus counterterrorism.
Tak tertutup kemungkinan, dana itu dipakai untuk menguntit orang-orang yang dituduh terlibat terorisme macam Fathur Rohman al-Ghozi, atau meminjam istilah International Crisis Group, mereka yang terlibat “Ngruki Network” --jaringan alumni dan pengurus pesantren Al-Ma'had Al-Mukmin littarbiyyatil Islamiyyah dari desa Ngruki, Surakarta. Tapi lebih besar lagi kemungkinannya, dana itu dipakai untuk menekan gerakan-gerakan Aceh Merdeka, di Aceh maupun Jakarta.
Keterlibatan GAM terhadap kasus bom di Jakarta bisa saja benar. Seperti dikatakan Sofyan Dawod, banyak simpatisan GAM di Jakarta. Mereka kemungkinan beraksi secara individual di luar komando GAM di Aceh. Di Aceh saja, GAM tidak memiliki garis komando yang jelas untuk mengontol penuh 16 wilayah setingkat kabupaten. Belum lagi wilayah-wilayah di bawah itu mulai dari sago (kecamatan) hingga desa. Akibatnya, banyak aksi-aksi GAM yang satu tak diketahui GAM lainnya. Selain GAM wilayah Peureulak, kelompok GAM lainnya bertindak cukup bersih dan menghindar dari kekerasan terhadap orang sipil.
Sofyan Dawod mengatakan kepada saya GAM Swedia pimpinan Hasan di Tiro telah memberi teguran keras kepada kelompok GAM Peureulak pimpinan Ishak Daud yang selama ini sering melakukan aksi penculikan dan penyanderaan terhadap orang sipil di Aceh. Namun demikian dia membantah kalau GAM tak berkoordinasi dengan baik di lapangan. Walau agak berat, Sofyan Dawod mengaku bahwa penculikan awak kapal dan atlet itu atas sepengetahuan GAM Pusat Hasan di Tiro. “Kami mencurigai mereka sebagai mata-mata militer Indonesia. Siapa pun orang Aceh yang masuk ke Aceh mesti kami periksa,” kata Sofyan Dawod.
Militer Indonesia di Aceh telah memberi lingkaran merah untuk GAM wilayah Peureulak pimpinan Ishak Daud. Hampir sebagian besar pasukan Rajawali --sebuah pasukan gabungan dari Marinir, Kopassus dan Kostrad, serta Paskhas Angkatan Udara-- dikonsentrasikan di Aceh Timur, wilayahnya Ishak Daud. Menurut anggota parlemen asal Aceh Ahmad Farhan Hamid, instruksi tumpas habis yang dikatakan Presiden Megawati lebih ditujukan kepada kelompok ini.
Brigadir Jenderal M. Djali Yusuf mengatakan bahwa dia tak begitu peduli dengan ada tidaknya status darurat. Dia hanya minta Jakarta melakukan penambahan empat batalyon militer ke Aceh untuk mengejar GAM hingga ke kampung-kampung pedalaman. Saat ini jumlah pasukan keseluruhan sekitar 34 ribu personil terdiri 22 ribu tentara dan 12 ribu polisi. Mereka mengejar GAM yang diperkirakan punya 3.400 personil. Permintaan ini sudah disetujui. Tampaknya Aceh akan terus memanas jika militer begitu banyak berada di sana.
Kasus bom di Jakarta dan isu teroris pada akhirnya sangat merugikan citra orang Aceh yang sebenarnya tak begitu tahu-menahu dengan gerakan politik. “Sejak kasus bom, orang-orang Aceh sering dicurigai di Jakarta. Mereka suka dikata-katai teroris atau yang jelek-jelek. Ada kasus di Citeurup dan Cibinong dimana orang Aceh diusir oleh pemilik rumah kontrakan. Pokoknya kami sering terpojokkan,” kata Fajran Zain.
Tapi kalau data-data Kontras bisa dipercaya, bahwa antara Januari hingga Juni 2002, terjadi 1.771 kekerasan di mana 1.455 dilakukan pihak tentara dan polisi Indonesia, dan 316 oleh GAM, tidakkah ini menimbulkan tanda tanya. Jadi siapa yang sebenarnya melakukan terorisme di Aceh?*
Jumat, 24 Oktober 2008
Senin, 20 Oktober 2008
ANTARA MAMAK, AMRU DAN BEKAS KESATUANNYA
Ratusan tentara menyerang kantor polisi Binjai*
Oleh Chik Rini
SEBELAS tahun lalu Rosma boru Hasibuan lega melihat putera sulungnya muncul di ambang pintu. Baju pemuda tanggung itu dekil. Di tangan kanannya ada sebungkus pecal yang tadi dibelinya di pasar. Amru Daulay berkelahi lagi dengan anak-anak kampung tetangga.
Rosma mendengar Amru berkelahi dari si bungsu Razali Daulay. Kata Razali, sang abang dikeroyok beberapa anak kampung Payah Roba, dekat rel kereta api yang membatasi Payah Roba dan Limau Sunde, kampung keluarga Daulay. Perkampungan itu letaknya tak begitu jauh dari pusat kota Binjai --sebuah kota ukuran sedang sekitar 22 kilometer barat Medan, Sumatera Utara.
Tadinya Amru dan Razali naik sepeda berboncengan untuk membeli pecal. Mereka dicegat sekelompok anak yang bermusuhan dengan Amru. Razali kecil pulang awal. Abangnya mengatakan, “Kau pergi selamatkan sepeda kita ini. Biar aku hantam mereka!”
Amru tak terluka, tapi menurut Rosma kepada saya belum lama ini, Amru kalah dalam perkelahian tak berimbang itu, pun begitu masih sempat pula dia membeli pecal untuk lauk mereka sore itu.
Amru dan Razali cuma dua bersaudara. Ayah mereka Sangkot Daulay, seorang penjual ikan atau terkadang membawa becak mesin. Rosma lebih besar penghasilannya. Dia punya gaji sebagai guru dan punya kebun coklat serta pisang setengah hektar.
Sejak sekolah dasar Amru sering berkelahi. Meski nakal di luar rumah, Amru lebih patuh pada ibunya ketimbang Razali yang cenderung manja. Amru gampang terpengaruh teman. Dia tidak menolak jika diajak berantem dengan anak-anak lain. Atau membolos sekolah teknik menengahnya untuk jualan ikan tanpa sepengetahuan orangtua. Keinginan Amru paling besar adalah jadi orang kaya.
Dalam kekesalannya, Amru pernah berkata pada ibunya, “Aku Mak, kalau tamat STM nih, aku masuk tentara saja. Biar orang tak sembarangan lagi sama aku dan keluarga kita.”
Kini Amru Daulay memang berhasil jadi tentara dengan pangkat sersan dua di Bataliyon Lintas Udara (Linud) 100/Prajurit Setia (PS) yang bermarkas di Namu Sira-Sira, Binjai. Dia komandan regu pada Kompi Senapan A dengan anak buah sembilan orang.
Bataliyon Linud 100 merupakan pasukan pemukul Komando Daerah Militer (Kodam) Bukit Barisan yang bermarkas di Medan. Pasukannya mempunyai spesialisasi menyerang musuh dari udara. Mereka menyergap dengan cara terjun melalui helikopter atau pesawat. Mereka dianggap pasukan elit karena kemampuan tempurnya tinggi. Jumlah pasukannya sekitar 700-an personil. Nama “Prajurit Setia” diartikan sebagai bentuk kesetiaan mereka pada nusa dan bangsa.
Amru selalu membanggakan kemampuan menembaknya. Tapi keterlibatannya dalam peristiwa memalukan 30 September lalu justru mengakhiri karir tentaranya. Dia dan 19 temannya mendekam di rumah tahanan militer Medan.
Sersan Dua Amru Daulay bersama ratusan prajurit Linud 100, pada Minggu dini hari itu, menyerang markas polisi resort (polres) Binjai dan brigade mobil (brimob) Binjai. Beda dengan perkelahian kampung, kali ini Amru justru mengeroyok polisi dalam sebuah aksi bak perang sungguhan. Menurut jurubicara Kodam Bukit Barisan Letnan Kolonel Nurdin Sulistyo, dalam pertikaian tak berimbang itu, empat anggota Brimob, dua polisi, satu tentara dari Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) dan tiga warga tewas. Puluhan lainnya luka-luka.
SABTU 28 September lalu adalah hari ulang tahun pertama Ayu Daulay, putri satu-satunya Amru Daulay dan Nur Asiah, perempuan berusia 23 tahun yang dinikahi Amru tiga tahun lalu. Tak ada pesta, kecuali acara potong kue dan doa selamat dari kedua keluarga mereka yang berkumpul di rumah mertua Amru di Payah Roba.
Amru baru seminggu kembali dari kursus militer di Pematang Siantar. Tiga minggu dia meninggalkan keluarganya. Ini hal biasa bagi seorang tentara untuk pergi jauh untuk tugas. Antara 1999-2000, saat umur Ayu tiga bulan, Amru pergi ikut operasi militer setahun di Aceh. Ketika pulang, putrinya sudah bisa berjalan. Amru bahkan tak sempat melihat Sangkot Daulay meninggal.
Malam itu juga ada pesta pernikahan salah seorang anggota Bataliyon Linud 100 di Pasar Sepuluh, Tandem, sebuah kawasan pinggiran Binjai. Banyak tentara, termasuk Amru, datang dan bergadang hingga larut malam, menikmati hiburan musik keyboard.
Di tengah pesta Amru mendengar kabar Prajurit Satu Abdul Rahmat dan Prajurit Satu Hilman ditembak polisi. Keduanya teman satu kompi Amru. Menurut Amru Daulay dalam wawancara dengan saya di penjara militer, keduanya dikabarkan kritis bahkan diisukan tewas. Kebanyakan tentara yang ada di pesta itu marah. “Masak kita diam saja teman kita ditembak polisi? Dimana harga diri kita?”
Polisi dan tentara biasa ribut, bukan saja di Binjai, tapi di banyak tempat di seluruh Indonesia. Di Binjai kejadian itu juga bukan yang pertama. Sebelumnya seorang anggota Linud dikeroyok lima Brimob karena rebutan perempuan. Keributan juga pernah terjadi di sebuah kafe karena urusan judi togel dan obat terlarang. Keributan-keributan kecil ini, walau tak berbuntut panjang, toh menimbulkan kekesalan dan sentimen antar korps.
Abdul Rahmat teman baik Amru. Mereka berteman akrab sejak pangkat Amru masih prajurit rendahan. Mereka tinggal di barak lajang dan sama-sama merasakan kerasnya latihan militer. Mereka juga merasakan ketegangan antara hidup dan mati saat baku tembak dengan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka.
Malam itu, Amru memutuskan pulang ke rumahnya di asrama Linud, tanpa menjemput istri dan putrinya, yang tertinggal di rumah mertua. Dia gusar mendengar kawannya ditembak polisi.
SABTU pagi, atau 12 jam sebelum pesta Pasar Sepuluh, sekelompok pemuda meneror tiga rumah yang terletak di samping komplek perumahan mewah Great Wall Binjai. Para pemilik rumah itu bersengketa dengan perusahaan perumahan Great Wall. Logikanya, mereka tak bersedia pindah karena tak sepakat dengan harga ganti rugi. Pemuda-pemuda itu anggota organisasi kepemudaan Angkatan Muda Pembaruan Indonesia, sebuah onderbouw Partai Golongan Karya. Mereka melempari rumah dan mengobrak-abriknya hingga rusak berat.
Si pemilik rumah mengadu ke polisi dan menuduh Great Wall sebagai dalangnya. Polisi bertindak dan menangkap empat orang pelaku: Alan, Zul Irham, Imul, dan Marwan Rangkuti.
Marwan Rangkuti ditangkap di sebuah warung minuman, di simpang Rambung, pada Sabtu sore. Simpang Rambung ini merupakan persimpangan jalan menuju markas Bataliyon Linud 100. Warung sederhana itu sering dijadikan tempat mangkal anak-anak muda, untuk ngobrol sampai mabuk-mabukan.
Sabtu sore sekitar pukul enam, satu regu polisi dengan mengendarai mobil Daihatsu Taft dan Toyota Kijang datang menangkap Marwan Rangkuti. Prajurit Satu Abdul Rahmat kebetulan ada di sana. Marwan kawan Abdul Rahmat.
Dalam dakwaan jaksa militer pada persidangan Abdul Rahmat dan kawan-kawan di Mahkamah Militer Medan, 6 November lalu, disebutkan terjadi perselisihan ketika Marwan ditangkap. Abdul Rahmat spontan mendatangi polisi, “Ada apa ini Bang?”
“Ini urusan polisi!” jawab salah seorang polisi.
“Saya juga anggota. Dari Linud. Apa masalahnya?”
“Nggak ada Linud-Linud disini. Mau kupanggil Brimob?” hardik polisi Brigadir Satu Handoko.
Handoko, salah seorang serse Polres Binjai. Dia tanpa basa-basi langsung mengeluarkan pistol dan melepaskan tembakan ke udara.
Abdul Rahmat lari dengan sepeda motornya. Dia merasa marah karena merasa diremehkan. Dia pulang ke bataliyon mencari sejumlah teman dan mengajak mereka mendatangi polisi yang menangkap Marwan.
Pukul 20.30 dengan naik lima sepeda motor, Abdul Rahmat dan sembilan anggota Linud mendatangi Polres Binjai. Kantor polisi tak begitu ramai karena sudah malam tapi sejumlah serse dan polisi jaga masih ada di sana.
Abdul Rahmat dan empat temannya masuk. Lima lainnya menunggu dekat pos jaga. Mereka berpakaian biasa dan membawa senjata pisau.
Kedatangan mereka memicu kegaduhan. Mereka mencari Handoko. Tapi Handoko tak ada. Polisi lain berkeluaran dari ruang kerja mereka.
Seorang anggota Linud berteriak, ”Mana kawan kami? Keluarkan si Marwan.”
Marwan ada dalam sel. Malam itu dia ditahan karena dalam pemeriksaan, polisi juga menemukan sembilan butir pil ecstasy dalam saku celananya. Alan, Imul dan Irham sudah dilepas beberapa jam sebelumnya.
Terjadi adu mulut dan semua berlangsung cepat hingga salah seorang tentara menyambarkan pisaunya ke tangan Inspektur Dua Haris Simbolon, seorang anggota serse yang mencoba menghalangi rombongan itu membebaskan Marwan.
Mendengar ribut-ribut, kepala satuan serse Ajun Komisaris Polisi Togu Simanjuntak keluar dan mendatangi sekelompok tentara yang sedang marah-marah itu.
“Dari mana kamu?” tanya Simanjuntak marah sambil memukul Abdul Rahmat hingga jatuh.
Rahmat marah dan mencabut pisau yang terselip di pinggangnya.
Simanjuntak tak kalah gertak, cepat menyambar pistol. “Nanti kutembak kau,” ancamnya.
Abdul Rahmat justru mengayunkan pisau ke kepala Simanjuntak. Daun telinga kiri
Simanjuntak tersabet hingga nyaris putus. Simanjuntak melepaskan tembakan ke arah kaki dan dada Rahmat. Dia roboh ke tanah. Polisi lain beramai-ramai menendang dan menginjak tubuh Rahmat hingga babak belur. Kedua kakinya patah dan giginya copot.
Melihat Rahmat jatuh, Prajurit Satu Hilman berusaha menolong, tapi salah seorang polisi menembak lutut kirinya dari belakang. Hilman jatuh tapi bisa melarikan diri bersama teman-temannya.
Polisi mengejar mereka sambil menembakkan pistol. Peluru kedua bersarang di paha kanan Hilman. Tak sanggup lagi berlari, Hilman roboh dekat markas polisi militer, yang berjarak sekitar 100 meter dari Polres Binjai. Sabtu malam itu, delapan tentara lain menyelamatkan diri entah ke mana.
SEPANJANG Minggu 29 September, markas Bataliyon Linud 100 tampak lengang. Kebanyakan prajurit, terutama yang lajang, berada di luar markas. Setiap Sabtu sore hingga Minggu malam, tentara di sana mendapat izin bermalam di luar markas.
Markas batalyon itu berada di desa Namu Ukur, kecamatan Namu Sira-Sira, sebuah daerah pinggiran yang penduduknya didominasi orang Karo dan Jawa. Namu Ukur berjarak 10,5 kilometer dari Binjai. Di sana banyak kebun sawit, kelapa, dan karet.
Markas Linud 100/PS dilengkapi dengan kantor, asrama tinggal, dan lapangan luas untuk latihan. Sekitar 700-an personilnya dibagi lima kompi: Kompi Senapan A, Kompi B, Kompi C, Kompi Bantuan dan Kompi Markas. Sekitar satu kompi pasukan Linud 100 saat itu sedang siap-siap berangkat melakukan operasi di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara.
Akibat keributan Sabtu malam, ada instruksi dari Kodam Bukit Barisan bahwa semua tentara tak boleh keluar markas tanpa izin. Amru Daulay mengatakan pada saya, sepanjang hari itu dia melihat melihat para tentara di markas Linud saling berkelompok di barak mereka, sibuk membicarakan peristiwa penembakan Abdul Rahmat dan Hilman semalam.
Mereka tak bisa menerima perlakuan polisi yang selama ini dianggap meremehkan korps mereka. Kebanyakan tentara Linud panas hatinya dan tak rela jika terus berdiam diri. Sebuah rencana pembalasan pun dilakukan. Amru sepakat dengan ide teman-temannya itu.
Seperti biasa, setiap Minggu pukul 21:00, seluruh prajurit melaksanakan apel untuk pengecekan pasukan pulang yang sebelumnya izin bermalam. Malam itu hampir semua prajurit ikut apel di halaman depan markas lengkap dengan pakaian loreng hijaunya.
Komandan Batalyon Linud 100/PS Mayor Infanteri Madsuni, yang diwawancarai sejumlah wartawan empat hari setelah peristiwa penyerangan bercerita, dalam apel itu dia memberi pengarahan pada ratusan anak buahnya tentang rencana pengiriman sekompi pasukan Linud ke perbatasan Aceh dua hari mendatang. Dia juga menjelaskan peristiwa yang terjadi di Polres Binjai dan memerintahkan pasukannya tak mengambil tindakan apa pun. Persoalan itu diselesaikan para atasan mereka. “Kalau merasa saya komandanmu, sebagai bapakmu, tolong ingat, jangan sampai ada anggota yang keluar tanpa perintah saya,” katanya.
Tak ada prajurit yang membantah perkataan komandannya. Mereka membubarkan diri. Sebagian ada yang kembali ke asrama mereka. Sebagian lagi bertahan dekat barak Kompi Senapan A. Dalam dakwaan oditur militer disebutkan para tentara itu bergerombol, membicarakan lagi rencana pembalasan itu. Mereka akan menyerang Polres Binjai malam ini. Mereka perlu senjata, tapi semua senjata di simpan di gudang.
Prajurit Satu Askar dan Prajurit Satu Syukir yang ada dalam kelompok itu berteriak, “Harus kita balas. Tidak betul kalau tidak kita balas.”
Sersan Dua Jalaluddin, seorang komandan regu Kompi Senapan A, paling bersemangat dengan rencana itu. Dia memberitahu Amru Daulay yang ikut berkumpul di situ, “Pasukan siap.”
Mereka pun bergerak ke gudang senjata Kompi Senapan A. Lampu dipadamkan. Dalam keadaan gelap, mereka menyekap Sersan Satu Hasbullah, kurir yang bertugas menjaga gudang senjata. Kaki dan tangan Hasbullah diikat dengan tali pinggang. Kunci gudang diambil dari saku celananya.
Pintu gudang pun dibuka. Seratusan tentara menyerbu masuk berebutan mengambil senjata laras panjang secara serabutan: senapan serbu SS-1, senapan mesin buatan Israel Minimi, dan Grenade Launching Machine (GLM) lengkap dengan amunisi. Amru Daulay menyambar SS-1 dan mengambil 20 butir peluru.
Masih menurut oditur militer, Sersan Satu Jalaluddin melepaskan tembakan satu kali ke udara. Dia memerintahkan Prajurit Kepala Bahtiar, yang sedang piket, membunyikan alarm sira-sira.
Semua orang mendengar alarm itu mengaung-ngaung memecah kesunyian malam. Prajurit-prajurit yang sudah pulang ke asrama kelabakan kembali ke lapangan apel. Sebagian membuka gudang senjata di masing-masing kompi untuk mengambil senjata. Sudah peraturan, jika alarm sira-sira berbunyi, siapa pun prajurit dan di mana pun dia berada, harus segera berkumpul dengan pakaian dan senjata lengkap. Alarm itu jadi semacam genderang perang bagi mereka.
Hanya dalam hitungan menit, ratusan tentara bersenjata lengkap sudah berkumpul di lapangan. Ketika lampu kembali menyala, enam truk tentara sudah siap mengangkut pasukan.
Menurut Mayor Madsuni, dia sempat kebingungan mendengar alarm sira-sira. Dipikirnya para prajurit hendak latihan. Tapi ketika melihat pasukannya sangat banyak, hampir dua kompi lebih, baru dia sadar. “Apa ini? Ada apa ini?” teriaknya melihat gudang senjata terbuka. Dia menghalangi sejumlah prajurit yang mengambil senjata. Tapi mereka tak bisa dibendung.
“Kalau Komandan tidak izin, silahkan tembak kami,” kata seorang prajurit kepada Madsuni.
“Selama ini kami disalahkan terus-terusan. Pokoknya kami tidak rela kawan kami ditembaki musuh.”
Madsuni tak bisa bergerak. Beberapa prajurit menyeretnya menjauh. Dia mencari beberapa perwira komandan kompi untuk membendung jalan keluar markas. “Oke, kita bendung di depan,” perintah Madsuni. Portal di mulut masuk markas ditutup tapi dijebol anak buahnya yang marah.
Keadaan tak terkendali lagi. Prajurit-prajurit itu brutal. Mereka bergerak spontan membentuk massa yang tak bisa dibendung. Tak jelas siapa memimpin siapa. Kebanyakan karena ikut-ikut kawan karena solidaritas. Mereka merasa bertindak benar karena berada pada posisi membela kehormatan korps Lintas Udara yang diremehkan polisi.
Pukul 22:15 truk pertama meninggalkan markas Linud. Disusul truk-truk lainnya. Jalan selebar lima meter itu menjadi ramai. Sebagian tentara yang belum terangkut berinisiatif jalan kaki. Sebagai pasukan tempur mereka punya kelebihan dalam hal infanteri, mampu berjalan sejauh 40 kilometer tanpa berhenti.
Amru Daulay yang berpakaian loreng lengkap dengan senjata ada di bak belakang truk Reo bersama 20-an kawannya. Tujuan mereka menyerang Polres Binjai. Sejumlah perwira mengejar dengan motor trail tapi tanpa hasil.
Malam itu sebanyak dua kompi gabungan, kebanyakan dari Kompi Senapan A dan Kompi B, bergerak ke luar markas. Jumlahnya tak bisa dipastikan, karena anggota kompi lainnya turut bergabung secara spontan. Mereka diangkut dengan enam truk militer plus satu truk pengangkut kelapa sawit yang kosong secara estafet. Mereka akan menyerang polisi. Peringatan bahaya segera disampaikan Batalyon Linud ke Polres Binjai melalui telepon.
Pukul 22:45 truk Reo yang ditumpangi Amru Daulay tiba di lapangan depan poliklinik
militer di Simpang Bangkatan. Markas Polres Binjai hanya berjarak 100 meter dari situ. Tentara lainnya datang susul-menyusul. Tentara-tentara itu melompat dari truk dan segera menyusun strategi penyerangan. Ratusan tentara berkonsentrasi dekat Polres Binjai. Lainnya menyebar ke titik-titik tertentu dalam kota Binjai, dengan naik truk dan jalan kaki.
Binjai belum begitu sepi menjelang tengah malam. Beberapa kendaraan masih berseliweran. Sejumlah pedagang rokok masih membuka kiosnya di sudut-sudut jalan di kota. Tapi melihat tentara bersenjata lengkap datang bergerombol mereka segera bersembunyi. Tentara itu menyuruh warga sipil segera menyingkir karena akan ada “perang.”
Sebagian tentara memblokir jalan yang menghubungkan Polres Binjai dengan markas Brimob Binjai, yang terpisah sekitar empat kilometer. Brimob Binjai merupakan markas Kompi IV Batalyon A Satuan Brigade Mobil Sumatera Utara. Markas mereka terletak di jalan utama yang menghubungkan Binjai dan Medan. Logika para tentara yang memblokir itu adalah kemungkinan datangnya bantuan dari Brimob bila sesama polisi diserang di Polres Binjai.
Polres Binjai adalah sasaran utama mereka. Seratusan tentara Linud bergerak menyebar. Mereka mengendap dan bertiarap di balik pot-pot bunga pinggir jalan sekitar Polres Binjai. Moncong senjata diarahkan ke markas polisi yang letaknya agak masuk ke dalam. Markas polisi itu gelap. Polisi sudah tahu akan ada penyerangan dan bersembunyi dalam markas. Jumlah mereka 50-an orang.
Seorang tentara melepaskan tembakan cahaya merah ke langit sebagai tanda. Suara ledakan dari senjata pelontar membuka tembakan pertama, menghantam atap markas polisi. Penyerangan dimulai. Tentara Linud 100 menembaki markas dari luar. Peluru-peluru berhamburan seperti siraman air, menghantam tembok, papan nama dan apa saja yang ada dalam kantor polisi itu. Kaca jendela berpecahan. Sejumlah polisi sempat membalas tembakan dengan pistol sebelum kucar-kacir melarikan diri.
Di kegelapan, Amru melihat teman-temannya menembaki markas polisi yang terpaut 30 meter dari tempat mereka tiarap. Amru terdorong ikut menembak. Satu, dua tiga, empat peluru berentetan ke luar dari moncong senjatanya. Tak ada seorang pun polisi yang tampak, maka bangunan kantor menjadi sasarannya.
MEDAN dan sekitarnya. Perintah siaga diumumkan di seluruh radio panggil polisi malam itu. Pesannya singkat, “Polres Binjai diserang Linud.” Di markas besar Brigade Mobil, Jalan Wahid Hasyim, Medan, puluhan pasukan Brimob siap sedia. Ada permintaan bantuan pasukan dari Polres Binjai.
Bantuan pertama datang dari Brimob Kompi IV Batalyon A Binjai. Pukul 23:40 iring-iringan truk dan mobil Suzuki Jimny yang membawa belasan pasukan Brimob meluncur ke arah Polres Binjai. Markas Brimob Kompi IV cuma berjarak satu kilometer dari bundaran tempat tentara Linud berjaga-jaga sejak awal.
Maka kontak senjata pertama antara kedua pasukan tak terhindarkan. Pertempuran itu tak berimbang. Tentara Linud di sekitaran bundaran tugu lebih banyak jumlahnya. Truk Brimob menjadi bulan-bulanan peluru.
Dalam truk Brimob, Inspektur Dua Tito Yudha Darma, yang duduk di bagian depan terluka parah. Menyusul tumbang Bharada Heri Kurniawan dan Brigadir Satu Ilham terkena terjangan peluru. Truk Brimob itu pun melarikan diri.
Pada pukul 24:00 iring-iringan Suzuki Katana, truk Dyna, dan mobil APC (armed personnel carrier) atau mobil anti peluru yang membawa pasukan Brimob keluar dari Medan menuju Binjai. Di atas truk Dyna terdapat 17 pasukan Brimob. Inspektur Dua Hardy Chaniago, wakil komandan Brimob Kompi I Bataliyon A, mendapat telepon dari atasannya. Mereka diperintahkan untuk mengevakuasi pasukan Brimob yang kabarnya ditembaki tentara Linud. Chaniago duduk di bagian depan truk bersama supirnya Bharada Marwin Santosa.
Marwin membawa truk itu kencang melaju ke arah Binjai. Jalan Medan-Binjai terlihat sepi. “Pelan-pelan sedikit. Kalau dihadang kita cepat berhenti,” kata Chaniago.
Melewati daerah Diski, saat melintasi tugu ucapan “selamat datang” kota Binjai, ada tumpukan warga berdiri berkelompok di pinggiran jalan. Mereka berteriak-teriak, melambaikan tangannya minta truk berhenti. “Berhenti. Berhenti. Jangan masuk. Ada perang.”
Truk terus melaju. Mobil Suzuki Katana, yang membawa tiga orang Brimob, sudah tak tampak karena berangkat lebih cepat dari mereka. Satu kilometer menjelang markas Brimob Binjai, Chaniago berkata, “Marwin, kita masuk ke batalyon.”
“Ya, Dan.” Marwin segera memindahkan kaki ke pedal rem untuk memperlambat laju truk. “Dan” singkatan kata “komandan” –sesuatu yang lazim di kalangan polisi dan tentara Indonesia.
Di depan mereka, markas Kompi IV Batalyon A Brimob Sumatera Utara, dalam keadaan terang-berderang oleh lampu sorot yang ada di beberapa sudut halaman. Markas itu dikelilingi lapangan luas. Hanya bangunan kantor dan masjid kecil tampak depan markas. Rumah-rumah prajurit berada jauh di belakang. Di depan markas, rumah penduduk berderet rapat. Jalan Medan-Binjai di depan markas, membentang selebar 10 meter dipisahkan median jalan berupa tembok setinggi setengah meter.
Malam itu cuma ada satu pleton minus atau sekitar 20-an pasukan Brimob di markas Kompi IV. Kebanyakan pasukan sedang latihan di Sibolangit untuk persiapan operasi ke Aceh. Maka ketika markas ditembaki, sebagian besar Brimob memilih bersembunyi.
Rumah penduduk dan jalan depan markas tampak gelap ketika truk Dyna mendekati markas. Tak ada yang mencurigakan. Tapi mendadak rentetan tembakan terdengar keras. Tentara-tentara Linud ternyata bersembunyi di balik tembok median jalan. Mereka menghujani truk dengan tembakan.
“Rem Win!” teriak Chaniago.
Marwin diam tak bergerak. Kepalanya tertunduk ke arah stir truk. Truk terus melaju. Chaniago segera mengambil alih stir dan membanting arah ke kiri sehingga truk naik ke trotoar dan berhenti melintang menutup setengah badan jalan. Tak jauh dari situ, teronggok Suzuki Katana yang tadi pergi mendahului mereka juga. Tiga orang Brimob di dalamnya sudah lari menyelamatkan diri karena ditembaki tentara Linud.
Chaniago masih berusaha menarik Marwin. Tembakan terdengar lagi. Waktu itulah Chaniago sadar, kepala Marwin ditembus peluru. Darah membasahi wajah anggota Brimob yang baru berumur 23 tahun itu. Marwin tewas seketika.
Di bak belakang truk, jerit kesakitan mulai terdengar. “Tolong, Dan. Saya kena.” Dua belas anak buah Chaniago terkena tembakan.
Panik. Tak sempat membalas tembakan. Gaduh. Antara teriakan dan rentetan senjata. Chaniago berteriak, “Loncat kalian semua!”
Di seberang jalan, sambil terus menembak, tentara-tentara dari kesatuan Linud berkoar menantang, ”Ayo balas tembakan kami.”
Mereka sudah berdiri dan berjalan ke sana kemari sambil terus menembak. Para anggota Brimob berloncatan ke samping truk. Mereka merayap menghindari tembakan. “Cari perlindungan,” kata Chaniago.
Semua turun, masuk ke dalam markas Brimob, kecuali Marwin yang tinggal tanpa nyawa dalam kabin truk Dyna.
POLRES Binjai. Penyerangan berlangsung tanpa perlawanan. Sebagian tentara Linud tak begitu tertarik dengan situasi ini. Seorang tentara memberitahu, ”Aman, tak ada balasan.” Tembakan pun dihentikan. Mereka masuk ke dalam markas polisi. Mengobrak-abrik isi kantor. Membakar sejumlah sepeda motor dan mobil yang diparkir di halaman. Polisi tak tampak lagi. Sebagian bersembunyi dalam kolam ikan. Lainnya lari entah ke mana.
Seorang tentara datang memberi kabar. “Brimob datang dari Medan. Sekarang sedang kontak senjata di tugu.” Tugu ini terletak di tengah kota Binjai tempat terjadinya tembak-menembak pertama antara Linud dan Brimob. Sebagian besar tentara segera bergerak meninggalkan Polres Binjai menuju tugu dengan dua truk Reo. Amru ikut naik Reo bersama kawan-kawannya.
Kontak senjata sengit di tugu sudah terjadi antara pasukan Linud dan pasukan Brimob yang datang dari Medan. Beberapa pasukan Linud sempat terkena tembakan. Pasukan Brimob datang sedengan sebuah panser, yang biasa disebut kendaraan taktis dan disingkat rantis. Panser Brimob ini menembakkan senjata otomatisnya tanpa arah. Kontak senjata antara Brimob dan Linud berlangsung lama.
Amru Daulay mengendap di samping rumah warga dekat markas Brimob melihat panser itu melaju kencang. Senjata otomatis di atas rantis masih terus berbunyi dengan arah tembakan memutar. Peluru rantis itu sebesar jempol kaki. Amru terjatuh dari tembok untuk menghindari peluru rantis yang berterbangan tak tentu arah. Lututnya memar ketika melompati sebuah parit saat hendak membalas tembakan ke arah rantis. Tapi rantis itu telah pergi jauh kembali ke Medan –rupanya tak tahan dengan serangan Linud.
Tak lama sebuah truk Reo datang. Seorang tentara Linud turun dan berteriak, ”Hai, Para. Siapa yang punya golongan darah A?”
Para adalah sandi panggilan untuk anggota Linud. Tampaknya ada tentara yang terluka dan butuh donor darah.
Tak jelas berapa korban jatuh malam itu. Ambulance rumah sakit, yang diminta untuk mengevakuasi pasukan Brimob yang terluka, tak dapat mendekati lokasi pertikaian. Ambulance yang datang dari Medan itu tertahan di simpang jalan masuk markas Arhanud Rudal 11 Binjai, sekitar 500 meter sebelum markas Brimob Binjai.
Di sana sejumlah prajurit Arhanud memblokir jalan, supaya tak ada orang sipil yang mendekati lokasi. Di situ pula sejumlah wartawan media cetak, dotcom, radio dan televisi dari Medan, bertahan sepanjang malam memantau situasi. Keadaan mencekam. Warga yang rumahnya berdekatan dengan markas Brimob tiarap sepanjang malam dalam rumah mereka.
Beberapa mobil warga yang kebetulan melintas dalam kota Binjai ditembaki tentara. Korban sipil pun berjatuhan. Tak ada upaya keras untuk menghentikan aksi brutal pasukan Linud. Amru Daulay sempat mendengar kabar dari temannya, “Sebentar lagi panser yang membawa Pangdam datang. Jangan ditembaki.”
Tapi tak pernah ada Mayor Jenderal M. Idris Gassing datang ke lokasi malam itu. Panser kaveleri yang datang dari Medan hanya melintas begitu saja. Pejabat dari Kodam Bukit Barisan yang turun ke lapangan hanya Asisten Intel Kolonel Iwan Prilianto yang tak mampu berbuat banyak.
Sepanjang malam itu, tembakan terus terjadi. Kalau pun mereka berhenti hanya setengah jam. Tentara Linud duduk-duduk di jalan. Mereka bertahan menguasai kota Binjai hingga Senin pukul 06.30 pagi.
Ketika cuaca mulai terang, tentara Linud melakukan pembersihan lokasi pertempuran. Maka mereka yang tadinya bertahan di jalan, mulai masuk ke markas Brimob. Kantor bagian depan dalam keadaan hancur karena ditembaki dengan senjata otomatis dan senjata berat. Mereka pun membakar kantor berikut kendaraan dalam halaman, termasuk Suzuki Katana dan truk Dyna yang melintang di jalan. Asap hitam tebal mengepul ke langit.
Tentara mulai menyingkir ketika warga mulai ramai keluar rumah pagi itu. Sementara 20-an pasukan Brimob mulai berdatangan dari Medan. “Balik. Orang-orang sudah banyak,” teriak seorang tentara. Mereka secara berkelompok menarik diri dengan jalan kaki. Sesekali mereka melepaskan tembakan.
Pasukan Brimob yang datang dari Medan jalan kaki sambil menyisir jalan menuju markas Brimob Binjai. Mulailah mereka menemukan korban-korban. Tubuh Marwin Santosa ditemukan tergeletak di badan jalan, tak jauh dari truk Dyna yang terbakar. Entah siapa yang menurunkannya. Uang dan telepon selularnya hilang.
Tito Yudha Darma dan Ilham tergeletak tak bernyawa di sebuah jalan kecil di samping markas Brimob. Seorang rekan mereka sempat membawa keduanya yang terluka malam itu ke arah markas. Tapi melihat banyak tentara Linud depan markas, Tito dan Ilham ditinggal pergi, hingga tewas kehabisan darah.
Heri Kurniawan ditemukan di depan Masjid Agung Binjai di sekitaran tugu. Sementara sekitar 20 anggota Brimob yang luka tembak keluar dari tempat persembunyian mereka. Dalam keadaan emosi melihat teman-temannya tewas dan luka, pasukan Brimob menganiaya Prajurit Kepala Purwanto, anggota Arhanud Rudal, yang kebetulan berdiri di jalan ketika Brimob masuk ke Binjai. Purwanto ditembak mati. Purwanto sama sekali tak terlibat dalam penyerangan itu.
Senin pagi itu, ketegangan belum berakhir. Di Polres Binjai yang kosong, puluhan warga menjarah barang-barang berharga milik kantor. Hiruk pikuk. Pintu penjara bobol. Sebanyak 61 tahanan melarikan diri.
Lewat pukul tujuh, kepala Polres Ajun Komisaris Besar Polisi HM Mulyi Karnama memerintahkan anak buahnya mencari perlindungan ke pendopo walikota dekat lapangan Merdeka. Maka bergeraklah 40 polisi ke sana, menyusuri gang-gang sempit belakang rumah penduduk, untuk menghindar dari tentara Linud yang masih bertahan di pusat kota. Mereka dalam keadaan takut. Para polisi itu tak dilatih berperang. Mereka dilatih menghadapi warga sipil. Tak disangka, tentara Linud ternyata ada dekat rumah walikota. Maka mereka pun ditembaki lagi.
Dalam panik, sebagian besar polisi terjun ke sungai. Tak ada yang sadar, Brigadir Polisi Ridwan M Hayat dan Brigadir Satu Satria Sembiring, terbawa arus sungai dan tewas.
SABTU 2 November lalu saya menjumpai Sersan Dua Amru Daulay di Detasemen Polisi Militer Medan tempat dia ditahan sejak kerusuhan Binjai. Abdul Rahmat dan Hilman masih di rumah sakit.
Selama masa penyidikan itu, hanya istri, anak dan orangtua, yang boleh datang menjenguk. Hari itu saya datang dengan mengaku sebagai teman istrinya. Secara sembunyi-sembunyi saya mewawancarai Amru Daulay, walau akhirnya ketahuan piket jaga. Buntutnya saya diperiksa provost selama empat jam lebih.
Kesan saya, pria berumur 28 tahun ini, tak terlihat seperti tentara kebanyakan yang bertubuh tinggi dan gagah. Baju yang dipakainya kaos lusuh dan celana panjang coklat. Wajahnya tak begitu bersemangat. Jenggot dan kumisnya tampak sudah lama tak dicukur.
Amru menjalani rutinitas yang membosankan dipenjara. Dia sering suntuk. Dia senang ketika saya beri sebuah majalah. Selama di penjara, dia tak bisa melihat televisi dan membaca suratkabar.
Amru tak tahu bahwa kebanyakan media cetak di Medan dan Jakarta menyebutkan kasus penyerangan malam itu dilatarbelakangi masalah beking obat terlarang. Keterangan resmi dari polisi dan tentara mengatakan tentara Linud 100 berusaha melepaskan temannya yang ditangkap karena kasus obat terlarang. Bukan kasus pengrusakan rumah Great Wall. Abdul Rahmat disebut sebagai “beking Marwan.” Dalam wawancara dengan wartawan pada Minggu pagi, setelah peristiwa penyerangan Polres Binjai, Pangdam Bukit Barisan M Idris Gasing menegaskan, “Biasalah, urusan perut, beking-bekingan.”
Amru sendiri merasa yakin Abdul Rahmat tak terkait masalah beking-bekingan. “Saya kenal baik dengannya. Setahu saya dia tidak seperti itu,” kata Amru.
Kodam Bukit Barisan cenderung tutup mulut dalam kasus yang memalukan institusinya itu. Letnan Kolonel Nurdin Sulistyo mengatakan pada saya, mereka sedang berupaya mendinginkan situasi. “Anggota masih dalam keadaan panas di lapangan. Ada perintah dari atas untuk tidak mengeluarkan pernyataan yang bisa memicu hal-hal yang tak diinginkan,” jawabnya ketika saya tanya mengapa Mayor Madsuni ditegur Kodam karena wawancaranya dengan media massa terkesan membela anak buahnya.
Madsuni dan kelima perwira kompi Bataliyon Linud sudah dicopot jabatannya bersamaan dengan pemecatan Amru Daulay dan 19 temannya. Para perwira itu ditarik ke Kodam Bukit Barisan tanpa pekerjaan jelas.
Amru mengatakan pada saya, dia tak menduga akan dipecat, “Malam itu ada ratusan anggota Linud yang ikut menyerang. Saya tidak tahu kenapa hanya kami yang ditahan dan dipecat.”
Malam itu Amru merasa tak menembak orang. Dia tak melihat ada korban manusia dekatnya. Dia mengaku hanya menembaki kantor polisi dan panser Brimob. Amru tak bilang siapa temannya yang menembak para korban. “Kami dikambinghitamkan. Mereka yang menembak masih berkeliaran di luar sana.”
Sehari setelah penyerangan, semua prajurit Linud dikumpulkan di aula markas mereka. Ada pemeriksaan oleh tim dari Kodam Bukit Barisan. Prajurit-prajurit yang terlibat penyerangan diminta maju ke depan dan bercerita pengalamannya malam itu.
Prajurit Satu Hermansyah adalah tamtama pertama yang mengakui perbuatannya. Hermansyah anak buah Amru Daulay. Ketika ditanya siapa bintara pertama yang ikut menyerang, Amru tanpa pikir panjang maju ke depan, disaksikan teman-temannya yang terpelongo. Tak banyak prajurit yang mau membuat pengakuan secara berani. Kebanyakan memilih diam.
Rabu 2 Oktober itu, ketika Amru dan seluruh pasukan berangkat apel, tak sedikitpun terbersit dibenaknya akan dipecat dengan tidak hormat dari kesatuan Linud 100. Amru Daulay dan 19 prajurit Linud yang membuat pengakuan, termasuk Abdul Rahmat dan Hilman yang luka tembak, dipecat langsung oleh Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu. Dari Jakarta terbang langsung ke Medan, Ryacudu mencopot langsung baju dinas mereka. Ryacudu juga membekukan seluruh kegiatan bataliyon selama setahun. Seluruh persenjataannya ditarik ke Kodam Bukit Barisan.
Ryacudu sangat marah dan menganggap penyerangan itu merusak citra Angkatan Darat. Dia menganggap tindakan itu “pengecut.” Dalam apel Ryacudu berpidato, “Apakah kamu tahu bahwa perwira Brimob yang kemarin tertembak adalah anak seorang pejabat TNI AD di Mabes TNI?” Perwira yang dimaksud adalah Inspektur Dua Tito Yudha Darma, putra Kolonel Riswan, kepala perlengkapan Kodam Jakarta Raya. Ryacudu juga marah pada Idris Gassing dan koleganya di Bukit Barisan. “Apa saja kerja Anda di sini hingga terjadi perang? Mengapa sampai ada senjata yang dikeluarkan? Memangnya lagi perang?”
Idris Gassing memang terkesan tak melakukan upaya apapun malam itu. Menurut Nurdin Sulistyo, Pangdam Gassing sepanjang malam itu ada di markas Kodam Bukit Barisan, tanpa merinci apa saja yang dilakukannya ketika prajurit Linud menyerang polisi. Pada 7 November lalu Gassing juga dicopot dari jabatannya dan dipindahkan ke Jakarta tanpa pekerjaan jelas.
Amru tak pulang lagi ke bataliyon Linud setelah pemecatan. Hari itu juga dia masuk sel tahanan. Di asrama Linud, Nur Asiah, yang tak berjumpa dengan suaminya sejak ulangtahun Ayu Daulay, menangis-nangis ketika tahu suaminya dipenjara.
Menurut Nur Asiah, yang saya temui di asrama Linud, suaminya bilang padanya di penjara, ”Nggak apa-apa, Mak Ayu. Sabar aja. Mungkin sudah garis tangan ayah begini. Ayah salah karena bela teman. Kita jalani dulu prosesnya.”
“Dari kawan-kawannya saya tahu juga. Dia bilang dirinya yang menjadi pemanas kawan-kawannya supaya mau bergerak,” kata Nur.
Di mahkamah militer, 20 anggota Linud itu disidang dalam dua kelompok: kelompok Abdul Rahmat yang terlibat dalam keributan Sabtu malam di Polres Binjai dan kelompok Amru Daulay yang terlibat dalam penyerangan malam kedua.
“Amru itu kebanggaan keluarga kami. Almarhum ayahnya selalu membanggakan Amru pada siapa pun. Suami saya bilang sejak Amru jadi tentara rasanya derajat keluarga kami terangkat. Orang-orang tidak sembarang lagi sama keluarga kami. Kami punya pelindung sekarang,” kata Rosma boru Hasibuan di rumahnya di Limau Sunde.
Rosma menasehati saya, “Kalau ibu punya anak, masukkan dia ke tentara. Dia akan jadi anak berbakti pada ibu.”
Amru memang penurut pada mamaknya. Ketika bujangan hidupnya agak nakal, terkadang ikut teman-temannya mabuk. Tapi Amru berubah total ketika berumah tangga. Apalagi setelah ikut pendidikan lagi untuk syarat naik pangkat jadi sersan. Sebagai seorang sersan dua, gaji Amru Rp 800.000 per bulan setelah dipotong sana-sini. Untuk membeli televisi, kursi tamu dan sepeda motor, Amru minta pada mamaknya.
Tapi Amru tak pernah lupa dengan cita-cita terbesarnya: jadi orang kaya. Tapi dia juga tahu bahwa tak mungkin kaya jika jadi tentara. Takdir memutuskan lain. Amru bukan saja tak jadi kaya tapi dikeluarkan dari ketentaraan. “Kalau saja kawan kami tidak ditembak, mungkin kami tidak akan melakukan penyerangan itu,” katanya.*
*Dipublikasikan Majalah PANTAU Jakarta Desember 2002
SURAT DARI GEUDONG PANGLIMA, CUAK DAN RBT
Gerakan Aceh Merdeka terlibat dalam tragedi peperangan
Oleh CHIK RINI
SAYA berkunjung ke Lhokseumawe empat hari sebelum malam Tahun Baru 2002. Tapi dengan cepat saya merasa bosan di situ dan memutuskan berkunjung ke Geudong, sebuah kota kecil 16 km sebelah timur Lhokseumawe. Saya tinggal di Geudong sampai 22 Januari 2002 atau bertepatan hari kematian Teungku Abdullah Syafi'ie, pemimpin gerilya Gerakan Aceh Merdeka atau biasa disebut GAM.
Di Geudong saya numpang tinggal di satu rumah seorang pegawai Departemen Pekerjaan Umum. Istrinya masih kerabat dekat keluarga saya di Banda Aceh. Mereka orang asli Geudong. Orangtua mereka tuan tanah tempo dulu di daerah itu. Saudaranya banyak dan tersebar hampir di tiap kampung.
Keluarga itu punya tujuh anak. Dua anak gadisnya dipindahkan ke Banda Aceh sejak kondisi keamanan Geudong memburuk. Keluarga itu khawatir anak gadisnya terlalu sering bertemu dan bicara dengan tentara Indonesia yang markasnya dekat rumah mereka. Banyak kejadian, siapa yang dekat dengan militer Indonesia, dicurigai oleh GAM. GAM tak senang dan menganggap mereka cuak (mata-mata). Orang pun bisa dituduh macam-macam, walau sebenarnya cuma berbasa-basi, santun pergaulan, karena tak mungkin juga membawa sikap permusuhan dengan aparat Indonesia.
Dua tahun lalu, keluarga itu pernah punya pembantu perempuan keturunan Jawa. Atik namanya. Umurnya berkisar 27 tahun. Dia janda cerai beranak satu. Anaknya dititipkan pada kakaknya di Lhokseumawe. Atik berasal dari Medan. Dia hanya bisa berbahasa Aceh sepatah dua kata. Atik telah ikut keluarga itu selama dua tahun. Dia membantu mereka berjualan mi Aceh—mi kuning yang digoreng dengan racikan rempah-rempah dan rasanya pedas.
Atik agak teledor kalau ngomong. Atik suka memakai baju ketat. Dia sering ke markas brigade mobil—pasukan elit kepolisian Indonesia. Kabarnya Atik pacaran dengan salah satu anggota Brimob di sana. Entah apa, suatu hari Atik dibawa pergi seseorang yang dicurigai punya hubungan dengan GAM. Banyak orang melihat Atik dibawa pergi oleh tukang RBT.
RBT singkatan dari rakyat banting tulang—istilah yang agak dramatis buat tukang ojek di Aceh. Oleh si tukang RBT, Atik kabarnya dibawa naik “ke atas”—sebutan lokal untuk markas gerilyawan GAM di gunung. Atik tak ada kabarnya, sampai beberapa minggu kemudian seorang pengemudi RBT lain buka mulut.
Si tukang RBT ini juga turut dibawa ke atas. Dia punya salah karena sering terlihat ke tempat Brimob. Padahal dia ke situ mengantar belanjaan saja. Selama beberapa hari matanya ditutup kain hitam. Dia hanya tahu siang dan malam dari panas matahari yang jatuh di atas kepalanya. Si tukang RBT yang masih muda itu diikat di sebuah batang pohon. Dia menangis mohon ampun.
Suatu malam kain matanya dibuka. Saat itulah dia melihat Atik, yang dia kenal karena sering bertemu di pasar. Atik, si perempuan malang, diikat tangannya, hanya bisa merintih. Tangisnya sudah habis. Di hadapan si tukang RBT itu Atik dieksekusi. Mayat Atik ditanam dalam sebuah lubang.
Si tukang RBT beruntung. Dia dilepaskan karena seorang gerilyawan ada yang kenal baik dengannya karena masih sekampung. Dia pun diampunkan. Tapi melihat eksekusi Atik, dia sempat sakit tiga bulan. Stres. Setelah sembuh dia menjual sepeda motornya kemudian pergi ke Pulau Batam. Tak pulang lagi.
Tak ada yang menuntut atas peristiwa itu. Tak ada juga yang membuat aduan. Penyebab hilangnya Atik masih simpang siur. Orang-orang di Geudong hanya menduga-duga. Orang-orang yang kenal dekat dengannya memilih tutup mulut. Cerita tersebar dari mulut ke mulut. Ada yang bilang Atik dipotong lehernya, ada yang bilang dia ditembak kepalanya. Yang jelas sampai sekarang Atik tak ada kabar beritanya.
Selang beberapa bulan setelah Atik menghilang, keuchik (lurah) di kampung tempat saya tinggal, juga hilang. Dia hilang tak tentu rimbanya. Beberapa orang memberitahu saya keuchik Amir diambil orang GAM dan “dibawa ke atas.”
Apa kesalahan Keuchik Amir?
Rasa penasaran mendorong saya mendatangi rumahnya yang bersebelahan dengan markas Komando Rayon Militer (Koramil) Geudong. Istrinya, ketika tahu tujuan saya, menolak bicara. Istri Keuchik Amir takut. Peristiwa hilang suaminya sudah lama berlalu. Dia tak berani membangkitkan cerita itu lagi. Takut pihak penculik marah.
Saya hanya dapat keterangan dari orang-orang sekitar rumahnya. Keuchik Amir diambil ketika pulang dari kenduri selamatan orang naik haji di kampung tetangga. Tak jelas siapa yang mengambilnya. Tapi Keuchik Amir terlihat pergi dengan seseorang yang memanggilnya di jalan. Sejak itu dia tak pulang lagi.
Seminggu hilang, istri dan keenam anak yang masih kecil-kecil, hanya pasrah. Keluarga itu melaksanakan kenduri selamatan dan tahlil kematian untuk Keuchik Amir. Dari mulut ke mulut orang di Geudong beredar cerita, Keuchik Amir juga telah dipotong lehernya. Ada juga yang bilang Keuchik Amir dituduh cuak. Keuchik Amir dibicarakan sering nongkrong di markas Koramil. Kemungkinan lain ada seseorang yang dendam secara pribadi dengan Keuchik Amir. Sakit hati, orang itu melapor ke GAM, mengadu keburukan Keuchik Amir.
Di Aceh, orang bisa dengan sangat mudah menghabisi orang yang tidak disenanginya. Cukup dia memfitnah musuhnya kepada salah satu pihak, aparat Indonesia atau Aceh Merdeka. Tuduhannya ya sebagai mata-mata.
Atik dan Keuchik Amir hanya dua dari cukup banyak cerita yang saya dengar selama bekerja beberapa tahun di Aceh. Beberapa cerita tragis serupa saya dengar dari mulut orang-orang Geudong. Tapi ketika saya menjumpai keluarga korban, tak satu pun yang mau memberi pernyataan. Mereka menolak bicara karena saya wartawan. Mereka takut.
Kepada siapa? Tak jelas takut pada siapa. Tapi secara jelas saya melihat rasa takut di mata orang-orang di sana. Mereka takut salah omong. Lucunya mereka mau bicara kalau saya janji tak mengutip pernyataan mereka. Anak-anak muda yang mengobrol dengan saya selalu memastikan dulu bahwa saya tak menulis apa yang mereka ceritakan. Terkadang sambil bercanda mereka memeriksa apakah saya mengantungi tape recorder.
Sulit bagi saya untuk percaya atau tidak percaya apakah cerita tentang Atik dan Keuchik Amir benar adanya. Tapi ada pengalaman lain yang menarik. Suatu hari menjelang kepulangan saya, tetangga di belakang rumah tumpangan saya panik. Adiknya yang bekerja sebagai wakil camat di Kecamatan Idi Rayeuk Kabupaten Aceh Timur diculik GAM wilayah Peureulak. GAM minta tebusan Rp 200 juta. Saya mendengar langsung dia bercerita hal itu kepada keluarga tempat saya tinggal.
Saya kasihan dan merasa sedih. Saya menawarkan jasa untuk mencari tahu kabar si adik. Saya berniat menghubungi juru bicara GAM Peureulak Ishak Daud yang sering berkomunikasi dengan wartawan. Paling tidak saya ingin memastikan si adik baik-baik saja.
Dengan ketakutan, keluarga itu minta saya tak ikut campur. Apalagi mereka tahu saya wartawan. Mereka minta saya tak melaporkannya di koran. Mereka takut, karena sudah diancam pihak penculik. Jika peristiwa itu diketahui orang lain, apalagi sampai dipublikasikan, si adik akan dihabisi. Karena itulah keluarga tak mau ambil risiko.
Saya hanya bisa prihatin. Beberapa minggu sesudahnya, saya mengetahui kalau keluarga itu hanya bisa membaca yasin, doa keselamatan yang biasa ditujukan untuk orang mati. Tak ada lagi kabar tentang nasib si adik. Tapi mereka masih menyimpan harapan si adik masih hidup.
DI GEUDONG saya menghadapi orang-orang yang takut bicara. Susah meyakinkan mereka bahwa bercerita yang benar adalah hal baik. Tapi ketika mereka bicara tentang keselamatan jiwa, saya juga tak bisa berbuat apa-apa. Terlalu banyak kematian yang mereka lihat. Tak tahu siapa musuh siapa kawan. Nyawa tak ada harganya di Aceh. Anak-anak di rumah suka bercerita kepada saya bagaimana mereka melihat mayat dibuang di sembarangan tempat. Ada yang lehernya dipotong. Ada yang kepalanya ditembak atau tubuhnya lebam-lebam akibat penganiayaan. Anak-anak itu pernah menemukan mayat laki-laki setengah telanjang yang dibuang di sawah depan rumah mereka.
Apakah benar GAM melakukan kekerasan?
Seorang anak muda yang punya usaha dagang di pasar Geudong bercerita. Setahun lalu dia hampir masuk ke GAM. Tapi melihat kelakuan kawan-kawannya dia urungkan niat itu. Dia melihat kawan-kawannya yang masuk GAM bukan lagi murni berjuang untuk kemerdekaan Aceh. Kawan-kawannya itu berubah jadi pemeras dan tukang culik orang. Mereka melarang orang berbuat dosa. Tapi dengan jelas dia melihat mereka bercimeng (isap ganja). Bagi anak muda itu tak heran jika GAM bisa berbuat kejam.
Perang di mana pun juga selalu membuat lapisan terburuk dalam masyarakat ikut peperangan. Banyak orang mengatakan mereka yang gabung ke GAM maling ayam, tukang mabuk di Geudong. Kebanyakan anak muda yang mau bergabung anak-anak kampung pedalaman. Mereka ini disebut-sebut sebagai GAM cantoy. Mereka pengangguran dan tidak sekolah. Tugasnya sebagai mata-mata. Memberi informasi kalau ada tentara lewat atau orang sipil yang berseberangan dengan GAM. Anak-anak itu juga jadi penagih uang yang disebut uang perjuangan dari orang-orang kaya. Pemuda cantoy tidak punya senjata. Tapi mereka punya pelindung yang punya senjata. Mereka berani dan nekat, walau senjata mereka rakitan.
Anak muda itu menyuruh saya pergi masuk ke kampung-kampung pedalaman. Di sana banyak cantoy. Umurnya masih muda-muda. Di pasar Geudong juga ada, tapi keberadaannya tak kentara. Tapi orang-orang di sana banyak yang tahu mana para cantoy. Orang-orang tak peduli, karena mereka tidak juga mengganggu.
Bagaimana mengenali mereka? Dulu mereka punya sandi-sandi. Suatu ketika mereka berpakaian rapi. Tapi kemudian mengubah penampilannya dengan pakai peci. Lalu berubah tanda dengan membawa sisir dan silet bermerek tertentu dalam dompet.
Banyak kasus orang diculik GAM. Biasanya kalau sudah dibawa naik ke atas, jarang ada yang pulang. Ini beda dengan orang yang diculik aparat Indonesia. Kalau mati, mayatnya dicampakkan di sembarang tempat.
Cuma yang jadi persoalan sekarang, dalam situasi keamanan yang tak menentu ini, banyak orang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kalau ada musuh, gampang menghabisinya, dengan fitnah. Meski itu masalah pribadi, tapi bisa disangkutkan dengan GAM. Orang bisa diambil kapan dan di mana saja, Bahkan di keramaian pasar.
PASAR Geudong tempat menarik. Di sana ada warung kopi Barona yang menjual makanan favorit saya: martabak durian. Yang jualan dua orang kakek yang sangat kompak kalau memasak. Yang satu membuat adonan, yang satu lagi memanggangnya di atas pemanggang besi lebar. Rasanya sungguh lezat. Saya bisa menghabiskan dua porsi sekali duduk. Harga per porsi Rp 2.500.
Martabak durian di situ sangat terkenal dan jadi semacam hak paten kedua kakek itu. Mulanya mereka hanya bereksperimen sekitar tiga tahun lalu. Martabak telur diganti martabak durian. Karena laris, pedagang lain ikut-ikutan. Tapi rasa dan lembutannya tak bisa menyaingi martabak barona.
Warung kopi Barona juga selalu ramai pengunjung. Selain jual martabak, ada juga sate kambing dan mi Aceh. Kebanyakan yang duduk di situ orang laki. Mereka datang untuk minum secangkir kopi dan bisa menghabiskan waktu sejam mengobrol dengan kenalan.
Biasanya di tiap warung kopi ada televisi yang memutar film VCD dan menyediakan suratkabar. Tapi di warung Barona tak ada televisi. Suratkabarnya hanya harian Serambi Indonesia yang sudah lecek karena berpindah dari tangan ke tangan.
Kalau sudah sore pasar Geudong itu jadi ramai. Di sana tak sedikit orang laki yang pergi belanja. Mereka mengayuh sepeda tua dari kampung-kampung yang jauh. Mereka membeli ikan. Jarang sayur. Orang di sana tak begitu penting makan sayur. Jalan depan pasar merupakan lintasan transportasi darat menuju Medan. Bus besar dan truk barang banyak yang berhenti di Geudong.
Di atas atap kios pedagang buah yang berderet di pinggir jalan, ada bendera-bendera merah putih kecil yang telah memudar warnanya. Pedagang kaki lima, warung rokok berserak di pinggiran jalan pasar. Kambing-kambing berkeliaran cari makan dari sampah-sampah yang dibuang pedagang. Beragam penampilan orang. Ibu-ibu berbaju kurung, kakek-kakek pakai sarung. Anak-anak muda bersepatu kets. Anak-anak gadis bercelana jins dan baju ketat tapi berjilbab. Kontras dengan beberapa anak muda berkopiah taliban yang duduk di beberapa warung kopi. Pasar itulah pusat keramaian di Geudong.
Di tengah keramaian pasar itulah Sersan Tarji Surbakti, pada Juli 2001, ditembak mati. Pada sore yang ramai, polisi yang berpakaian sipil itu, membawa kedua anaknya, satu kelas dua SD dan satu lagi baru berumur empat tahun, pangkas rambut. Di depan kios pangkas yang baru sesaat ditinggalkannya, saat hendak menghidupkan sepeda motor untuk pulang, seorang pemuda mendekat. Moncong pistol rakitan diarahkan tepat di kepala. Tembakan pertama kena sasaran. Sersan Taji masih bisa bereaksi merogoh pistol di pinggangnya. Tapi dengan cepat senjatanya dirampas si penembak. Dengan senjata rampasan itu Sersan Taji mendapat tembakan tambahan di perutnya. Sersan Taji tewas di tempat disaksikan anak-anaknya yang menjerit-jerit histeris, minta tolong. Tapi tak satu orang pun bergeming. Orang-orang justru banyak yang lari ketakutan, menjauh.
Peristiwa itu bagai menambah cerita orang-orang yang ditembak di keramaian pasar. Tahun sebelumnya seorang komandan Koramil Geudong berpangkat letnan dan seorang warga negara biasa mati ditembak disaksikan oleh banyak orang. Pelakunya melarikan diri dengan mudah.
Pasar Geudong memang ramai. Tapi keramaian itu lenyap begitu magrib tiba. Tak ada satu toko dan warung pun yang buka. Tak ada orang yang berkeliaran di sana. Orang-orang kampung sudah pulang ke rumahnya.
Malam Jumat, 10 Januari 2002, saya mendengar suara rentetan senjata tepat ketika azan magrib sedang berkumandang di mesjid-mesjid. Rentetan senjata susulan meletus bertubi-tubi. Tentara Indonesia di markas Koramil dekat rumah ikut melepaskan tembakan. Entah ke mana arah pelurunya, suara letusannya sangat kuat. Setengah jam suara tembak-tembakan itu terdengar. Kami tiarap dalam rumah takut peluru nyasar. Ketika keadaan kembali aman, saya dapat kabar markas polisi di pasar diserang GAM. Tak ada korban jiwa. Yang seperti itu sering terjadi.
DUA kali saya keliling masuk ke kampung-kampung di Geudong. Ada teman yang mau mengantar dengan sepeda motornya. Saya suka pemandangan desa yang saya lalui. Jika ke arah pedalaman saya jumpai hamparan sawah hijau membentang luas. Jika ke arah pesisir pantai saya jumpai deretan tambak-tambak udang.
Alangkah senangnya kalau Aceh aman. Suasana pedesaan sangat kental. Banyak rumah panggung. Ada pesantren dan balai pengajian. Anak-anak bermain di saluran irigasi dan perempuan-perempuan bekerja menanam padi di sawah.
Pemandangan menyedihkan saya tangkap saat mengunjungi situs peninggalan kerajaan Samudra Pasai, kerajaan Islam pertama di Nusantara. Letaknya tiga kilometer dari pasar Geudong. Komplek makam Malikul Saleh, sang raja, yang berukir kaligrafi indah, sunyi tanpa pengunjung. Dulu waktu Aceh masih aman, banyak turis dan anak sekolah berkunjung. Kini di situ hanya ada kawanan sapi milik orang kampung yang merumput.
Setiap saya melalui warung kopi atau gardu ronda, yang ramai orangnya, orang-orang memandang saya dengan tatapan aneh. Di satu kampung saya melalui pos penjagaan marinir. Jalan di depan pos dibarikade secara zig-zag. Pos itu rumah orang kampung yang ditinggal pergi pemiliknya. Pasukan marinir membangun benteng dari karung diisi pasir di depan pos. Dua moncong senjata besar mencuat dari balik benteng. Tiga prajurit marinir tertawa ketika kami menyapa tanda permisi. Mereka mengangkat piring kaleng yang mereka pegang. Mereka sedang makan siang.
Pemandangan sedih lain saya lihat di dua kampung. Bangunan sekolah di sana hangus dibakar. Satu sekolah terbakar tak bersisa. Satu sekolah lagi masih ada kelas yang terselamatkan.
Agustus tahun lalu, memang terjadi aksi pembakaran sekolah secara serempak di Aceh Utara. Siapa yang melakukannya, tak jelas. Yang satu menuduh pasukan Indonesia. Yang lain mengatakan GAM. Wallahualam. Hanya Allah yang tahu.
Saya berpikir, apakah GAM sudah berubah jadi bandit sosial di Aceh? Yusuf Ismail Pase dari Lembaga Pembelaan Lingkungan Hidup dan Hak Azasi Manusia di Lhokseumawe menjawab pertanyaan saya itu dengan hati-hati. Dia mengatakan saat ini ada kelompok yang memanfaatkan konflik Aceh untuk cari keuntungan dengan memeras. Kelompok itu bekerja layaknya mafia. Mereka kriminal. “Saya tidak tahu apakah mereka GAM benaran atau hanya nyantel nama GAM. Tapi mereka selalu menyebut dirinya GAM.”
Saya menjumpai Yusuf di kantornya di kawasan Cunda Lhokseumawe. Dari lantai dua kantor yang berupa toko itu, saya bisa memandang jelas pos polisi lalu lintas di seberang jalan. Saat itu ada sebuah truk penuh barang dari arah Medan berhenti depan pos. Kernetnya turun dan berlari-lari ke arah pos. Di balik pagar dua polisi lalu lintas menunggu. Si kernet menyerahkan sesuatu lalu pergi. Sudah semacam tradisi, semua kendaraan, yang melintas di sana menyetor uang untuk polisi-polisi itu.
Yusuf menyebutkan, orang-orang yang menyatakan GAM itu mendatangi orang-orang kaya minta sumbangan uang perjuangan. Jumlahnya bisa jutaan, tergantung kekayaan si penyumbang.
Kalau masyarakat takut bicara itu tidak heran lagi. Yang dihadapi mereka teror. Banyak orang memilih tutup mulut karena takut salah bicara atau takut ada pihak yang terpojokkan. “Di sini nyawa tak ada harganya. Saya bisa hilang kapan dan di mana saja. Syukur kalau mayatnya ketemu. Terkadang ada yang hilang tak tentu rimbanya. Intel aparat dan GAM ada di mana-mana. Di depan kantor saya juga ada mereka.”
Yusuf termasuk aktivis yang berani bersuara. Tapi belum lama ini Yusuf sempat lari ke Jakarta karena diteror aparat Indonesia dan GAM.
TEUNGKU Ishak Daud adalah juru bicara GAM wilayah Peureulak. Kelompok mereka terkenal sering menculik orang-orang sipil. Mulai dari orang yang bekerja di pemerintah Indonesia sampai wartawan-wartawan lokal. Bahkan sejak Januari lalu, kelompok GAM Peureulak menahan tujuh siswi SMU dan seorang siswa SMP di markasnya. Anak-anak yang masih di bawah umur itu dianggap cuak karena sering terlihat dekat dengan tentara-tentara Indonesia.
Ishak Daud ketawa keras ketika saya menuding mereka dengan sebutan kelompok kriminal yang suka menculik orang sipil. Saya mengobrol dengannya, satu malam awal Februari lalu, di sebuah rumah gubuk yang hanya berpenerang beberapa batang lilin di pedalaman Peureulak Kabupaten Aceh Timur.
Daud bercerita kepada saya, tentang dirinya dan GAM. Daud bersikap baik dengan wartawan. Tapi Daud pernah menahan wartawan harian Serambi, Waspada, dan TVRI, hanya karena wartawan-wartawan itu tak adil dalam membuat berita tentang GAM.
Daud tersenyum malu ketika saya bilang bahwa aksi kelompoknya menculik orang-orang sipil sebagai bagian promosi untuk menarik perhatian dunia. Tapi gara-gara itu juga, Daud mengatakan, dia beberapa kali kena tegur GAM Swedia tempat Muhammad Hasan di Tiro, wali negara Aceh Merdeka, bermukim.
GAM Peureulak saya anggap kelompok paling nekat. Mereka pernah menduduki Kota Idie Rayeuk selama 48 jam pada Januari 2001. Mereka juga berani melakukan sweeping di jalan Banda Aceh-Medan pada siang bolong.
Kata Daud, GAM mengambil orang-orang sipil karena mereka punya kesalahan terhadap GAM. Kesalahannya beragam. Terberat jika seseorang dianggap sebagai cuak oleh GAM. Cuak sangat berbahaya bagi perjuangan mereka. GAM tak memberi ampun kepada orang-orang yang kedapatan jadi informan militer Indonesia, apalagi jika sampai menghilangkan nyawa orang GAM.
“Misi perjuangan kami adalah menyelamatkan bangsa Aceh. Tapi kami tidak menyelamatkan seorang pengkhianat bangsa,” kata Daud.
Siapa pun bisa dianggap cuak, jika kedapatan dekat dengan militer Indonesia. GAM tidak peduli siapa mereka. Nyatanya, GAM menahan tujuh siswi SMU gara-gara berpacaran dengan orang-orang TNI. Buntutnya para pelajar itu dianggap cuak. Seorang tahanan lainnya, seorang anak laki berumur 14 tahun. Saya tak habis pikir, anak sekecil itu bisa jadi mata-mata, yang menunjuk keberadaan tiga anggota GAM sehingga ditembak mati oleh TNI.
Tapi saya agak lega, ketika Ishak Daud memberitahu saya anak-anak itu akan dilepaskan. Saya hanya merasa kasihan. Anak-anak itu masih menjalani hukuman di markas GAM. Saya tidak tahu apa mereka dipenjara seperti di penjara umum. Tapi kepada saya, anak-anak itu mengatakan selama ditahan mereka belajar mengaji di markas GAM.
GAM punya hukum peradilan sendiri. Orang-orang yang bermasalah itu harus menjalani peradilan di markas GAM di gunung. GAM punya khadi yang bertindak sebagai hakim yang memutuskan sebuah perkara. “Tapi mereka bukan dihukum dengan sembarang tuduhan. Harus ada saksi, apakah benar dia bersalah,” kata Daud.
Hukuman terberat dibunuh. Paling ringan biasanya hanya ditahan. Selama ditahan, katanya, GAM membimbing orang-orang yang bermasalah itu. Mereka diajarkan ilmu agama. Penjaranya sering pindah-pindah, mengikuti markas GAM. “Kalau ada orang dibunuh GAM, pasti dia punya salah berat. Ada juga yang dipotong lehernya, tapi biasanya dia ditembak terlebih dahulu.”
Daud tak menafikan bahwa tak sedikit orang jahat dalam tubuh GAM. Siapa pun boleh masuk GAM. Tidak ada seleksi untuk itu. “Tapi kami berjuang bukan untuk pangkat dan harta. Kalau boleh saya bilang, saya sendiri sebenarnya orang jahat. Indonesialah yang membuat kami seperti ini. Di sini kami berpendidikan rendah, orang hidup dalam kemiskinan, makan tak cukup. Itu membuat orang mudah terjerumus ke perbuatan buruk. Tapi di dalam GAM kami diubah menjadi lebih baik. Di sini kami punya hukum sendiri. Kalau ada yang kedapatan menyakiti rakyat, dia kita hukum. Biasanya kita rendam di kubangan semalam suntuk. Jadi tidak benar kalau dibilang kami jahat,” jelas Ishak Daud.
Daud sendiri hanya sekolah sampai SMP. Dia sudah kenyang kehidupan penjara. Mulai dari kamp pendatang haram di Malaysia, lalu hidup berpindah-pindah di penjara Aceh dan Sumatrra Utara. Entah benar atau tidak, Daud bercerita, saat kelas tiga SD dia pernah menimpuk ibu gurunya dengan batu, gara-gara si guru mengharuskan dia bicara bahasa Indonesia di sekolah.
Apakah hidup Daud lumayan enak atau tidak sebagai gerilyawan GAM? Dari ceritanya, dia terbiasa hidup berpindah-pindah seperti pelarian. Pakaiannya cuma kemeja biasa, kecuali sepatunya, bot kulit warna coklat muda, walau tak banyak yang tahu, berharga Rp 2 juta. Kemewahan yang paling kentara cuma terlihat pada alat-alat komunikasi yang dipakainya. Telepon satelitnya butuh uang paling sedikit Rp 16 juta tiap bulan. Dia juga memakai laptop untuk internet.
“Semua ini dibayar dengan uang rakyat Aceh. Ini demi perjuangan kemerdekaan Aceh. Kami belum punya negara yang memiliki anggaran dan biaya yang kami gunakan adalah uang masyarakat. Mulai untuk membeli senjata, baju tentara hingga uang makan prajurit,” katanya.
GAM mengutip uang dari orang-orang kaya dan perusahaan-perusahaan. GAM tak memeras rakyat miskin. Tapi mereka minta uang perusahaan-perusahaan itu. “Kalau untuk PT-PT ada sanksi jika mereka tidak memberi. Mereka tinggal di Aceh dan mengelola pabrik-pabrik di Aceh. Ini negara orang Aceh, mereka harus memberikan sekian persen keuntungan mereka untuk bangsa Aceh. Kalau tidak mau kasih silakan keluar dari sini.”
Saya teringat tentang adik tetangga tempat saya tinggal di Geudong. Saya bertanya tentang kebenaran kasus penculikan wakil camat Idie Rayeuk oleh GAM. Ishak Daud mengatakan dia tak tahu. “Mungkin dia diambil sama GAM daerah Idie Rayeuk.” Tapi Daud menambahkan bahwa dia mendengar wakil camat itu sedang kritis karena sempat dipukuli tentara Indonesia ketika terjadi penyisiran di Idie Rayeuk.
Selama sehari semalam saya bersama GAM Peureulak awal Februari lalu, saya melihat betapa dekat hubungan mereka dengan warga di kampung-kampung. Orang-orang kampung terbiasa melihat pasukan GAM bersenjata berkeliaran di jalan-jalan kampung, atau duduk di warung-warung kopi. Mereka ada di mana-mana. Ideologi Aceh Merdeka ada dalam diri masyarakat kampung itu. Saya menjadi mahfum, jika terkadang militer sulit menemukan mereka. Mereka berlapis-lapis. Intelnya ada di mana-mana. Di tiap simpang jalan dan warung. Masih banyak orang yang melindungi mereka.
Saya berpikir, salah satu kunci kekuatan GAM adalah dukungan masyarakat terhadap mereka. Tapi jika banyak orang-orang sipil mereka sakiti, masih adakah dukungan untuk mereka?
DALAM perjalanan pulang ke Banda Aceh, 23 Januari 2002 siang, saya mendapat kabar kematian Teungku Abdullah Syafi’ie. Saat itu mobil umum yang saya tumpangi melintasi Kota Sigli, 112 kilometer dari Banda Aceh.
Ada banyak orang di depan Rumah Sakit Umum Sigli. Tentara juga berjaga-jaga. Dari seorang sopir labi-labi (angkutan kota), kami di mobil mendapat cerita bahwa ada banyak mayat dievakuasi ke rumah sakit. Orang-orang datang mau melihatnya.
“Salah saboh mayat nyan, na yang peugah Teungku Lah (Katanya salah satu mayat adalah Teungku Lah),” kata pria itu dalam bahasa Aceh. Tapi orang-orang tak bisa melihatnya. Mereka tak diizinkan masuk ke kamar mayat. Di situ ada aparat keamanan berjaga-jaga.
Berita itu mengejutkan. Tapi banyak orang yang tak percaya. Setahun sebelumnya, panglima Syafi’ie pernah dinyatakan tewas oleh Tentara Nasional Indonesia. Tapi nyatanya dia masih hidup.
Berita kematian Syafi’ie, dalam usia 52 tahun, sebenarnya hari itu telah muncul di beberapa koran luar Aceh. Tapi banyak yang meragukan, sampai akhirnya abang kandung Syafi’ie sendiri memastikan salah satu dari tujuh mayat yang ada di kamar jenazah rumah sakit itu adiknya.
Syafi’ie tewas dalam sebuah pengepungan oleh 20 orang tentara Indonesia di pedalaman hutan Jiem-jiem, Kecamatan Bandar Baru, Pidie, pada 22 Januari siang. Turut tewas bersama Syafi’ie, istrinya Cut Fatimah, perempuan berusia hampir 50 tahun yang sedang mengandung enam bulan, serta lima pengawal Syafi’ie. Pasangan ini memang agak susah mendapatkan anak.
Syafi’ie sudah bertahan di situ sejak sembilan bulan lalu. Fatimah setia menemaninya. Militer Indonesia mengintip mereka selama beberapa hari. Mulanya terjadi kontak senjata selama beberapa menit. Kekuatan mereka tak berimbang karena ada 10 tentara yang mengepung gubuk tinggal Syafi’ie.
Warga kampung Cubo, sebuah perkampungan antara Jiem-jiem dan Paru, terakhir kali melihat Syafi’ie di Cubo dengan mengendarai sepeda motor pada 17 Agustus 2001. Kota kecil Paru terletak 143 kilometer dari Banda Aceh. Saat itu, belasan gerilyawan GAM menembaki bendera Merah Putih yang dikibarkan warga Cubo karena perintah tentara Indonesia untuk menghormati hari kemerdekaan Republik Indonesia. Syafi’ie marah melihat kelakuan prajuritnya membuat onar di kampung. Syafi’ie khawatir, militer Indonesia marah karena peristiwa itu. Bisa-bisa orang kampung disakiti. Warga Cubo menyaksikan sendiri bagaimana Syafi’ie menggiring belasan gerilyawan GAM masuk ke hutan Jiem-jiem.
Cubo kampung terdekat dengan markas Syafi’ie di Jiem-jiem. Cubo berjarak delapan kilometer dari Desa Paru, yang terletak di lintasan Medan-Banda Aceh. Untuk masuk ke Cubo, dari Paru orang harus melewati dua jembatan, satu di antaranya jembatan gantung yang rusak parah. Di kampung itu hanya ada satu sekolah dasar dan pesantren tradisional, Darussa’adah.
Warganya relatif miskin dan curiga terhadap orang-orang asing yang datang ke kampung mereka. Mereka sudah mengalami begitu banyak kekerasan. Hampir tiap minggu, pada malam hari, tentara-tentara Indonesia masuk ke kampung itu mencari Syafi’ie.
Rumah Syafi’ie sasaran tentara. Rumah Syafi’ie itu sendiri lebih mirip gudang karena sering jadi sasaran kemarahan tentara bila Syafi’ie gagal mereka temukan. Mereka mengobrak-abrik barang di rumah tanpa penghuni itu. Dalam rumah hanya ada dua ruangan yang berisikan tempat tidur, meja, dan lemari tua.
Rumah itu cermin kesederhanaan Abdullah Syafi’ie. Bahkan sebenarnya Syafi’ie bukan pemilik rumah. Itu rumah Cut Fatimah yang pernah dibakar militer Indonesia pada masa Daerah Operasi Militer 1990. Syafi’ie lebih sering berada di hutan-hutan, berpindah-pindah, dan bertahan tinggal di gubuk darurat. Dia lebih sering makan mi instan daripada ikan.
Bagi warga Cubo, Syafi’ie pahlawan. Mereka berebutan mencium tangan Syafi’ie, jika dia turun ke kampung-kampung. Bukan karena dia sebagai panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka orang menghormatinya. Tapi tingkah laku Syafi’ie mencerminkan sikap seorang pemimpin yang cinta sama rakyatnya. Di sana bahkan Syafi’ie lebih populer dibanding wali negara Aceh Merdeka Muhammad Hasan di Tiro yang kini bermukim di Stockholm, Swedia.
Syafi’ie seorang panglima perang tertinggi dalam AGAM, sayap militer GAM. Tapi Syafi’ie tak memanfaatkan jabatan itu untuk cari keuntungan pribadi. Dia orang sederhana, taat beragama, cerdas, dan moderat.
Saya pikir Syafi’ie berbeda jauh dengan kebanyakan orang GAM yang memanfaatkan organisasi untuk cari keuntungan pribadi. Syafi’ie tak meninggalkan apa pun, bahkan untuk istri keduanya, Mala, yang kini tinggal di Matang Geulumpang Dua, Bireun.
Syafi’ie dimakamkan bersama istri dan dua pengawalnya dalam satu liang di belakang rumah Cut Fatimah, di tengah malam buta, hanya berpenerang lampu petromak, tanpa upacara selayaknya pemakaman seorang jenderal sebuah negara. Tidak ada nisan yang bagus, hanya batang pohon jarak sebagai tanda. Syafi’ie mungkin seorang pemberontak. Tapi dia segelintir GAM yang berjuang dengan hati ikhlas untuk membebaskan negaranya dari penjajahan.•
e-mail: chikrini72@yahoo.co.id
Publish by Pantau, Maret 2002
Langganan:
Postingan (Atom)