Dua hari lalu, saya mendapat terusan pesan pendek melalui telepon seluler yang dikirim oleh seorang pemuda asal Manggamat di Aceh Selatan. Namanya Muklis. Dia menulis : Saya cuma segelintir orang yang cinta lingkungan dan saya butuh pemerhati lingkungan. Sekarang kampung halaman saya tepatnya desa Manggamat kecamatan Kluet Tengah, Aceh Selatan. Udah gak kayak dulu lagi. Pencemaran lingkungan yang membabi buta, banjir lumpur di mana2, jalan2 udah pada hancur, anak2 yang berangkat sekolah tidak bisa lagi pakai baju bersih buat belajar karna debu dan lumpur...Itu semua diakibatkan pengeksploitasian batu besi yang diexpor ke Cina siang malam...
Saya pun menyampaikan keluhan kepada Kepala Dinas Pertambangan Aceh Selatan, Mardaleta. November tahun lalu, saya pernah diajak sang kepala dinas melihat pertambangan yang diributkan oleh Muklis di atas. Itu pertambangan eksploitasi biji besi, terletak tepat di batas sisi hutan lindung di Manggamat. Nama perusahaannya PT. Pinang Sejati Utama dengan investor utamanya dari Cina. Luas areal yang sudah dieksploitasi mencapai 40 hektar dari total luas izin eksploitasi 200 hektar.
Setiap hari truk keluar masuk mengakut batu-batu bulat yang dikeruk dari perut bukit untuk di bawa ke pelabuhan laut Tapaktuan. Batu-batu itu kemudian diangkut dengan kapal di bawa ke daerah lain yang punya pabrik pengolahan biji besi. Hasilnya diekspor ke Cina.
Pertambangan itu baru berjalan sejak tahun lalu. Tapi kehancuran lingkungan seperti yang ditulis Muklis dalam sms-nya, juga saya lihat ketika dulu saya ke Manggamat. Pertambangan dengan sistem terbuka menghancurkan vegetasi yang ada di sekitarnya. Dua sungai kecil yang sering dilalui truk pengangkut batu menjadi rusak dan berlumpur serta menjadi dangkal. Sungai itu tadinya jernih. Warga menggunakannya untuk keperluan sehari-hari. Tapi kini tak bisa lagi.
Selain tambang biji besi, ada juga tambang emas yang lokasinya tak begitu berjauhan. Namun kegiatan pertambangan emas milik PT. MMU itu sudah ditutup karena bermasalah juga dengan warga.
Kegiatan pertambangan di sekitar hutan sekarang menjadi persoalan di Aceh Selatan. Saat ini ada 14 perusahaan yang memiliki izin eksplorasi, dimana dua di antaranya sudah menjalankan praktek eksploitasi di Manggamat. Meski Sang Kepala Dinas Pertambangan mengatakan tetap mengedepankan penyelamatan lingkungan, namun tetap saja mengkhawatirkan. Lemahnya pengawasan dan penindakan hukum terhadap pelanggaran pengrusakan lingkungan meningkatkan jumlah kasus penghancuran lingkungan dimana-mana.
Yang sering terjadi adalah masyarakat di sekitar pertambangan hanya menjadi penonton. Sangat sedikit tenaga mereka terserap di kegiatan pertambangan. Alasan karena ketidakmampuan skill. Kalaupun dipakai, mereka hanya menjadi tenaga pengaman atau menjadi buruh kasar. Ketidakharmonisan kerap memunculkan konflik dengan warga. Begitupun di Manggamat. Konflik atas nama kepemilikan lahan juga terjadi antara perusahaan dan warga. Itu menjadi persoalan yang berlarut-larut hingga kini.
Kebijakan Pemerintah Aceh yang mengundang banyak investor masuk untuk mengelola sumber daya alam di Aceh sebenarnya bertujuan baik, ingin meningkatkan laju perekonomian yang dulu sempat terhambat karena konflik yang berkepanjangan. Aceh memiliki potensi pertambangan mineral luar biasa yang belum dimanfaatkan hingga saat ini. Mulai dari minyak bumi, gas bumi, batubara, emas, biji besi dan lain-lain. Potensi yang besar ini menarik minat investor dari luar negeri. Kegiatan eksplorasi telah diberika untuk mencari sumber-sumber mineral baru.
Tawaran investasi lainnya adalah membuka perkebunan kelapa sawit dalam skala luas di Aceh. Sawit banyak menjanjikan keuntungan karena pasokan Crude Palm Oil (CPO) dunia masih dikendalikan oleh Indonesia dan Malaysia. Aceh ingin seperti provinsi tetangganya (Sumatera Utara dan Riau) dimana perekonomiannya bergerak karena kelapa sawit.
Pemerintah Aceh pun menggalakkan pembukaan perkebunan kelapa sawit 150 ribu hektar di Aceh. Ada pembagian lahan dan bibit kelapa sawit untuk korban konflik. Di beberapa kabupaten pembukaan lahan dilakukan dengan membuka kawasan hutan.
Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit kerap memberi efek negatif bagi kehancuran ekosistem. Seperti yang terjadi di Rawa Gambut Tripa di Nagan Raya dan Aceh Barat Daya. Ada 5 perusahaan Hak Guna Usaha (HGU) kelapa sawit yang bekerja membuka hutan gambut di sana.
Tripa masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Namun karena status kawasannya Areal Penggunaan Lain (APL), pemerintah dengan seenaknya memberi izin kepada perusahaan untuk membuka kebun sawit tanpa memperhatikan aspek-aspek lingkungan yang mengikat di dalamnya. Hutan Tripa merupakan habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii). Pembukaan hutan telah menghilangkan populasi Orangutan hingga 70 persen. Satwa lainnya juga dilaporkan terancam kelestarian.
Perusahaan HGU melakukan pengeringan rawa yang menyebabkan vegetasi hancur. Mereka juga kerap melakukan pembersihan lahan dengan cara membakar. Seperti diketahui gambut di Tripa memiliki stok karbon yang cukup besar mencapai 50-100 juta ton. Bisa dibayangkan, berapa karbon yang dilepas di udara ketika Tripa dihancurkan secara destruktif. Pelepasan karbon dapat meningkatkan ancaman pemanasan global yang memicu perubahan iklim.
Pemerintah harus melihat sisi perlindungan dalam kasus pemberian perizinan HGU di Tripa. Dalam peraturan, gambut yang memiliki kedalaman lebih 3 meter seperti yang ada di Tripa harus ditetapkan sebagai areal lindung setempat. Tapi pemerintah telah mengabaikannya.
Sejak awal dilantik Gubernur Aceh Irwandi Yusuf telah mengkampanyekan pembangunan Aceh berdasarkan visi hijau. Artinya semua kegiatan pembangunan perekonomian Aceh juga harus berdasarkan keberlanjutan yang memperhatikan sisi penyelamatan lingkungan jangka panjang. Dalam perjalanan pemerintahannya, Irwandi Yusuf telah menetapkan moratorium logging, merekrut ribuan polisi kehutanan kontak, membentuk Tim Perencana Strategis Pengelolaan Hutan Aceh, dan Aceh Green.
Adanya kemauan yang keras dari Gubernur untuk menyelamatkan hutan dan lingkungan Aceh patut didukung oleh semua pihak. Namun bagaimana implementasinya? Bagaimana koordinasi lintas sektoral di tingkat provinsi dan kabupaten masih menjadi tanda tanya. Seringkali kebijakan antara dinas baik di provinsi dan kabupaten berjalan sendiri-sendiri.
Pengelolaan sumber daya alam yang tidak memperhatikan aspek-aspek penyelamatan lingkungan bisa memicu penghancuran hutan dan lingkungan di sekitarnya. Izin pertambangan dan HGU dalam skala luas kerap mengorbankan kelestarian hutan. Dari analisa perubahan tutupan hutan yang dilakukan tim GIS Yayasan Leuser Internasional, dari tahun 2006-2009 Aceh memiliki laju kehilangan hutan 30.867 hektar per tahun.
Bencana alam sekarang kerap terjadi di Aceh seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan. Kerugian materi atas bencana lingkungan bisa menyamai biaya pembangunan kabupaten. Contohnya saja kerugian atas banjir besar di Aceh Tamiang pada tahun 2006 yang mencapai Rp 100 milyar.
Masyarakat lokal di pinggiran hutan kerap menerima ancaman langsung dari kerusakan hutan di sekitar mereka. Di beberapa kabuaten masyarakat harus berkonflik dengan gajah, harimau dan buaya karena satwa ini keluar dari habitat yang diganggu manusia. Di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, beberapa sungai kering total di musim panas sehingga warga tak bisa mendapat air untuk pertanian dan kebutuhan hidup sehari-hari. Belum lagi banjir yang sudah tak bisa diprediksi datangnya menimpa merata semua kabupaten. Berapa biaya yang harus kita tanggung untuk kehancuran ekologis yang disebabkan oleh ulah manusia?
Aceh masih memiliki hutan yang luas. Kita masih memiliki kesempatan menyelamatkan hutan kita sebelum hilang selamanya. Memanfaatkan sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan harus dilakukan dengan dukungan semua pihak. Melibatkan masyarakat lokal dalam upaya tersebut harus dilakukan. Seperti yang ditulis Muklis dalam smsnya : mereka (masyarakat Manggamat) tidak butuh apa2 selain ketenganan dan damai sepanjang masa...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar