Selasa, 02 Februari 2010

chikrini.com: Menembus Bulohseuma

chikrini.com: Menembus Bulohseuma

Menembus Bulohseuma


Bulohseuma dari pesawat overflight YLI Januari 2008


Pada akhir November 2009, bersama staf Yayasan Leuser Internasional di Tapaktuan, kami mencoba menembus Bulohseuma melalui jalur pantai. Bulohseuma adalah sebuah daerah terisolir tanpa jalan yang berada di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, terkurung diantara hutan rawa yang sunyi dan laut Samudera Hindia yang bergelombang besar.

Inilah Kemukiman Bulohseuma dengan 3 kampung di dalamnya yakni Desa Kuta Padang, Desa Raket dan Desa Kuta Tengoh. Terletak di Kecamatan Trumon Kabupaten Aceh Selatan. Ada 150 Kepala Keluarga tinggal disana. Sejak endatu mereka menemukan daerah itu tahun 1768 dan mendirikan kerajaan kecil di sana, sejak itu pula warga terbiasa hidup di antara keganasan alam. Dulu ada 9 kampung di Bulohseuma, tapi ketika buaya rawa mengganas dan memakan korban jiwa pada tahun 1925, banyak orang Bulohseuma eksodus keluar wilayah itu. Kini cuma tersisa 3 kampung.

Jalur transportasi utama yang menghubungkan warga Bulohseuma dengan dunia luar adalah dari laut. Kapal laut menghubungkan Bulohseuma dan Keude Trumon (ibu kota Kecamatan Trumon) dengan waktu jelajah 4 jam. Dengan kapal mereka mengangkut kebutuhan pokok dari luar. Tapi jika gelombang sedang tinggi, berminggu mereka terkurung dan terancam kehabisan bahan pangan. Jalur lain yang bisa menembus Bulohseuma adalah menyusuri pantai jika ombak bersahabat. Jika air laut surut, warga bisa naik sepeda motor berkejaran dengan bibir gelombang. Waktu tempuhnya sekitar 2 jam untuk jarak sekitar 20 kilometer menghubungkan Bulohseuma dengan Desa Teupin Tinggi, desa terakhir yang memiliki akses jalan darat ke Keude Trumon.

Kami menuju Bulohseuma dengan memakai jasa sepeda motor milik warga Teupin Tinggi. Beruntung cuaca lagi bersahabat dan menjelang siang itu air laut sedang surut. Kami memiliki target 2 jam sampai ke Bulohseuma karena lewat tengah hari air laut akan pasang, dan tak ada pantai yang bisa dilewati sepeda motor.

Sepanjang perjalanan kami harus melewati 13 alur sungai kecil dan besar, dimana air rawa yang berwarna hitam mengalir ke laut. Rawa Singkil merupakan hutan rawa gambut yang sebagian besar lantai hutannya tergenang air sepanjang tahun. Ini merupakan kawasan konservasi seluar 100 ribu hektar yang kaya akan keanekaragaman hayati dan menjadi bagian Kawasan Ekosistem Leuser yang dilindungi.

Di beberapa alur air yang dalam, sepeda motor harus diangkat beramai-ramai. Di satu tempat kami sempat dibantu oleh beberapa orang yang sedang bertransaksi ikan lele di pantai. Kami juga bertemu dengan dua orang Bulohseuma yang mengendarai sepeda motor melalui pantai. Bahkan ada seorang bapak yang tampak berjalan sendiri dari Bulohseuma. Menurut pendamping kami, jalan kaki dari Bulohseuma ke Teupin Tinggi membutuhkan waktu 5 jam. Hal ini sudah berbiasa untuk sebagian orang di Bulohseuma karena tidak semua yang memiliki sepeda motor.

Beruntung, di Alue Ie Itam, sebuah muara sungai yang besar, ada kapal bot yang mengantar kami menyeberang. Bot ini sebenarnya sedang disewa sekelompok orang dari Medan, Sumatera Utara datang dan berkemah di sana untuk mencari sisa besi rel pengangkut kayu milik PT Lembah Bakti, sebuah perusahaan Hak Pengusaha Hutan. Tahun 1996 PT. Lembah Bakti mengambil kayu-kayu dari hutan Rawa Singkil. Namun perusahaan itu cuma bertahan 2 tahun karena berkonflik dengan warga Bulohseuma.

Bulohseuma sebenarnya sebuah kawasan yang tak begitu menjanjikan kesejahteraan untuk hidup. Menurut cerita Keuchik Desa Raket, Taharuddin, warga mereka hidup dalam kondisi sederhana. “Kami menyebutnya ‘sedikit tak cukup, banyak tak habis’. Jika cabai panen, banyak yang terpaksa busuk tak sempat dijual ke luar jika gelombang laut tinggi”katanya. Cabai merupakan komoditi kebun utama dari Bulohseuma. Setiap panen bisa mencapai mencapai 500 kilogram.

Warga Bulohseuma bertahan hidup dengan kesederhanaan mereka. Mereka menanam padi di lahan yang tak begitu luas, mencari madu di hutan dan mencari lele di rawa sebagai sumber penghidupan mereka. Di zaman endatu daerah ini merupakan gudang penghasil lada. Tapi lada mati dan tak pernah hidup lagi.

Madu hutan adalah sumber penghasilan yang lumayan untuk warga. Madu dipanen setiap enam bulan sekali pada bulan Februari dan Agustus. Pohon bak rubek dan pohon pulai di hutan dimana lebah bersarang bisa menghasilkan 2 ton madu tiap pohonnya. Setiap panen bisa menghasilkan madu beratus ton. Harga madu paling murah dijual Rp 100 ribu per bambu dan paling mahal mencapai Rp 350 ribu per bambu. Tapi akhir-akhir ini penghasilan madu berkurang karena gangguan elang yang kerap memakan madu.

Warga juga dipusingkan dengan hama babi dan kera hutan yang kerap menggangu padi di sawah atau tanaman kebun lainnya. “Kami bukan malas bekerja. Tapi itu ‘traktor’ suka mengganggu. Tolong bantu kami mengusirnya,” kata Keuchik raket menyebut babi hutan sebagai traktor.

Warga Bulohseuma sepertinya tidak memikirkan lagi apakah pemerintah akan membangun jalan ke wilayah mereka atau tidak, meski mereka memiliki harapan besar untuk bisa dibuka keterisolirannya dari dunia luar. Meski tanah di sekitar mereka tak menjanjikan kesejahteraan, tapi orang Bulohseuma tetap memiliki prinsip terus bertahan di antara keganasan laut dan hutan rawa demi mempertahankan kuburan endatu yang mereka banggakan. (chik rini)





Hutan Rawa Singkil di pinggir pantai


Menyebrang alur di pantai. Ada 13 alur yang harus dilalui menuju Bulohseuma,yang terbesar adalah Alu Ie Hitam


Menembus Bulohseuma melalui pantai jika gelombang sedang bersahabat.Jarak 20 kilometer ditempuh sekitar 2 jam, saat air laut surut


Mengangkat sepeda motor menyebrang alur


Aku di Alur Ie Itam, menunggu bot untuk menyeberang


Anak-anak Bulohseuma menyebrang sungai dengan rakit


Matahari tenggelam di Bulohseuma