Rabu, 23 April 2008

Dari Pengidam ke Pisang


Desa Pengidam, Kecamatan Bandarpusaka Aceh Tamiang tadinya kupikir tidak begitu mengasyikan untuk dikunjungi. Jauh...melalui jalan berdebu dan tak rata.Di sepanjang jalan dari Simpang Seumadam, tak ada pemandangan menarik yang bisa dinikmati.Hanya jajaran pohon sawit yang begitu monoton. Sawit yang telah mengorbankan kelestarian hutan Leuser di sana.


Namun demikian aku, bang pungut (supir), dan tgk Hasan (community laisson YLI) lumayan greget mendengar celoteh riang Pak Yuswar Yunus (direktur program YLI).Mulai dari gosip pembentukan provinsi ALA sampai repetan tentang program kerja yang tak jalan. Ditambah lelucon parno yang membuat tgk Hasan tersipu malu. Mungkin itu yang menyebabkan ban mobil kempes tertembus paku jembatan kampung yang sudah bobrok.


Rombongan YLI melakukan peninjauan proyek AFEP di Pengidam tanggal 18 Maret 2008. Ada juga Pak Zainal Abidin Pian, Nijar, Mukhlis, Pak Tukiran, dan tak ketinggalan bintang film kita Bahtiar Lampoh Bije..... Tapi gara-gara dia kami makan siang tak ada air minum setelah seluruh air minum yang dibawa tumpah terjatuh dijalan. hehe....


Air terjun Cempegih sangat indah. Di sana kami menghabiskan waktu hampir dua jam untuk melihat lokasi rehabilitasi lahan YLI. Makan siang begitu nikmat. Ditambah dengan minum air kali karena terpaksa.


Di Desa Pisang Kecamatan Labuhan Haji Aceh Selatan juga ada anak-anak sungai yang indah. Membelah kampung, meliuk-liuk di antara kebun warga. Kami berkunjung ke sana pada 20 Maret 2008.


Bagi kita air adalah sumber kehidupan. Untuk itulah program YLI di kedua desa ini mempunyai target untuk melindungi sungai-sungai yang ada di KEL. Dengan harapan pula akan melindungi hutan yang berfungsi regulasi air di sekitarnya.


Sebelum terlambat, maka selamatkan alam kita dari kehancuran.(cr)





Tanggal 18-21 Maret 200

Kampung Air Kapan Berakhir?


Mereka hidup dalam kurungan air sejak gempa Maret 2005 melanda wilayah kota tua Singkil. Tanah rumah mereka amblas menyamai permukaan air sungai depan rumah mereka. Mulai saat itu air mengepung rumah dan kampung. Sampai kini mereka coba bertahan hidup di sana. Meski ancaman buaya dari muara Singkil dua kali hampir menelan korban jiwa seorang perempuan dan anak kecil.

Mereka menanti harapan akan direlokasi ke tanah yang lebih baik. Tanah harapan, dimana mereka bisa membesarkan anak-anak mereka dengan cara yang lebih sehat. Tanpa air kotor dan tanpa ancaman buaya. Cukup satu jiwa yang melayang karena keganasan buaya. Jangan ada lagi korban jiwa lain karena diare, DBD atau penyakit lainnya.

Aku datang ke sana bersama Oki (Walhi), Pak Bestari Raden ("dukun" harimau Aceh Selatan) dan Bang Kumis (supir YLI) pada sore 21 Januari 2008. Kami mau melihat mereka tanpa tahu apa yang bisa kami perbuat untuk mereka.