Oleh : Chik Rini
Dibuat untuk tabloid Bahana Universitas Riau.
Juni 2002 Televisi Amerika Serikan CNN melaporkan adanya perjalanan orang-orang Al-Qaeda ke Aceh. Al-Qaeda adalah kelompok yang dicap oleh negara barat sebagai teroris karena aksi mereka dalam pemboman gedung WTC di New York, Amerika Serikat pada 11 September 2001. Sejak itu Presiden Goerge W. Bush pun mengumuman genderang perang dengan kelompok pimpinan Osama bin Laden ini.
Adalah koresponden CNN di Filipina Maria Ressa yang mendapatkan sebuah dokumen dari badan intelejen Filipina yang menyebutkan bahwa tangan kanan Osama bin Laden, Ayman al-Zawahiri dari Mesir, dan mantan pemimpin militer Al-Qaeda, Mohammad Atef, bersama wakil senior Al-Qaeda di Asia Tenggara Omar Al-Faruq datang ke Aceh bersama orang Indonesia yang jadi guide mereka. Namanya Agus Dwikarna dari Makassar. Agus Dwikarna seperti diketahui kemudian ditangkap di bandara Manila, Filipina dengan tuduhan membawa bahan peledak di kopornya. Sampai sekarang Agus masih dipenjara Manila.
CNN tak menyebutkan siapa yang ditemui orang-orang Al-Qaeda itu di Aceh dan bagaimana rute perjalanan mereka. CNN juga tak mengutip satu nama pun dari dinas intelijen Filipina. Tapi dilaporkan selama berada di Aceh, Ayman al-Zawahiri dan Mohammad Atef mempunyai kesan tersendiri dengan kondisi Aceh yang sedang bergolak karena perang antara aparat Indonesia dan GAM.
“Keduanya terkesan dengan longgarnya keamanan Aceh, serta dukungan dan banyaknya penduduk muslim,” kata laporan itu. “Kunjungan ini bagian dari strategi lebih luas untuk memindahkan markas Osama bin Laden dari Afghanistan ke Asia Tenggara.”
Berita yang masih belum dapat dibuktikan kebenaranya itu tak berkembang lebih jauh. Namun sempat menghebohkan, karena kait mengait Aceh, jaringan terorisme di Indonesia dan Al-Qaeda. Sejak bom Bali 2001, kelompok teroris telah menjadikan Indonesia sasaran penting untuk menyerang kepentingan negara barat di negara ini.
Cerita ini cukup menarik karena Aceh yang dilirik Osama bin Laden untuk markasnya, waktu itu sedang memberontak dari Jakarta. Aksi kekerasan baik yang dilakukan oleh militer Indonesia dan kelompok GAM telah menimbulkan banyak korban jiwa. GAM yang saat itu sedang bangkit dengan perlawanan bersenjatanya tidak tertarik menanggapi cerita kelompok Al-Qaeda yang datang ke Aceh. Mereka menganggap isu terorisme atas dasar agama tidak akan menguntungkan perjuangan mereka untuk merdeka yang membutuhkan dukungan dunia internasional. Kata juru bicara GAM Sofyan Dawood waktu itu, GAM berperang bukan atas dasar agama seperti tujuan Al-Qaeda.
GAM pun tidak ingin terseret-seret dengan isu terorisme. Namun satu peristiwa pemboman di Bursa Efek Jakarta 13 september 2000 telah menyeret Teungku Ismuhadi, seorang tokoh kelompok pergerakan sipil Aceh di Jakarta. Para pelaku pemboman adalah disertir tentara yang pernah bertugas di Aceh yakni Kopral Dua Ibrahim Hasan dan Sersan Dua Irwan. Polisi membuktikan bahwa bom dirakit di bengkel milik Ismuhadi. Maka Ismuhadi pun ditangkap dan dipenjara hingga kini. Dia adalah satu-satunya tahanan politik GAM yang tidak dilepas pasca perjanjian damai Indonesia dan GAM di Helsinski. Alasannya karena Ismuhadi terkait dengan kasus terorisme, bukan pemberontakan.
Peristiwa ini bukan satu-satunya yang menyeret nama GAM dan orang-orang Aceh dalam teror bom di Jakarta. Masih ada kasus lainnya seperti bom yang meledak di asrama mahasiswa Aceh di Jakarta pada 10 Mei 2001, bom mobil yang meledak di Atrium Senen pada 23 September 2001, granat meledak dekat warung ayam bakar Bulungan Blok M pada 1 Januari 2002, bom rakitan ringan meledak di Cililitan dua minggu sesudah Bulungan, bom meledak 9 Juni 2002 di diskotik Eksotis Mangga Dua, bom yang meledak di Graha Cijantung, sebuah gedung pusat perbelanjaan milik Komando Pasukan Khusus (Kopassus) awal Juli 2002.
Waktu itu berita CNN tentang Al-Qaeda dan Aceh diterbitkan menjelang kedatangan Menteri Luar Negeri Amerika Colin Powell ke Jakarta menemui Presiden Megawati membicarakan dukungan Indonesia terhadap Amerika dalam memerangi terorisme di dunia. Pemerintahan Presiden George W. Bush waktu itu mencari dukungan negara-negara muslim dan tentu saja Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia untuk ambisinya memerangi Al-Qaeda. Amerika pun menawarkan bantuan untuk kerjasama militer bagi negara-negara yang mendukung perang Amerika melawan terorisme.
Cerita Al-Qaeda mampir ke Aceh pun berlalu begitu saja. Terbukti di tahun-tahun berikutnya tak ada pergerakan terorisme yang dikendalikan dari Aceh. Provinsi ini tenggelam dalam konflik bersenjata untuk sebuah upaya kemerdekaan sampai kemudian terjadi perjanjian damai antara pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinski, Finlandia tahun 2006. Perang selama 35 tahun pun usai.
Dan tahun ini pergerakan teroris terkuak di Aceh. Polisi berhasil menggerebek persembunyian mereka di hutan pedalaman Aceh Besar, berjarak sekitar 50 kilometer dari Banda Aceh. Kasus ini mengejutkan banyak orang di Aceh karena selama ini daerah ini tidak menunjukkan tanda-tanda sebagai markas teroris di Indonesia. Di Sumatera teroris hanya bergerak dari Lampung, Palembang dan Bengkulu. Kini mereka benar-benar mampir di Aceh. Kabarnya sudah sejak 4 tahun lalu mereka masuk dan menyusun kekuatannya perlahan-lahan. Dari bukti rekaman film yang didapat polisi, mereka sudah mengadakan latihan militer di Aceh.
Aceh sekarang berbeda dengan Aceh delapan tahun lalu ketika Al-Qaeda melirik Aceh. Aceh sekarang sudah damai. GAM sudah meletakkan senjata dan tokoh-tokohnya saat ini menguasai pemerintahan di tingkat provinsi dan hampir 70 persen pemerintahan di kabupaten di Aceh. Ekonominya sedang bangkit karena perputaran uang yang cukup besar untuk membangun Aceh kembali pasca bencana gempa dan tsunami sejak 5 tahun belakangan.
GAM telah meletakkan senjatanya. Angkata perangnya sekarang berubah menjadi gerakan politik bernama Komite Peralihan Aceh (KPA). Mereka punya partai lokal yang disebut Partai Aceh, sekarang mengusai 60 persen parlemen Aceh. Mungkin bagi mereka hampir tak ada waktu berpikir untuk merdeka lagi. Rakyat Aceh yang sudah muak dengan konflik pun sudah tidak begitu minat lagi dengan kekerasan. Mereka sekarang berupaya bangkit dari kemiskinan. Untuk itu Pemerintah Aceh sangat giat membangun perekonomian masyarakatnya.
Polisi sudah mengintai kelompok teroris ini sejak awal tahun ini. Bentrok senjata pecah pada awal Maret. Tercatat 17 orang telah ditangkap (5 tewas) dari kelompok teroris. Perlawanan teroris juga telah memakan 3 korban tewas di pihak polisi. Semua berlangsung cepat. Dalam rangkaian waktu bersamaan polisi juga menggerebek kelompok teroris di Pamulang Banten. Hasilnya adalah tewasnya Dulmatin, seorang anggota Jemaah Islamiyah (jaringan terorisme Asia Tenggara) yang paling dicari di Filipina karena aksinya bersama kelompok Abu Sayyaf di negara itu.
Dalam keterangan polisi, sebagian besar anggota kelompok teroris yang ditangkap di Aceh berasal dari Jawa. Mereka masuk ke Aceh karena beberapa orang Aceh yang memfasilitasi mereka, orang Aceh yang tidak puas atas apa yang terjadi di Aceh saat ini, yang merasa tidak mendapat nikmat dari perdamaian Aceh.
Orang-orang seperti ini cukup banyak sebenarnya terdapat di Aceh. Mereka yang tidak puas dengan apa yang terjadi sekarang dan tidak mendapat bagian dari kemajuan ekonomi. Sejak perdamaian, kasus kriminalitas bersenjata di Aceh cukup tinggi. Banyak kasus orang diculik dan diminta tebusan, perampokan stasiun pengisi bensin dan toko emas, pembunuhan, penembakan terhadap pekerja asing, pemboman kediaman petinggi KPA dan lain-lain. Sebagian besar kasus itu tidak pernah berhasil diungkap oleh polisi.
Aceh sebenarnya seperti api dalam sekam. Apapun bisa muncul dengan cepat atas nama ketidakpuasan. Seperti yang dikatakan Kepala Desk Antiteror Kementrian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Ansyaad Mbai, orang-orang Aceh yang membantu teroris di Aceh adalah mereka yang berseberangan dengan pemerintah lokal.
Aceh sepertinya menjadi tempat strategis seperti yang dipikirkan Osama bin Laden dulu. Ada tempat persembunyian berupa hutan yang sangat luas. Ada jalur masuk senjata dari laut Selat Malaka yang gampang dilakukan. Diperkirakan masih banyak senjata bekas konflik yang masih beredar di Aceh. Selain itu ada kemudahan masuk ke Aceh karena sejak bencana tsunami, banyak orang dari luar Aceh terutama dari Jawa datang ke provinsi yang sebagian besar hancur itu. Mereka masuk sebagai pekerja kontruksi di proyek- proyek pembangunan di seluruh Aceh. Jadi tidak akan begitu mencurigakan jika ada pendatang asing di sini. Dan yang paling mendukung adalah longgarnya pengamanan Aceh. Sebelumnya polisi mungkin tidak pernah yakin teroris membangun jaringannya di Aceh. Polisi masih pusing dengan kasus kriminalitas bersenjata yang sulit ditangkap pelakunya.
Kurang dari dua minggu lagi Presiden Amerika Barrack Husein Obama akan berkunjung ke Indonesia. Meski dia menganut prinsip lebih lembut ketimbang pendahulunya Presiden Bush dalam menangani aksi teroris, namun posisi Amerika Serikat masih jelas bahwa mereka tetap menginginkan Al-Qaeda hancur.
Prestasi Polisi Antiteror Densus 88 menangkap kelompok teroris di Aceh dan Pamulang tentu akan menjadi catatan manis pemerintah Indonesia ketika berunding dengan Amerika nantinya. Apa yang akan didapat Indonesia dari negeri adidaya itu untuk keberhasilan di Aceh dan Pamulang? Kita tunggu saja pengumumannya.
Chik Rini, mantan wartawan PANTAU yang kini bekerja sebagai Public Relation di Yayasan Leuser Internasional di Banda Aceh. Pernah menulis narasi “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar