2 September 2002 | 4841 kata
Oleh Chik Rini
Mengapa gerakan separatisme Aceh dikaitkan dengan terorisme?
SUATU malam Agustus tahun lalu, puluhan polisi menggerebek los-los hanggar lantai dua Blok C Pasar Minggu di Jakarta Selatan. Waktu sudah lewat tengah malam, ketika semua laki-laki yang ada di los hanggar dikumpulkan dan disuruh tiarap di lantai kotor. Beberapa polisi menyepak orang-orang itu sambil membentak.
“Kalian GAM ya?”
“Kalian yang jual ganja?”
“Kalian ikut bom ya?”
Polisi juga mencongkeli lemari dagangan, tong-tong, dan sudut-sudut yang mencurigakan mereka. Hasilnya lumayan. Polisi mendapatkan 50 butir peluru masih utuh dalam kotak kemasan, 15 bungkus daun ganja kering, puluhan pisau, golok, celurit, belasan botol minuman keras, 400 ikat kepala bertuliskan “Referendum,” spanduk-spanduk, dan satu rim pamflet yang berisi ajakan masuk GAM. Sebanyak 57 pria, kebanyakan asal Aceh, malam itu juga digiring ke kantor polisi Jakarta Selatan. Mereka dicurigai polisi sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka atau populer disebut dengan GAM.
Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia, sebuah lembaga advokasi di Jakarta, yang mendapat pengaduan dari sejumlah orang Aceh, melayangkan protes kepada polisi karena penangkapan itu sewenang-wenang. Polisi dianggap menangkap para pedagang kelontong yang tak tahu dengan gerakan politik. Setelah diperiksa semalaman, hanya dua orang yang ditahan karena diduga sebagai pemilik peluru dan ganja.
Kepala polisi Jakarta Selatan Komisaris Besar Bambang W kepada Kompas mengatakan operasi itu dilakukan di daerah yang memang sejak lama dicurigai sebagai markas orang Aceh. Polisi sudah mencurigai mereka sejak awal karena bersikap tertutup dan selalu datang silih berganti tanpa alasan dan tujuan jelas. "Maksud operasi ini adalah mencari lokasi-lokasi yang diduga merupakan tempat pembuatan bahan peledak," katanya.
Pasar Minggu adalah simpul komunitas orang Aceh terbesar di Jakarta. Los hanggar yang digerebek polisi itu adalah tempat di mana orang-orang Aceh biasa berkumpul. Di situ ada orang Aceh berjualan kopi, mie Aceh, dan nasi dengan lauk khas Aceh. Tempat itu juga sering disinggahi orang Aceh yang kebetulan datang ke Jakarta. Ada yang sekedar makan atau bertemu sejumlah kerabat. Di situ juga tempat main gaple dan tempat tidur orang-orang Aceh yang tak punya rumah.
Penggerebekan malam itu terjadi beberapa hari setelah tiga tersangka pelaku pengeboman gedung Bursa Efek Jakarta: Kopral Dua Ibrahim Hasan (anggota Kostrad Divisi I Cilodong), Sersan Dua Irwan (anggota Kopassus Unit Demolisi dan Antiteror), dan seorang warga sipil bernama Nuryadin melarikan diri dari penjara Cipinang. Ketiganya dituduh polisi membom Bursa Efek Jakarta pada 13 September 2000. Ibrahim Hasan dan Irwan dikatakan telah disertir dari kesatuannya. Pangkat mereka rendah tapi prajurit macam inilah yang masih tangkas mengerjakan kerja fisik militer. Para perwira, apalagi jendral yang perutnya buncit, sudah diragukan ketangkasannya dalam menembak atau memasang bom.
Tersangka lain adalah Teungku Ismuhadi, warga Aceh di Jakarta, yang terseret karena Irwan sering datang ke bengkel mobil milik Ismuhadi di Ciganjur. Di bengkel ini polisi mengatakan bom dirakit.
Teungku Ismuhadi cukup dikenal sebagian besar orang Aceh di Pasar Minggu. Dia bendahara Forum Kerja Rakyat Aceh, sebuah organisasi pergerakan orang Aceh di Jakarta. Organisasi ini beberapa kali melakukan demontrasi besar-besaran di Jakarta, menuntut dilaksanakannya referendum di Aceh. Dalam setiap demontrasi itu, selalu melibatkan orang-orang Aceh terutama dari Pasar Minggu dalam jumlah besar.
Polisi Indonesia setidaknya menyebut tujuh kasus bom yang terkait dengan Aceh: (1) bom yang menghancurkan BEJ pada 21 September 2000; (2) bom yang meledak di asrama mahasiswa Aceh di Jakarta pada 10 Mei 2001; (3) bom mobil yang meledak di Atrium Senen pada 23 September 2001; (4) granat meledak dekat warung ayam bakar Bulungan Blok M pada 1 Januari lalu; (5) Bom rakitan ringan meledak di Cililitan dua minggu sesudah Bulungan; (6) Bom meledak 9 Juni lalu di diskotik Eksotis Mangga Dua; (7) Bom yang meledak di Graha Cijantung, sebuah gedung pusat perbelanjaan milik Komando Pasukan Khusus (Kopassus) awal Juli lalu.
Kait-mengkait tentang orang Aceh inilah yang kemudian menyeret nama GAM sebagai pelaku pemboman. Kelompok ini dituduh ingin membuat situasi Jakarta kacau. GAM dituduh ingin ekonomi Indonesia memburuk dan dolar naik sehingga GAM lebih bebas bergerak memperjuangkan kemerdekaan Aceh.
GAM konsisten membantah keterlibatan mereka dalam tujuh kasus bom di Jakarta itu. Mereka mengatakan tertangkapnya tentara-tentara Indonesia justru memperkuat dugaan mereka bahwa Tentara Nasional Indonesia tak mampu mengatur barisannya sendiri. GAM mengatakan selalu ada unsur tentara dalam tiap kasus. “Itu tuduhan untuk bisa mencap GAM sebagai teroris. Padahal militer sendiri yang terlibat. GAM tidak melakukan aksi pemboman di Jakarta,” kata Sofyan Dawod, juru bicara GAM di Aceh.
Dawod bilang pada saya bahwa GAM tak pernah mengirim pasukannya ke Jakarta. “GAM tidak kenal dengan orang-orang yang dituduh sebagai pelaku bom di Jakarta. Banyak yang mengaku-ngaku sebagai GAM. Di Jakarta ada puluhan tentara disersi yang kini membelot ke GAM. Disertir ini membantu GAM untuk mendapatkan senjata. TNI banyak terlibat memasok senjata untuk GAM. Mereka main belakang.”
Siapa yang benar, siapa yang salah masih harus dibuktikan. Tapi ribut-ribut kasus bom ini membuat Pasar Minggu tak seramai dulu. “Orang mulai agak takut datang ke sini, karena tempat ini sering dikait-kaitkan dengan GAM dan ganja,” kata Budiman, seorang pemuda Pasar Minggu. Budiman sudah delapan tahun tinggal di Pasar Minggu setelah hijrah dari kampungnya di Meureudu Pidie.
Sejarah orang Aceh di Pasar Minggu sudah dimulai puluhan tahun lalu. Mereka jadi pedagang kecil dan sangat dominan di tempat itu. Sekarang jumlah mereka membengkak seiring makin banyaknya sanak-saudara dan kenalan yang datang ke Jakarta. Orang Aceh yang tinggal di Pasar Minggu kebanyakan menjadi pedagang kelontong dan kaki lima. Sebagian lagi hidup luntang-lantung karena tak memperoleh peruntungan. Mereka inilah yang kemudian banyak terlibat dalam jual beli ganja.
“Mereka kebanyakan dari pendidikan rendah. Mereka suka curiga dengan orang asing. Mungkin dikarenakan mereka datang dari Aceh dengan latar belakang beragam,” kata Fajran Zain, ketua Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh Jakarta.
Antara 1999 dan 2000, memang banyak orang Aceh datang ke Jakarta. Alasannya, faktor ekonomi dan politik. Sejak Presiden B.J. Habibie mencabut status Daerah Operasi Militer pada 1999, kondisi Aceh makin memburuk. Perekonomian terpuruk mendorong terjadinya pengangguran di sana. Teror meningkat tajam. Banyak pembunuhan dan penculikan yang dilakukan oleh orang tak dikenal. Tentara-tentara Indonesia juga banyak melakukan kekejaman. Mereka curiga pada hampir tiap orang Aceh. Mereka juga terlibat beberapa pembantaian di mana puluhan orang Aceh, tua dan muda, ditembak mati seketika ketika tak menuruti kehendak mereka. Tahun ini setidaknya 1.000 orang sudah tewas. Militer dan GAM sama-sama jadi aktor kekerasan itu. Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat dari Januari hingga Juni 2002, dari 1.771 kekerasan yang terjadi, 416 kasus dilakukan aparat Indonesia (tentara dan polisi) dalam operasi bersama, 891 kasus oleh tentara, 148 oleh polisi dan selebihnya dilakukan oleh GAM.
Keadaan ini menyebabkan banyak orang laki, terutama anak-anak muda, memilih menyingkir ke luar Aceh. Mereka banyak yang memilih Malaysia sebagai tempat pelarian. Tapi makin hari makin susah masuk Malaysia. Banyak pelarian ini yang tertahan di Pulau Batam, dekat Singapura, dan sebagian terdampar ke Jakarta.
Menurut Fajran Zain, jumlah orang Aceh di Jakarta mencapai 60 ribu lebih. Jumlah itu bertambah hampir 30 persen dibanding periode sebelum keputusan Presiden Habibie. “Ada kabar anggota GAM ramai datang ke Jakarta pada 1999-2000. Tapi sulit membuktikan keberadaan mereka di sini. GAM tidak muncul terang-terangan,” kata Fajran.
“Yang keluar dari Aceh itu bukan GAM. Mereka orang-orang sipil yang ketakutan. Banyak orang Aceh di Jakarta yang menjadi simpatisan GAM. Mereka banyak membantu perjuangan kami,” kata Sofyan Dawod.
AWAL Juli lalu ketegangan ini meningkat sesudah bom meledak di Graha Cijantung, yang berbuntut ditangkapnya enam orang, diantaranya asal Aceh. Barang buktinya berupa ribuan amunisi, senjata dan alat peledak. Sementara nun jauh di ujung Pulau Sumatra, orang-orang resah dengan rencana pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri untuk memberlakukan status darurat sipil terhadap Aceh.
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, salah seorang pembantu terdekat Megawati, 4 Juli lalu memberi label baru untuk GAM: kelompok teroris. Yudhoyono seorang pensiunan jendral bintang tiga. Di Jakarta dia dianggap seorang jendral yang bisa membaca buku. Dia pernah kuliah di Universitas Harvard, Amerika Serikat. Artinya, orangnya bisa diajak diskusi, beda dengan kebanyakan jendral Indonesia yang relatif berpikiran sempit. Yudhoyono bahasa Inggrisnya fasih dan penampilan cool yang sering membuatnya dikagumi diplomat asing di Jakarta.
“Aksi GAM itu terorisme. Dunia sudah kita beritahu bahwa sulit bagi Indonesia berdialog dengan teroris. Apakah Amerika dan negara-negara Barat berdialog dengan teroris?” kata Yudhoyono.
Lima hari sesudah bikin pernyataan itu, Yudhoyono terbang ke Aceh selama seminggu. Di sana ia bertemu dengan para pejabat sipil, militer maupun ulama, di mana ia menemukan reaksi keras para pemimpin Aceh terhadap rencana darurat sipil. Bahkan Gubernur Aceh Abdullah Puteh, yang ditunjuk Jakarta untuk memimpin Aceh, menolak proposal panas itu.
Jakarta belum bergeming. Ketika Presiden Megawati berpidato di depan sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat Agustus lalu, Megawati mengatakan pemerintah hendak mengambil langkah keras menghadapi GAM. Megawati tak tersurat menyebut “darurat sipil” tapi secara tersirat orang bisa menangkap pesannya sama dengan proposal Yudhoyono.
Ancaman ini mungkin dipicu kemarahan militer setelah GAM membunuh enam anggota Pasukan Khas Angkatan Udara 20 Juni lalu. Militer Indonesia menuduh GAM juga menyandera sembilan awak kapal motor Pelangi di peraian Selat Malaka yang mensuplai material untuk perusahaan Amerika Exxon Mobil di Aceh. Sembilan atlet asal Aceh Singkil juga ditahan di Aceh Timur sepulangnya dari sebuah event olahraga di Pidie. GAM juga dituding membakar 26 gedung sekolah dan menumbangkan beberapa tower jaringan listrik dalam beberapa bulan terakhir. GAM juga dituduh membunuh sejumlah pejabat di Aceh.
Perundingan yang diadakan di Geneva, dengan moderator Henry Dunant Center, antara Jakarta dan GAM sejak tahun lalu, juga terhenti awal tahun ini setelah perjanjian gencatan senjata sering dilanggar kedua belah pihak. Januari lalu tentara Indonesia bahkan menembak mati Teungku Abdullah Syafi'ie, pemimpin gerilya GAM.
Kebanyakan pelanggaran dilakukan pihak Indonesia. Surin Pitsuwan, mantan menteri luar negeri Thailand dan satu dari tiga diplomat internasional yang diminta ikut mengamati perundingan-perundingan di Geneva, pernah menyatakan kecemasannya melihat Jakarta tak bisa mengatur tentaranya sendiri di Aceh.
Tuduhan Yudhoyono muncul beberapa hari sebelum munculnya informasi yang kontroversial bahwa jaringan Al-Qaeda pimpinan jutawan Arab Saudi Osama bin Laden berminat menjadikan Aceh sebagai salah satu basisnya. Al-Qaeda adalah kelompok yang dituduh Amerika Serikat terlibat aksi serangan World Trade Centre dan Pentagon 11 September 2001 yang menewaskan sekitar enam ribu orang Amerika.
Kemungkinan besar Yudhoyono telah mendapatkan informasi itu sebelum diberitakan CNN pada 9 Juli. Laporan CNN itu bersumber dari dokumen dinas intelijen Filipina. Koresponden CNN Manila, Maria Ressa, melaporkan bahwa tangan kanan Osama bin Laden, Ayman al-Zawahiri dari Mesir, dan mantan pemimpin militer Al-Qaeda, Mohammad Atef, bersama wakil senior Al-Qaeda di Asia Tenggara Omar Al-Faruq datang ke Aceh bersama orang Indonesia yang jadi guide mereka. Namanya Agus Dwikarna dari Makassar.
CNN tak menyebutkan siapa yang ditemui orang-orang Al-Qaeda itu di Aceh dan bagaimana rute perjalanan mereka. CNN juga tak mengutip satu nama pun dari dinas intelijen Filipina. Tapi dilaporkan selama berada di Aceh, Ayman al-Zawahiri dan Mohammad Atef mempunyai kesan tersendiri dengan kondisi Aceh yang sedang bergolak karena perang antara aparat Indonesia dan GAM.
“Keduanya terkesan dengan longgarnya keamanan Aceh, serta dukungan dan banyaknya penduduk muslim,” kata laporan itu. “Kunjungan ini bagian dari strategi lebih luas untuk memindahkan markas Osama bin Laden dari Afghanistan ke Asia Tenggara.”
Osama bin Laden memang sering pindah-pindah negara. Dia lahir di kota Riyadh, kemungkinan pada 1957. Ketika lulus universitas, bin Laden ikut melakukan jihad di Afghanistan. Ketika itu Uni Soviet menduduki Afghanistan. Pada 1980-an banyak pejuang-pejuang Islam dari 20 negara, dengan jumlah total antara 16 ribu sampai 20 ribu, turut berperang bersama kaum Mujahidin Afghan mengusir pasukan Uni Soviet. Bin Laden satu di antaranya.
Ketika pulang ke Arab Saudi, Osama bin Laden disambut bak pahlawan. Pada 1991 ia terlibat sengketa dengan kerajaan Saudi Arabia gara-gara dukungan kerajaan terhadap Perang Teluk pimpinan Amerika Serikat. Bin Laden berpendapat negara-negara Islam bisa menghadapi serbuan Saddam Hussein dari Irak terhadap Kuwait tanpa bantuan Amerika. Bin Laden percaya umat Islam bisa menyelesaikan sengketa ini dengan caranya sendiri. Pihak kerajaan tak mau mendengarnya. Mereka menganggap Kuwait bukan Afghanistan. Mereka bahkan memusuhinya.
Bin Laden lari ke Sudan. Menurut wartawan CNN Peter Bergen dalam bukunya Holy War Inc. - Inside the Secret World of Osama bin Laden, di Sudan bin Laden berhubungan dengan Hassan Abdallah al-Turabi, cendekiawan muslim dan penasehat spiritual penguasa Sudan Jendral Omar al-Bashir. Al-Turabi jadi mentor bin Laden. Al-Turabi berpendapat syariat Islam harus dijadikan dasar hukum negara-negara berpenduduk mayoritas Islam sebagai alternatif sistem kapitalisme dan demokrasi yang dikembangkan Barat. Sudan adalah negara Afrika yang dililit krisis ekonomi, politik, dan sosial, termasuk sengketa antara bagian utara dan selatan, yang isunya berhimpitan dengan agama, Islam di utara dan Kristen di selatan.
Bin Laden mulai membangun bisnisnya sekaligus Al-Qaeda, sebagai suatu organisasi nirlaba, dari Sudan. Pada 1996 rezim al-Bashir minta Bin Laden angkat kaki dari Sudan karena tekanan diplomatik dan iming-iming bantuan dana Saudi Arabia. Bin Laden pun pindah ke Afghanistan -tempat yang membesarkannya pada 1980-an. Bin Laden membantu rezim Taliban dan menikah dengan putri sulung Mullah Muhammad Omar, orang nomor satu Taliban.
Dari Afghanistan, gosip politik bercampur laporan intelijen, yang tak jelas kebenarannya, mengatakan sejak lima tahun terakhir ini, bin Laden berupaya mencari daerah operasi baru. Afghanistan tak lagi ideal ketika kelompok Mujahidin di sana terpecah belah dan bentrok satu sama lainnya. Asia Tenggara salah satu pilihan al-Qaeda.
Kunjungan ke Aceh itu sendiri, menurut laporan Maria Ressa, tak menghasilkan apa pun untuk rencana bin Laden. Namun detail kunjungan sejumlah orang Al-Qaeda ke Aceh kemungkinan bisa membantu negara-negara Asia Tenggara untuk mengungkap jaringan ini.
Tak jelas dari siapa intelijen Filipina mendapat laporan perjalanan Al-Qaeda ke Aceh. Dari sumber intelijen Indonesiakah? Atau dari keterangan dua warga Indonesia yang kini dituduh teroris dan ditahan di Manila (Fathur Rohman al-Ghozi dan Agus Dwikarna)? Bagaimana Agus Dwikarna bisa disebut menjadi guide orang-orang Al-Qaeda ke Aceh?
Menurut International Crisis Group, sebuah think tank dari Brussels yang punya perwakilan di Jakarta, Agus Dwikarna seorang pengusaha dari Makassar. Dia kader Partai Amanat Nasional dan pendiri Laskar Jundullah, organisasi milisi dari Komite Penegak Syariat Islam Sulawesi Selatan. Dia ketua Komite Penanggulangan Krisis (Kompak) dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, yang banyak menyalurkan bantuan dari orang muslim Inggris ke Poso dan Ambon. Dia juga jadi sekretaris Majelis Mujahidin Indonesia pimpinan Abubakar Ba'asyir, seorang ulama yang dituduh beberapa negara Asia sebagai tokoh intelektual organisasi teroris Jemaah Islamiyah. Agus Dwikarna pernah ditangkap polisi karena menyerang sebuah bar karaoke di Makassar. Terlepas benar tidaknya Dwikarna terlibat terorisme, di Indonesia banyak orang percaya, dia lebih seperti kambing yang terperangkap dalam sebuah ambisi untuk menghantam gerakan teroris.
Dwikarna membantah cerita jadi guide Al-Qaeda. “Seumur hidup belum sekali pun saya ke Aceh,” kata Dwikarna kepada saya via telepon selular milik Tamsil Linrung di Manila. Linrung adalah kolega Dwikarna yang turut ditangkap polisi Manila Maret lalu. Tamsil Linrung dibebaskan, sementara dalam kopor Dwikarna ditemukan bahan peledak dan kabel sehingga ia dijatuhi hukuman penjara 10 hingga 17 tahun oleh pengadilan Manila. Dwikarna dan Tamsil berpendapat kopor itu “diracuni” dinas intelijen. Dwikarna lebih diincar karena kegiatan keislamannya.
Dwikarna mengatakan tak kenal dengan Ayman Al-Zawahiri, Mohammad Atef dan Omar Al-Faruq. “Itu fitnah. Saya tidak ada hubungannya dengan orang-orang Osama. Saya memang mempunyai hubungan dengan beberapa orang Arab. Tapi itu secara resmi melalui kedutaan Arab Saudi dalam kapasitas saya sebagai ketua Kompak dan Dewan Dakwah Sulawesi Selatan.”
Dwikarna menjelaskan pada saya bahwa sepanjang tahun 2000, dia sibuk mempersiapkan Konggres Umat Islam Sulawesi Selatan yang dilaksanakan bulan Oktober. Dwikarna adalah sekretaris panitia. Dia banyak melakukan perjalanan bolak-balik Makassar-Jakarta menemui orang-orang Makassar di Jakarta. Tujuan konggress itu adalah menerapkan syariat Islam di Sulawesi Selatan. Dwikarna juga pergi ke Malaysia, sebelum Juni, bersama sejumlah pejabat daerah Sulawesi Selatan, untuk bertemu dengan Menteri Besar negara bagian Terengganu Abdul Hadi Awang untuk keperluan bisnis. Awang juga ketua Parti Islam Se Malaysia (PAS) yang bermaksud menerapkan syariat Islam, antara lain hukuman potong tangan buat pencuri, di dua negara bagian yang dikuasainya, termasuk Terengganu.
Saya bertanya soal tuduhan pergi ke Aceh itu kepada Surani, istri Dwikarna. “Seingat saya Bapak sedang sibuk mempersiapkan acara Konggres Umat Islam. Bersama Pak Tamsil sering ke Jakarta untuk urusan bisnis, sebab Bapak itu marketing perusahaan air minum dan mengurus beberapa perusahaan lain milik Pak Tamsil. Ketika konflik Poso pecah, Bapak pulang pergi ke daerah konflik untuk suplai bahan makanan dan obat-obatan,” katanya.
Surani mengatakan tuduhan Dwikarna dengan orang-orang bin Laden tak benar. “Itu sangat menyakitkan hati keluarga kami. Dia itu tokoh perdamaian. Pernah mendapat penghargaan dari Menko Kesra karena mengurus pengungsi Timtim dan membantu perdamaian di Poso dan Ambon.”
Agus Dwikarna menduga cerita yang mengaitkannya dengan kelompok Al-Qaeda bersumber dari intelijen Indonesia. Dia pernah menyatakan ke beberapa media penangkapannya di Filipina merupakan order dari Badan Intelijen Nasional di Jakarta. “Saya tidak tahu kenapa orang-orang itu memfitnah saya. Apakah karena saya mendamaikan konflik di Poso? Mungkin ada yang tidak suka kalau Indonesia ini damai.”
INTELIJEN Filipina berpendapat Dwikarna memiliki hubungan dengan Al-Qaeda karena nama dan nomor telepon Omar Al-Faruq ditemukan tak hanya dari buku telepon Abu Zubaydah, orang Al-Qaeda yang tertangkap di Pakistan, tapi juga ada dalam buku telepon Agus Dwikarna. Omar Al-Faruq sendiri, yang dilaporkan CNN ikut pergi ke Aceh, ditangkap di Indonesia dan secara diam-diam diekstradisi ke Amerika Serikat.
Banyak kritisi berpendapat pemerintahan Presiden Gloria Macapagal-Arroyo ingin mendapatkan untung dalam membantu Amerika “memerangi terorisme.” Macapagal-Arroyo bahkan mengundang marinir Amerika ikut melawan pemberontakan Abu Sayaf di Filipina Selatan. Tak mengherankan jika cerita Al-Qaeda di Aceh itu juga intelijen Filipina yang membukanya lebih dulu.
GAM sendiri bereaksi cepat terhadap berita Al-Qaeda di Aceh. Saat Yudhoyono bicara pada wartawan di Jakarta dan memberi label GAM sebagai kelompok teroris, markas besar GAM di Swedia, di mana wali negara Aceh Merdeka Muhammad Hasan di Tiro bermukim, mengeluarkan bantahan lewat Zaini Abdullah, salah satu pembantu di Tiro. Kepada Kyodo, Zaini membantah keras hubungan mereka dengan Osama bin Laden. “Kami tidak tahu menahu tentang Al-Qaeda dan kami tidak memiliki hubungan apapun dengan Al-Qaeda karena GAM bukan berjuang untuk sebuah negara Islam tapi untuk kemerdekaan.”
Zaini menyebut laporan itu rekayasa Jakarta sebagai bahan propaganda untuk menyamakan GAM sebagai kelompok teroris. Stempel teroris ini akan membuka dukungan dari negara luar, terutama Amerika, untuk memerangi GAM secara terbuka. Stempel teroris juga akan mempermudah Jakarta menerapkan darurat sipil di Aceh.
Juru bicara GAM di Aceh, Sofyan Dawood mengatakan pada saya, sangat bodoh jika mereka mau menerima Al-Qaeda. Keberadaan Al-Qaeda bisa mengacaukan perjuangan GAM, sebab negara-negara luar akan sama-sama membenci GAM. Sulit bagi GAM bila Aceh dicap sebagai sarang teroris yang harus dimusnahkan. GAM sendiri sangat berharap dukungan negara luar terutama Amerika Serikat. Agak mustahil kemerdekaan Aceh dicapai tanpa dukungan negara adidaya tersebut.
Seorang pejabat senior Badan Intelijen Strategis mengatakan kepada The Jakarta Post bahwa mereka sudah lama mendapat informasi itu dari intelijen Filipina. Namun hingga saat ini tak ada indikasi Al-Qaeda memindahkan operasinya ke Aceh. The Jakarta Post tak menyebutkan nama sumbernya sehingga agak sulit menilai kualitas berita itu.
Seorang mayor intelijen militer dari Medan juga mengatakan pada saya bahwa perjalanan Al-Qaeda itu benar terjadi. Tapi ia tak mau identitasnya disebut. Saya cenderung skeptis terhadap orang-orang yang mau informasinya dikutip media, baik kepada CNN maupun The Jakarta Post, tapi tak mau identitasnya disebut walau keamanan mereka sama sekali tak terganggu bila identitasnya diungkapkan. Mayor itu cerita macam-macam. Tapi sulit bagi saya untuk mempercayainya. Makin jelas sebuah sumber mau disebutkan namanya, makin bertanggungjawab sumber bersangkutan. Tapi makin kabur identitasnya, makin berani pula si sumber mengeluarkan pendapatnya sehingga tak jelas mana yang fakta, mana yang interprestasi. Apalagi bila informasi itu datang dari orang intelijen. Sulit membedakan mana yang informasi umpan, mana informasi yang benar. Maria Ressa tampaknya mengatasi kesulitan ini dengan minta dokumennya.
Informasi yang lebih bertanggungjawab datang dari Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda di Aceh Brigadir Jendral M Djali Yusuf. Dia mengatakan kepada saya bahwa tak ada laporan kedatangan Al-Qaeda di Aceh. “Tidak ada perjalanan itu. Saya tidak pernah mendapat laporannya. Tidak ada laporan intelijen tentang itu. Saya justru membacanya di koran. Kita tidak pernah mendapatkan kegiatan-kegiatan seperti itu di Aceh. Saya tidak melihat ada hubungan antara GAM dengan kelompok Al-Qaeda.”
Saya tertarik mengapa perjalanan Al-Qaeda ke Aceh ini, kalau memang benar- benar terjadi, baru diungkapkan dua tahun kemudian? Bisa jadi ini terkait dengan semakin kuatnya tekanan Washington terhadap negara-negara Asia Tenggara untuk bertindak serius terhadap terorisme. Laporan CNN ini seperti makin menguatkan dugaan bahwa Indonesia sudah lama dijadikan basis jaringan teroris internasional. Washington sudah lama curiga Indonesia jadi tempat pelarian orang Al-Qaeda dari Afghanistan.
Mungkin untuk melunakkan kecurigaan Washington, secara diam-diam Jakarta menangkap dua orang yang dituduh terlibat terorisme dan Al-Qaeda. Asian Wall Street Journal menulis Indonesia Januari lalu membantu intelijen Amerika menangkap Havis Muhammad Saad Iqbal Madni, seorang warga Pakistan, untuk dideportasi ke Mesir, lalu dipindahkan ke Amerika dan ditahan di sana.
Orang ke dua yang ditangkap adalah Omar Al-Faruq, orang Al-Qaeda yang disebut CNN ikut dalam perjalanan ke Aceh. Al-Faruq ditangkap 5 Juni lalu di sebuah kawasan di Jawa Barat. Kini dia dalam penahanan Amerika Serikat di kamp Guantanamo Bay dekat Kuba, di mana banyak orang Al-Qaeda dari Afghanistan ditahan.
Penangkapan Al-Faruq luput dari media Indonesia. CNN dan The York Times yang memberitakannya. Pemerintahan Megawati bersikap tertutup terhadap isu Al-Qaeda di Indonesia. Mungkin untuk menahan protes dari kelompok Islam garis keras yang menentang “perang melawan terorisme” ala Washington. Dengan penduduk muslim mencapai 210 juta orang plus ada 29 partai politik berbendera Islam, isu penangkapan itu bisa memancing protes besar-besaran di Indonesia kalau momentumnya ditangkap media lokal.
ISU terorisme dan Aceh bukan saja terkait dengan kasus tujuh bom dan kunjungan Al-Qaeda. Februari lalu, Aceh lagi-lagi dikaitkan isu terorisme ketika Jaffar Umar Thalib dari Laskar Jihad Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah datang ke Aceh. Jaffar Umar Thalib datang ke Banda Aceh dan membuka perwakilan kelompok itu di Aceh. Seminggu sebelum kedatangan Umar Thalib, aksi menolak Laskar Jihad di Aceh gencar dilakukan oleh GAM dan sejumlah kelompok aktivis seperti Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) dan Rabithah Thaliban. Mereka beralasan kehadiran Laskar Jihad bisa menyeret konflik Aceh ke dalam isu perang agama. Padahal konflik Aceh berakar pada ketidakpuasan orang Aceh dengan pemerintahan Jakarta. Penolakan GAM ditanggapi Umar Thalib sebagai sikap berlebihan karena dia datang hanya untuk berdakwah di beberapa mesjid Aceh.
Penolakan ini membuat dakwah Jaffar Umar Thalib di dua mesjid Banda Aceh hanya dihadiri seratusan orang. “Dari dulu juga, tidak ada kelompok Islam garis keras di Aceh. Jadi tidak ada perhatian untuk aksi-aksi seperti yang sedang dilakukan Laskar Jihad. Lagi pula tidak ada perang agama di Aceh. Itu perang GAM dengan TNI,” kata Otto Syamsuddin Ishak dari Cordova Aceh.
Kekhawatiran GAM terhadap Laskar Jihad ada alasannya. Adanya Laskar Jihad bisa mengundang kecurigaan Aceh jadi basis gerakan terorisme. The New York Times menulis Washington menganggap Laskar Jihad sebagai “sel tidurnya” Al-Qaeda di Indonesia. Laskar Jihad dianggap terlibat dalam kerusuhan berbau agama di Maluku dan Poso. Presiden George W Bush pernah mengingatkan Presiden Megawati untuk berhati-hati dengan Laskar Jihad. Mungkin peringatan ini agak berlebihan. Jaffar Umar Thalib sendiri mengatakan kelompoknya mempunyai visi berbeda dengan Al-Qaeda, kendati pernah ada orang bin Laden datang ke Maluku dan menawarkan dana tapi ditolak oleh Umar Thalib.
Sofyan Dawood mengatakan GAM tak pernah memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok Islam, baik di dalam maupun luar negeri. GAM lebih memilih membuka hubungan dengan pemerintahan asing untuk lobi dukungan terhadap gerakan ini.
Laporan CNN, tuduhan polisi Jakarta tentang tujuh bom, maupun kehadiran Jaffar Umar Thalib, bisa dijadikan dasar bagi pemerintah Megawati untuk mencap GAM sebagai kelompok teroris. Ada stigma baru untuk Aceh, bahwa ada sebuah potensi gerakan terorisme di sana. Kalau stigma itu diterima masyarakat internasional, bakal mudah bagi militer Indonesia untuk meningkatkan kehadirannya di Aceh dan menekan separatisme Aceh.
Selama ini Aceh bersih dari konflik berbau agama. GAM yang berideologi nasionalisme Aceh selama ini tak pernah mengedepankan isu agama dalam gerakannya. Ini strategi jitu mereka demi menarik simpati negara Barat, yang agak alergi dengan gerakan berbau Islam. Mereka berkeyakinan, jika Islam dikedepankan, akan sulit mendapat dukungan negara Barat terutama Amerika. Cerita adanya jaringan Al-Qaeda di Aceh tentu amat menggusarkan GAM. Cerita ini cenderung merugikan citra GAM di mata internasional.
Amerika sendiri tidak pernah memasukkan GAM dalam jaringan terorisme dunia, kendati sejumlah gerilyawan GAM pernah berlatih dan mendapat bantuan dana dari Libya, yang juga dianggap Amerika merupakan salah satu negara pendukung terorisme. Pada 1980-an sekitar 300-an gerilyawan GAM berangkat ke Libya dan mendapat pendidikan militer di beberapa kamp militer. Sekitar 10 tahun, mereka satu per satu pulang ke Aceh dan mulai melakukan perlawanan bersenjata terhadap militer Indonesia. Inilah yang jadi salah satu pemicu diberlakukannya operasi militer Jaring Merah yang represif selama 10 tahun kemudian.
Aceh memang sebuah potensi, kalau memang Al-Qaeda benar berniat memindahkan markasnya ke Aceh. Kondisi alamnya yang bergunung dan berhutan lebat memungkinkan jadi tempat persembunyian ideal untuk mengendalikan sebuah pergerakan. Letak Aceh juga sangat stragegis berada di posisi silang Asia Tenggara. Di sana penduduknya mayoritas muslim yang fanatik -walau ini bukan berarti akan ada dukungan untuk sebuah gerakan teroris.
Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat asal Aceh juga gusar dengan pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono. “Istilah teroris dari Pak Yudhoyono itu sudah kebablasan. Apalagi GAM kan kemarin berunding dengan pemerintah. Nah, apakah berarti pemerintah telah berunding dengan teroris?” kata Ahmad Farhan Hamid dari Fraksi Reformasi. Pemerintah dilihat seperti sedang bermain api. Istilah GAM teroris bisa mengundang intervensi negara asing masuk ke Aceh, yang notabene secara legal masuk wilayah Indonesia.
Munir dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mengatakan pemerintah tampaknya ingin menggiring sebuah opini baru terhadap GAM dengan memberi label teroris untuk kelompok ini. Pasca 11 September 2001, kelompok konservatif Amerika yang dipimpin Presiden George W Bush lebih menonjolkan isu terorisme dan meminggirkan isu hak asasi manusia. Dengan memberi cap terorisme tampaknya pemerintah ingin mendapat dukungan dari Washington untuk memerangi GAM secara terbuka. Washington telah membantu Filipina melatih tentaranya untuk menghadapi kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan. “Indonesia ingin menjadikan Aceh sebagai alat politik perang terhadap teroris seperti halnya Filipina terhadap kelompok Abu Sayyaf,” kata Munir.
Tapi Washington pun tak satu suara. Presiden Bush, Wakil Presiden Dick Cheney, Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, sering beda pendapat dengan Menteri Luar Negeri Colin Powell. Mereka dianggap lebih keras ketimbang Powell yang lebih diplomatis. Powell datang ke Asia Tenggara Juli lalu. Mula-mula hadir dalam pertemuan dengan negara-negara Asean di Brunei Darussalam. Di sana Powell minta Asean mengambil langkah keras terhadap kelompok Islam seperti Abu Sayyaf di Filipina dan Kumpulan Mujahidin Malaysia, serta Jemaah Islamiyah di Singapura dan Indonesia. Powell lantas mengunjungi beberapa negara Asia Tenggara, termasuk semalam di Jakarta, untuk membicarakan terorisme.
Di Jakarta Powell mengeluarkan pengumuman yang bikin gembira Yudhoyono dan kawan-kawan. Washington mengalokasikan dana sebesar US$51 juta untuk membantu Indonesia dalam program anti-terorisme. Dari dana itu $47 juta untuk polisi dan $4 juta untuk militer. Bantuan ini berlaku untuk empat tahun. Jumlahnya tak seberapa. Bandingkan misalnya dana setahun $26 juta yang diberikan Washington untuk program demokratisasi Indonesia pada 1999. Tapi maknanya lumayan buat militer Indonesia. Pada 1999, Amerika membekukan semua bantuan militernya kepada Indonesia setelah tentara-tentara Indonesia melakukan pelanggaran hak asasi manusia pasca jajak pendapat di Timor Timur. Amerika juga melakukan embargo senjata kepada Indonesia sejak terjadinya pembantaian Santa Cruz di Dili pada 1991. Embargo membuat Indonesia kesulitan suku cadang alat-alat militer. Banyak pesawat terbang, kapal laut, maupun kendaraan lapis baja yang tak bisa jalan karena embargo.
The New York Times menengarai, penangkapan dua orang Al-Qaeda di Indonesia itu jadi salah satu alasan pemerintah Presiden Bush membuka kembali kerja sama militer dengan Indonesia. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda mengatakan pada wartawan di Brunei Darussalam, “Kami melakukan apa yang kami bisa. Sebagai contoh, kami menangkap dua tersangka teroris. Tentu saja, saya tahu Anda ingin saya menangkap kelompok-kelompok radikal, tapi radikalisme tak sama dengan terorisme.”
Di sisi lain, Amerika ingin mendapatkan lagi pengaruhnya terhadap Indonesia untuk mendukung Washington menekan “perang melawan terorisme.” Washington melihat untuk “memerangi terorisme” dibutuhkan militer dan polisi yang kuat. Sebagian besar dana itu, tepatnya $31 juta, akan dipakai untuk “melatih dan membantu” polisi Indonesia. Sebesar $16 juta untuk peningkatan kinerja polisi, termasuk pendirian sebuah unit khusus counterterrorism.
Tak tertutup kemungkinan, dana itu dipakai untuk menguntit orang-orang yang dituduh terlibat terorisme macam Fathur Rohman al-Ghozi, atau meminjam istilah International Crisis Group, mereka yang terlibat “Ngruki Network” --jaringan alumni dan pengurus pesantren Al-Ma'had Al-Mukmin littarbiyyatil Islamiyyah dari desa Ngruki, Surakarta. Tapi lebih besar lagi kemungkinannya, dana itu dipakai untuk menekan gerakan-gerakan Aceh Merdeka, di Aceh maupun Jakarta.
Keterlibatan GAM terhadap kasus bom di Jakarta bisa saja benar. Seperti dikatakan Sofyan Dawod, banyak simpatisan GAM di Jakarta. Mereka kemungkinan beraksi secara individual di luar komando GAM di Aceh. Di Aceh saja, GAM tidak memiliki garis komando yang jelas untuk mengontol penuh 16 wilayah setingkat kabupaten. Belum lagi wilayah-wilayah di bawah itu mulai dari sago (kecamatan) hingga desa. Akibatnya, banyak aksi-aksi GAM yang satu tak diketahui GAM lainnya. Selain GAM wilayah Peureulak, kelompok GAM lainnya bertindak cukup bersih dan menghindar dari kekerasan terhadap orang sipil.
Sofyan Dawod mengatakan kepada saya GAM Swedia pimpinan Hasan di Tiro telah memberi teguran keras kepada kelompok GAM Peureulak pimpinan Ishak Daud yang selama ini sering melakukan aksi penculikan dan penyanderaan terhadap orang sipil di Aceh. Namun demikian dia membantah kalau GAM tak berkoordinasi dengan baik di lapangan. Walau agak berat, Sofyan Dawod mengaku bahwa penculikan awak kapal dan atlet itu atas sepengetahuan GAM Pusat Hasan di Tiro. “Kami mencurigai mereka sebagai mata-mata militer Indonesia. Siapa pun orang Aceh yang masuk ke Aceh mesti kami periksa,” kata Sofyan Dawod.
Militer Indonesia di Aceh telah memberi lingkaran merah untuk GAM wilayah Peureulak pimpinan Ishak Daud. Hampir sebagian besar pasukan Rajawali --sebuah pasukan gabungan dari Marinir, Kopassus dan Kostrad, serta Paskhas Angkatan Udara-- dikonsentrasikan di Aceh Timur, wilayahnya Ishak Daud. Menurut anggota parlemen asal Aceh Ahmad Farhan Hamid, instruksi tumpas habis yang dikatakan Presiden Megawati lebih ditujukan kepada kelompok ini.
Brigadir Jenderal M. Djali Yusuf mengatakan bahwa dia tak begitu peduli dengan ada tidaknya status darurat. Dia hanya minta Jakarta melakukan penambahan empat batalyon militer ke Aceh untuk mengejar GAM hingga ke kampung-kampung pedalaman. Saat ini jumlah pasukan keseluruhan sekitar 34 ribu personil terdiri 22 ribu tentara dan 12 ribu polisi. Mereka mengejar GAM yang diperkirakan punya 3.400 personil. Permintaan ini sudah disetujui. Tampaknya Aceh akan terus memanas jika militer begitu banyak berada di sana.
Kasus bom di Jakarta dan isu teroris pada akhirnya sangat merugikan citra orang Aceh yang sebenarnya tak begitu tahu-menahu dengan gerakan politik. “Sejak kasus bom, orang-orang Aceh sering dicurigai di Jakarta. Mereka suka dikata-katai teroris atau yang jelek-jelek. Ada kasus di Citeurup dan Cibinong dimana orang Aceh diusir oleh pemilik rumah kontrakan. Pokoknya kami sering terpojokkan,” kata Fajran Zain.
Tapi kalau data-data Kontras bisa dipercaya, bahwa antara Januari hingga Juni 2002, terjadi 1.771 kekerasan di mana 1.455 dilakukan pihak tentara dan polisi Indonesia, dan 316 oleh GAM, tidakkah ini menimbulkan tanda tanya. Jadi siapa yang sebenarnya melakukan terorisme di Aceh?*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar