Sabtu, 28 November 2009

Menyelamatkan Benteng Terakhir Hutan Sumatera



Kami baru memasuki jalan tak rata dengan tanah potsolik merah sejauh 7 kilometer. Ini jalan yang direncanakan akan dibangun pemerintah dari Desa Jambi Baru (Gelombang) di Kotamadya Subulussalam menembus Desa Muara Situlen di Aceh Tenggara. Di sisi kanan jalan kami menemukan tumpukan kayu yang baru dibelah dengan ukuran diameter bervariasi.

”Meranti,” kata Rusli, staf Mobile Patrol Unit Yayasan Leuser Interanasional (YLI) yang turun memeriksa jenis kayu. Rusli bertugas memantau semua kegiatan illegal kehutanan di wilayah Subulussalam dan memberikan laporan itu kepada lembaganya untuk diteruskan kepada aparat berwenang. Dia menghitung jumlahnya dengan mengkoversinya ke ton. Lantas mengambil titik koordinat melalui GPS (Geografic Position Satelite) dan mencatatnya. Bersama rekan-rekan aktivis lingkungan lainnya dari Conservation International dan Gerakan Penyelamatan Kawasan Ekosistem Leuser (GPKEL) yang ikut hari itu, mereka melanjutkan pemeriksaan ke dalam rimbunan hutan.

Ada tumbangan pohon besar di bawah bukit. Pohon dengan diameter 2 meter itu ternyata belum selesai dibelah-belah. Yang ditumpuk di pinggir jalan baru sebagian kecil. Tapi tak terlihat siapa yang menebangnya. Tapi suara cinsaw, gergaji mesin pemotong kayu jelas terdengar namun tak tahu di mana lokasinya. Ketika kami senyap, dentuman suara pohon jatuh terdengar dari jauh. Satu pohon lagi telah berhasilkan ditumbang.

Hari itu, sepanjang pembukaan jalan Gelombang yang kami lalui hampir 17 kilometer, kami menemukan 5 titik kegiatan illegal logging dengan temuan jumlah kayu yang dihitung Rusli mencapai 25 ton. Para penebang liar mencuri kayu damar dan meranti, yang harganya sangat mahal. Itu belum termasuk dengan pohon-pohon yang masih terus ditebangi karena suara cinsaw masih terdengar di mana-mana berlomba dengan suara siamang, burung rangkong dan murai batu yang bersahut-sahutan.

Damar dan meranti merupakan primadona kayu hutan tropis di daerah ini. Jalan yang dibangun pemerintah adalah bekas laluan pengangkutan kayu di dalam hutan. Dulu kawasan ini merupakan areal Hak Pengusaha Hutan (HPH) PT. Hargas dan PT. Asdal. Kegiatan mereka terhenti sejak tahun 2000 karena keamanan yang tidak kondusif dan disusul dengan penghentian sementara kegiatan HPH oleh Pemerintah Daerah. Tapi kawasan hutan di situ sudah terlanjut hancur. Sebagian besar pohon bernilai ekonomi tinggi seperti damar, meranti, kayu kapur sudah diambil. Sampai kini pun perusahaan tidak pernah melaksanakan kewajibannya merehabilitasi kawasan konsesinya. Kawasan itu dibiarkan menjadi semak dan hutan muda.

Orang-orang yang mencuri kayu saat ini mengambil pohon-pohon sisa yang jumlahnya sebenarnya jika dipertahankan masih cukup untuk merestorasi kawasan itu kembali menjadi hutan. Namun illegal logging makin memperparah kahancuran kawasan ini terutama sejak Aceh memasuki tahap rekontruksi setelah terjadinya bencana tsunami di penghujung 2004. Permintaan kayu meningkat tajam sejak saat itu.

Bencana tsunami di Aceh telah menghancurkan sebagian besar bangunan dan infrastruktur. Untuk membangun kembali 120 ribu rumah milik warga, diperkirakan membutuhkan 1,4 juta meter kubik kayu olahan. Sebagian besar kebutuhan material berasal dari hutan Aceh dan sebagian lagi didatangkan dari luar Aceh. Termasuk adanya donasi kayu dari luar negeri yang diinisiasi WWF, Conservation International dan sejumlah NGO internasional.

Kawasan hutan di Kotamadya Subulussalam tercatat yang paling cepat mengalami deforestasi setelah Kabupaten Pidie selama rekontruksi Aceh. Kayu-kayu yang diambil secara illegal di hutan dimanfaatkan sebagian untuk kebutuhan pembangunan di Aceh dan sebagian lagi dibawa ke Sumatera Utara. Daerah ini berada sisi selatan Aceh berbatasan dengan Kabupaten Pakpak Barat di Sumatera Utara.

Kehilangan tutupan hutan di Subulussalam bukan hanya terjadi karena illegal logging tapi juga karena perambahan kawasan hutan untuk perkebunan masyarakat dan juga pembukaan perkebunan skala besar. Kelapa sawit menjadi primadona daerah ini. Beberapa perusahaan yang tadinya merupakan HPH untuk kayu, melanjutkan konsesi mereka menjadi Hak Guna Usaha (HGU) kelapa sawit. Sebut saja PT Asdal yang wilayahnya berada di jalan yang kami masuki itu.

Laju pengurangan tutupan hutan di Subulussalam mencapai 12.753,2 hektar selama kurun 2006-2009. Ini yang tertinggi untuk Kawasan Ekosistem Leuser yang mencakup 13 kabupaten/kota di NAD. Selama kurun itu pula Aceh secara total kehilangan 88 ribu hektar hutannya. Kabupaten Pidie (termasuk Pidie Jaya) tercatat yang paling tinggi untuk seluruh Aceh.

Perubahan fungsi kawasan hutan di Subulussalam juga diperparah dengan pembukaan jalan dalam kawasan hutan. Dalam perencanaannya jalan Gelombang menuju Muara Situlen akan dibangun 56,4 kilometer. 80 persen lintasan akan melalui rimba yang masih alami, termasuk Taman Nasional Gunung Leuser bagian Selatan.

Menurut analisa lingkungan yang pernah dibuat oleh YLI terhadap rencana pembangunan di Leuser, jalan Gelombang – Muara Situlen ini akan memblokir Taman Nasional Gunung Leuser, memotong daerah-daerah sebaran keanekaragaman hayati yang tinggi di mana menjadi lintasan gajah dan harimau. Pembukaan jalan akan menyebabkan hutan terfragmentasi dan dapat memicu konflik satwa dan manusia. Di ujung jalan terakhir yang kami lalui (500 meter menjelang sungai Lawe Soraya), kami menemukan banyak jejak gajah baru. Jumlahnya sekitar 10 ekor. Sepertinya baru semalam mereka lewat daerah ini. Jika jalan ini dibuka menembus kawasan hutan yang masih alami di depannya, maka bisa kita bayangka bagaimana wilayah jelajah gajah akan terganggu dan semakin mempertinggi resiko konflik dengan satwa yang ada karena satwa akan turun ke pemukiman.

Pembangunan jalan juga akan menghancurkan daerah tangkapan air, dan meningkatkan ancaman bencana banjir dan tanah longsor karena melintasi wilayah dengan kemiringan lebih dari 40 persen. Daerah ini menjadi daerah tangkapan air utama utama sungai Lawe Soraya yang menghubungkan Lawe Alas dari puncuk Gunung Leuser di Gayo Lues, melintasi Aceh Tenggara, Subulussalam hingga ke Mauara Singkil. Degradasi hutan yang terjadi mengakitbakan banjir tahunan di Subulussalam dan Singkil. Dan yang waktunya sudah tak dapat diprediksi lagi.

Pemerintah sendiri telah mengajukan rencana pembangunan 8 ruas jalan di seluruh Kawasan Ekosistem Leuser. Prof Zainal Abidin Pian, pengamat tata ruang sekaligus dosen Universitas Syiah Kuala mengatakan, jika jalan jadi dibangun, maka hutan Leuser akan terfragmentasi menjadi 13 bagian, menhancurkan wilayah jelajah satwa langsa seperti harimau, gajah dan orangutan.

Menurut hasil penelitian Greenomics pembangunan jalan akan mempengaruhi tutupan hutan dan hutan akan terfragmentasi. Angka kerusakan hutan yang terstimulus oleh adanya jalan di dalam kawasan hutan berkisar 400 – 2400 hektar per kilometer jalan. Kita membayangkan dia berefek seperti jaringa laba-laba. Karena ketika jalan dibuka, maka terbukalah kesempatan manusia untuk masuk ke dalamnya.

Pemerintah harus arif melihat kebutuhan pembangunan jalan di Aceh dan memperhatikan semua aspek lingkungan yang terkait di dalamnya. Pembangunan yang ramah lingkungan dengan memperhatikan rencana desain yang tidak merusak lingkungan dan mengetatkan pengamanan hutan harus dilakukan meski itu dengan biaya sangat mahal.

Hutan Aceh masih merupakan yang terbaik untuk seluruh Sumatera. Bahkan untuk Asia Tenggara, ini merupakan satu-satunya kawasan hutan yang terdiri dari dua blok yang tak terputus yakni antara blok hutan Leuser dan blok hutan Ulu Masen. Luasnya mencapai 3,3 juta hektar. Kawasan ini juga merupakan hutan yang sangat unik di dunia karena di sini masih hidup 5 mamalia besar yang masuk dalam daftar terancam punah yakni Harimau Sumatera, Badan Sumatera, Orangutan Sumatera, Gajah Sumatera dan Beruang Madu. Selain itu juga menyimpan 4500 spesies flora dan fauna Indo Malaya yang sebagian sudah sangat langka.

Spot keanekaragaman hayati di kawasan ini berada di hutan dataran rendah di bagian barat selatan dan timur utara dengan ketinggian antara 0 – 700 meter di atas permukaan laut. Namun saat ini justru bagian dataran rendah yang mengalami laju kehancuran cukup parah karena konsentrasi aktivitas manusia berada di sana. Akibatnya spesies hewan di kawasan ini terdesak dan terkurung dalam fragmentasi. Tekanan mengakibatkan beberapa satwa berkonflik dengan manusia seperti gajah, harimau, buaya dan orangutan dan telah menelan banyak kerugian baik harta maupun jiwa.

Salah satu penyebab utama berkurangnya luasan hutan Aceh adalah konversi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit. Utama terjadi di sebagian besar kawasan hutan rawa gambut di Leuser yakni Rawa Singkil dan Rawa Tripa. Saat ini tercatat ada 89 ribu hektar kebun sawit milik petani, 39 ribu hektar milik perusahaan negara dan 132 ribu hektar milik perusahaan swasta. Perluasan perkebunan sawit yang tidak berkelanjutan dapat mengancam keberlangsungan kawasan hutan di daerah dataran rendah.

Selama masa rekontruksi Aceh upaya-upaya untuk mengetatkan pengamanan hutan Aceh dilakukan. Setahunan setelah terpilih menjadi Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf mengumumkan pemberlakukan jeda tebang (moratorium logging) pada Juni 2007. Ini merupakan langkah awal untuk komitmennya membangun ekonomi Aceh dengan Visi Hijau. Visi Aceh Hijau (Aceh Green Vission) merupakan sebuah konsep pembangunan ekonomi Aceh yang berkelanjutan. Ini strategi pemerintah untuk membangun kembali Aceh pasca bencana tsunami dan pasca meredanya konflik bersenjata yang mendera Aceh selama 3 dekade.

Moratorium logging memberi kesempatan kepada Pemerintah Aceh untuk merevisi status kawasan hutan yang ada seperti tutupan hutan, konsesi dan kepastian produksi hutan yang berkelanjutan. Lantas pemerintah melakukan redesian dan rencana strategis pengelolaan hutan Aceh. Dalam rangka pengamanan hutan Pemerintah Aceh juga telah merekrut 2000 anggota pengamanan hutan kontrak yang sebagian besar dari mantan kombatan.

Upaya pemerintah juga dibarengi dengan komitmen negara-negara donor yang terlibat dalam rekontruksi Aceh untuk mengurangi dampak negatif kegiatan mereka terhadap hutan dan lingkungan Aceh. Beberapa proyek lingkungan dilakukan seperti Proyek Hutan dan Lingkungan Aceh (Aceh Forest and Environment Project) yang didanai oleh Multi Donor Fund, Proyek Perlindungan Daerah Aliran Sungai (Watershed Management) yang didanai oleh New Zealand Aid, Program Pengelolaan DAS didanai oleh USAID-ESP, dan berbagai kegiatan lainnya. Program-program ini memberikan dukungan pada perlindungan hutan, peningkatan kapasitas tenaga pengamanan hutan serta mengembangkan kegiatan masyarakat yang tinggal di pinggiran hutan seperti rehabilitasi dan mata pencaharian.

Hutan Aceh menjadi isu penting dalam upaya dunia mengurangi emisi karbon dioksida dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Gubernur Irwandi Yusuf gencar melakukan lobi ke luar negeri dan menunjukkan komitmennya dalam upaya menyelamatkan hutan Aceh. Aceh sedang mengupayakan sebuah negosiasi di tingkat internasional untuk upaya mendapatkan kredit karbon atas hutannya. Salah satu inisiasi perdagangan karbon yang memperlihatkan kemajuan adalah untuk blok hutan Ulu Masen dimana beberapa pembeli menyatakan minatnya untuk membiayai pelindungan kawasan hutan ini.

Pelibatan masyarakat lokal adalah kunci dalam upaya perlindungan hutan ke depan. Kredit karbon adalah salah satu bentuk intensif jasa lingkungan yang harusnya jatuh secara langsung kepada masyarakat pinggiran hutan sebagai bentuk kompensasi bagi mereka dalam menjaga hutannya. Masyarakat harus digiring dalam mengembangkan matapencaharian berkelanjutan tanpa harus tergantung pada kayu di hutan. Misalnya dengan memanfaatkan hasil hutan non kayu seperti madu, rotan, getah damar, jernang dan sebagainya.

Selain itu pemerintah daerah juga harus merencanakan pembangunan berkelanjutan yang memasukan kepentingan lingkungan dalam perencanaan pembangunan. Pembangunan harus mengikuti arahan dalam Rencana Tata Ruang Provinsi dan Kabupaten yang telah disepakati yang mengatur batas kawasan hutan, budidaya dan pemukiman. Selain itu penindakan hukum (lawinforcement) harus ditingkatkan dalam upaya memberi efek jera kepada semua pelaku pengrusakan hutan tanpa pandang bulu. (selesai)

Tidak ada komentar: