Sabtu, 28 November 2009

King Never Land


Pukul 4 sore lewat beberapa menit. Gerimis belum berhenti sejak tengah hari. Lima orang baru saja turun dari perbukitan di ujung kampung Jambo Papeun. Desa ini diapit deretan perbukitan di Kecamatan Meukek, berjarak sekitar 30 kilometer dari kota Tapaktuan, Ibu Kota Kabupaten Aceh Selatan. Wilayahnya subur dan banyak kebun pala dan durian.

Orang-orang yang pulang dari kebun di gunung mulai nampak berdatangan menyusuri jalan setapak, jalan satu-satunya yang menghubungkan desa dengan gunung. Tampak pasangan suami istri, iikut beberapa pemuda dan orang tua. Kebanyakan berkelompok. Tapi ada juga yang sendiri jika kebunnya tak jauh. Mereka telah berjalan sejauh 2 hingga 4 kilometer dari kebunnya menuju pinggiran desa memanggul keranjang dari anyaman rotan. Isinya kebanyakan kopi dan pala. Tapi ada pula yang membawa karung berisi daun nilam dan cabai. Ritual kerja hari ini selesai.

Ada maklumat dari Keuchik Desa Jambo Papeun agar warga sudah harus kembali dari kebun sebelum hari gelap. Dan para peladang dianjurkan tidak sendirian ke kebun. Seminggu terakhir harimau mulai terlihat berkeliaran di sekitar kampung mereka dan telah berani turun ke kampung pada malam hari, mencuri 2 ekor kambing dari kandang milik warga.

Musyawarah desa sempat dilakukan. Mereka mulai mewaspadai tanda-tanda tak bagus dari si raja hutan. Maka diumumkan kepada seluruh warga untuk membersihkan semak di sekitar rumah, menghidupkan lampu di bagian depan dan belakang rumah supaya terang di malam hari, tidak melepaskan ternak jauh dari kampung dan bagi warga yang pergi ke kebun harus membawa teman untuk keamanan. Jika perkembangannya memburuk, baru mereka akan minta bantuan aparat terkait untuk mengusir atau menangkap harimau yang mendekati kampung.

Tapi harimau baru akan ditangkap jika sudah membahayakan warga. Seperti yang terjadi sepanjang tahun 2007 di Kecamatan Meukek. 3 warga dari Desa Alue Baroh, Desa Bukit Mas, dan Desa Drien Jalo berturut-turut diterkam harimau hinggá tewas saat bekerja di kebun pala milik mereka. Peristiwa merembet ke Desa Jambo Papeun, seekor harimau menerkam Samsuni (48 tahun) di kebun pala berjarak 2 kilometer dari desa. Syukur Samsuni berhasil diselamatkan sang istri yang dengan berani menarik suaminya dari mulut harimau. Samsuni terluka berat namun nyawanya berhasil diselamatkan.

Masyarakat menangkap harimau karena terpaksa karena sudah memakan korban jiwa dan ternak yang tak terhingga. Mereka yakin harimau yang telah memakan manusia tidak akan diterima lagi di hutan dan akan mudah ditangkap. Dari deretan peristiwa mengerikan itu, warga Meukek menangkap 4 ekor harimau di sekitaran hutan Desa Bukit Mas dan Desa Jambo Papeun dengan kandang perangkap. Mereka mendatang pawang harimau dari Desa Peulumat Kecamatan Labuhan Haji yang konon bisa memanggil harimau yang telah memakan manusia. Ketiga harimau diserahkan ke BKSDA di Banda Aceh dan kini telah direlokasi ke hutan Lampung. Sementara seekor lagi mati di kandang milik sebuah batalyon tentara di Aceh Selatan karena sakit, setelah sempat dipelihara beberapa saat.


Warga meyakini jika harimau marah, pasti ada manusia yang berbuat salah. Namun menurut penjelasan M. Nasir, ketua Seunebok (yang mengatur soal perkebunan) Desa Jambo Papeun, ulah harimau akhir-akhir ini tidak lumrah.

”Dulu tidak seperti ini karena harimau akan memberi tanda jika mereka marah. Pasti kita akan menemukan tanda di kebun berupa kaisan tanda silang di tanah atau di batang pohon atau mendengar auman harimau. Itu pasti ada orang berbuat salah. Mencuri di kebun,” katanya.

Aceh Selatan merupakan habitat utama harimau sumatera di dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Daerah teritorial utamanya terletak di sepanjang pegunungan yang membentang mulai dari Kecamatan Labuhan Haji Barat sampai Trumon Timur. Sebenarnya konflik manusia - harimau di kawasan ini terjadi sejak tahun 1980-an terutama di Kecamatan Labuhan Haji, Meukek, Sawang dan Samadua. Sebelum tahun 2000 hanya terjadi beberapa kasus kecil yakni kasus harimau turun ke sekitar perkampungan dan memangsa ternak. Sedangkan kasus harimau memangsa manusia terjadi 3 – 4 tahun sekali.

Konflik manusia dan harimau intensitasnya meningkat di tahun 2006 dan mencapai puncak di Aceh Selatan pada tahun 2007 karena berturut-turut 6 warga tewas dan 2 kritis karena diterkam harimau. Peristiwa penyerangan harimau umumnya terjadi di ladang/kebun masyarakat yang terletak di kawasan perbukitan yang tidak jauh dari perkampungan. Sebagian besar harimau

Selama itu pula tercatat sudah 19 ekor harimau tertangkap baik disengaja maupun karena kena jerat babi, racun dan ditembak. Di Jambo Papeun dan Desa Bukit Mas yang berdekatan, warga menangkap 4 ekor harimau yang mereka yakini telah memakan warga. Harimau yang ditangkap diserahkan ke BKSDA. Ada 8 ekor dari Aceh Selatan. Sebagian dipindahkan ke hutan Lampung serta dilepasliarkan kembali ke hutan Aceh. 11 ekor harus mati karena luka jeratan, diracun dan ditembak.

Sebagian besar harimau mati kena jeratan tak sengaja di kebun. Penduduk memasang jerat untuk babi untuk menghalangi babi masuk ke kebun. Namun itu berakibat fatal karena seringnya harimau mengejar babi yang menjadi hewan mangsanya. Kurangnya sosialisasi kepada warga tentang cara penggunaan jerat satwa dan jenis jerat yang boleh dipergunakan serta tidak adanya aturan pelarangan, menyebabkan ancaman terhadap kelangsungan hidup harimau.


Koordinator Tim Survey Harimau Yayasan Leuser Internasional (YLI), Tarmizi, menjelaskan mereka banyak menemukan jejak harimau di sekitaran kebun dekat desa semasa survey yang mereka lakukan sejak 2007 – 2009 untuk mendata penyebaran harimau sumatera di Kawasan Ekosistem Leuser.

Menurut hasil survey, hutan Leuser masih menjadi habitat terbaik untuk perkembangan harimau sumatera. Selain hutannya masih luas, satwa mangsa yang menjadi makanan harimau masih banyak dijumpai antara lain babi, rusa, kijang, dan kambing hutan.

Namun demikian akibat terjadinya pengurangan luasan hutan, harimau menjadi terusik. Habitat mereka terfragmentasi dan mengganggu wilayah jelajahnya. Harimau jantan dewasa mempunyai wilayah teritorial mencapai 350 kilometer persegi. Gangguan habitat menjadikan wilayah jelajah harimau menyempit dan terjadinya perebutan wilayah kekuasaan sesama harimau jantan.

Degradasi atau pengurangan luasan hutan yang menjadi habitat utama harimau menjadi salah satu faktor utama mengapa satwa ini turun ke sekitar kebun dan pemukiman masyarakat. Berdasarkan data temuan tim pemantau YLI setiap tahun terjadi peningkatan jumlah kasus illegal logging dan konversi hutan menjadi perkebunan dan ladang pada daerah rawan konflik harimau yaitu di Labuhan Haji, Meukek, Sawang, Samadua, Bakongan, Kluet Timur dan Trumon.

Kerusakan hutan berkorelasi dengan berkurangnya satwa mangsa, seperti rusa, kijang dan babi hutan. Hal itu diperparah dengan perburuan rusa dan kijang oleh masyarakat. Ketika satwa mangsa sulit diperoleh di dalam hutan maka harimau akan mengembara ke pinggir hutan yang berbatasan dengan perkampungan untuk mencari mangsa yang mudah didapat.

Di kawasan hutan yang berbatasan dengan perkampungan terdapat banyak ternak. Awalnya harimau mencoba untuk berburu ternak tersebut. Selanjutnya harimau menjadi terbiasa dan ketagihan berburu hewan ternak karena diperoleh dengan cara yang mudah, sehingga eskalasi konflik pun meningkat. Untuk daerah yang rawan gangguan harimau, masyarakat sangat disarankan untuk mengandangkan ternaknya agar harimau tidak terpancing datang mendekati desa.

Perburuan dan Perdagangan

Perburuan dan perdagangan harimau juga sangat mempengaruhi terjadinya konflik manusia – harimau. Jika seekor harimau mati, ditangkap atau dipindah ke tempat lain maka di lokasi habitat tersebut yang menjadi daerah kekuasaan (teritory) harimau yang mati atau dipindah tersebut dengan segera akan ditempati oleh harimau lainnya. Tidak akan ada kawasan hutan yang dibiarkan kosong untuk menjadi daerah kekuasaan harimau, kecuali jika seluruh populasi harimau di kawasan hutan tersebut tersingkir/punah secara total. Jika terjadi kasus seperti tersebut kemungkinan konflik lebih besar akan terjadi jika harimau yang masuk/pengganti adalah harimau bermasalah yang sudah pernah memangsa hewan ternak atau manusia.

Dalam beberapa tahun terakhir ini di wilayah selatan dan barat Kawasan Ekosistem Leuser terindikasi adanya perburuan dan perdagangan harimau, namun jejak para pelaku tidak dapat terendus dan barang bukti sulit ditemukan karena jaringan yang dibentuk sangat rapi dan rahasiaHarimau diburu dan diperdagangkan tidak saja untuk dipelihara, tapi juga untuk diambil organ tubuhnya seperti taring, cakar, kulit, kumis dan tulang. Pemeliharaan harimau terutama anaknya juga mempengaruhi terjadinya konflik manusia – harimau, karena induknya akan berusaha mencari anaknya yang hilang/diambil manusia.






Subspesies Harimau Terakhir di Indonesia

Harimau sumatera merupakan satu-satunya sub-spesies harimau yang masih tersisa di Indonesia. Harimau bali (Panthera tigris balica) dinyatakan punah pada 27 september 1937 setelah terbunuhnya seekor harimau betina dewasa di Sumbar Kima, Bali Barat. Harimau jawa (Panthera tigris sondaica) menyusul hilang sejak 1980-an. Oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), harimau sumatera ini masuk dalam daftar terancam kritis. Populasinya di alam liar di perkirakan tinggal 400-500 ekor tersebar sebagian besar hutan Sumatera. Hutan Ekosistem Leuser bersama Taman Nasional Kerinci Seblat saat ini merupakan habitat utama harimau sumatera yang tersisa. Populasi harimau lainnya tersisa di hutan-hutan lainnya yang terfragmentasi.

Kita semua patut memberikan dukungan bagi upaya penyelamatan harimau. Adalah sebuah kerugian tak terhingga bagi keanekaragaman hayati Aceh, Indonesia dan dunia kita jika suatu saat nanti harimau sumatera tidak mampu bertahan hidup dan punah dari muka bumi.

Tidak ada komentar: