Sabtu, 28 November 2009

Namaku Husaini

Anak laki-laki ini bernama Husaini bin Muhammad Husein. Umurnya 14 tahun, kini duduk di bangku kelas 1 SMP Sibreh, Kabupaten Aceh Besar. Seperti kebanyakan anak lain dari keluarga kurang mampu, Husaini menjalani kehidupan yang keras. Selain bersekolah dan bermain, sekecil itu dia sudah harus menjalani tanggung jawab membantu mencari nafkah buat keluarganya.

Kedua orangtua Husaini, Muhammad Husein (70-an tahun) dan Hasmah (30-an tahun), bisa dikatakan tidak bisa memberikan penghidupan layak bagi ke lima anaknya. “Saya pasrah, saya tidak sanggup memberikan mereka lebih dari yang ada sekarang. Husaini dan adik-adiknya masih bisa sekolah itu sudah bagus. Untung ada orang yang mau kasih baju dan buku,” kata Husein sedih.

Husein sudah beberapa bulan ini sakit-sakitan. Disentri, malaria, dan bermacam penyakit orang uzur mulai menderanya. Tak banyak yang dia bisa lakukan sebagai kepala rumah tangga. Istrinyalah yang sekarang berperan untuk mencari nafkah keluarga itu. Hasmah saban hari mencari daun pisang dan sayur mayur di kebun orang kampung, lalu dia menjualnya di pasar Lambaro.

Hasilnya cuma bisa menghidupkan asap dapur mereka paling banyak dua kali sehari. “Mamak jarang masak karena pagi-pagi sudah ke pasar. Kami sering nggak makan karena mamak tidak tahu mau masak apa untuk makan kami,” cerita Husaini saat kami mengunjunginya di rumah di penghujung September kemarin.

Keluarga ini menjalani kehidupan yang lumayan sedih. Tadinya Husein dan keluarganya tinggal di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Dia pernah bekerja sebagai tukang bangunan dan penarik becak. Setelah gubuk mereka turut musnah dalam musibah kebakaran di pasar Meulaboh beberapa tahun lalu, Husein membawa pindah istri dan 5 anaknya yang masih kecil-kecil pulang ke kampung asalnya di Desa Tumboh Baro, Kecamatan Kuta Malaka, Samahani Aceh Besar.

Di kampung yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Banda Aceh itu, Husein membangun rumah sederhana di atas tanah pinjaman orang yang kasihan padanya. Selain berumah di disitu, Husaini memanfaatkan lahan yang ada untuk menanam sayur dan cabe.

“Kami mau pelihara ayam. Tapi mamak belum membeli ayamnya,” kata Husaini.

Rumah keluarga ini cuma berupa gubuk kecil berukuran 5 x 6 meter. Atap rumbianya sebagian masih terbuka menantang langit. Kalau hujan bocor di sana sini. Lantainya cuma tanah Tak ada jam dan kalander penunjuk waktu di dinding papan rumah itu. Pergantian waktu hanya mereka tandai dari sinar matahari dan suara azan di mesjid.

Di dalam rumah hanya ada 3 kursi tua, lemari pakaian sederhana dan bale-bale. Husein membuat sendiri bale-bale kayu dimana dia dan anak istrinya sering pakai untuk duduk dan tidur. Di atas bale-bale penuh dengan tumpukan baju dan seonggok kasur robek. Juga berserak buku pelajaran dan tas sekolah. Kalau malam tiba penerang rumah itu cuma berasal dari dua buah lampu sentir kecil. Di pojok ruang ada rak piring tua dengan berapa piring dan kuali masak penuh jelaga.

Semua aktifitas keluarga dilakukan di situ. Tidur, makan, dan memasak. Hasmah hanya bisa memasak makanan ala kadarnya buat anak-anaknya. Jangankan daging, ikan saja sudah menjadi menu mewah untuk keluarga ini. “Kalau pulang dari pasar mamak suka membawa tempe, sayur. Kadang ada juga teri,” kata Husaini.

Husaini mengaku dia jarang makan. “Kami makan bukan untuk kenyang, hanya sekedar mengisi perut saja.”

Husaini sering ke sekolah dengan perut kosong. Dia tidak berpikir untuk makan teratur, karena di rumahnya makanan juga kurang. Itu pun harus saling berbagi dengan keempat adik perempuannya, ayah dan mamaknya. Akibatnya Husaini sering sakit maag.
Untuk mencapai sekolahnya, Husaini harus berjalan kaki dari rumahnya sejauh 800 meter untuk sampai ke jalan raya. Lalu dia menyambung naik labi-labi ke Sibreh. Dalam sehari Husaini butuh uang Rp 2 ribu untuk ongkos pulang pergi. Kalau beruntung ada uang lebih dari mamaknya, dia bisa membeli kue di sekolah dengan uang Rp 1000. Tapi Husaini tak mau menyusahkan mamaknya yang berpenghasilan pas-pasan. Pulang sekolah anak ini memilih bekerja agar dia bisa mendapatkan uang untuk ongkos ke sekolah esoknya. Kerjanya memotong rumput, atau membantu memetik sayur di kebun orang.

Di sekolah Husaini memang tidak begitu menonjol prestasi belajarnya. Tetapi semangatnya untuk terus bersekolah lumayan tinggi, meski dia harus bekerja untuk mendapatkan uang untuk ongkos ke sekolah. Gurunya mahfum dengan kondisi ekonomi keluarga Husaini yang pas-pasan. Belajar dengan perut kosong dan beban kehidupan yang menumpuk sering mengganggu konsentrasi belajarnya.

Menurut gurunya, anak ini punya kebiasaan mengantuk-antukkan kepalanya ke meja. Apalagi kalau sudah menghadapi pelajaran yang rumit. “Aku pusing kalau sudah belajar bahasa Inggris. Sulit sekali dimengerti,” katanya.

Harusnya saat ini Husaini sudah duduk di kelas 2 SMP. Dia sempat tidak melanjutkan sekolahnya selama setahun, ketika tamat dari SD Samahani. “Waktu itu aku pikir tidak ada biaya untuk adik. Biarlah dia yang sekolah dulu, aku menganggur setahun,” kisahnya.

Selama menganggur itulah Husaini bekerja penuh waktu. Dia ikut seorang kenalannya bekerja sebagai tukang bangunan di Banda Aceh. Kerjanya mengaduk semen. Dapat upah Rp 30 ribu per hari. Uangnya diberikan pada mamaknya untuk makan dan membiayai sekolah Adil Fitri adik perempuan di bawahnya.

Di lain waktu, ketika ada panen padi di kampungnya, Husaini membantu tetangganya ikut merontokkan padi. Selain dapat uang, dia bisa membawa pulang sisa-sisa padi yang terbuang waktu perontokkan di sawah.

“Bagi aku, yang penting adik-adik harus sekolah, pandai mengaji. Tidak boleh ada yang menganggur seperti aku,” ucapnya. Selain Aidil Fitri yang sudah SMP, dua adik Husaini yang lain saat ini masih dibangku SD, tinggal si bungsu Asmaul Husnah yang belum sekolah karena masih berumur 3 tahun.

Setelah setahun tak sekolah, Husaini memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di SMP. Tapi dia memilih tidak bersekolah di SMP yang sama dengan Aidil Fitri. Padahal jaraknya cuma 200 meter dari rumahnya.

“Dia malu karena adiknya si Aidil Fitri kelasnya sudah di atasnya. Jadi dia pilih SMP di Sibreh,” timpal sang ayah.

Selama ini Husaini sangat terbantu dengan perhatian guru di sekolahnya. Selain dikasih baju, dia juga dikasih buku pelajaran dan buku tulis. Pernah pula sekali mendapatkan beasiswa. Husaini sebenarnya sangat berharap dia dan adik-adiknya mendapatkan bantuan beasiswa secara rutin. Sayangnya kebanyakan program beasiswa yang ada saat ini di Aceh lebih banyak diperuntukkan untuk anak-anak korban tsunami dan anak korban konflik. Husaini dan adik-adiknya bukan korban tsunami dan bukan korban konflik. Tapi kondisi kehidupan keluarga mereka yang serba kekurangan membuat mereka kesulitan untuk bersekolah dengan baik.

Di masa serba sulit saat ini, Husein dan Hasmah mencoba bertahan agar bisa terus menyekolahkan anak-anak mereka. Ada saja yang memberikan bantuan. Baju sekolah bekas, buku pelajaran, tas sekolah, semua mereka dapatkan dari sumbangan orang sekitar mereka yang prihatin dengan keadaan keluarga ini.

Ramadhan kali ini Husaini rajin mengikuti kegiatan pesantren kilat di sekolahnya. Anak ini juga masih tetap terus bekerja di sore hari. Juga membantu ayahnya menyiram sayur di kebun mereka. Jika malam tiba, Husaini dan adik-adiknya pergi ke mesjid untuk belajar mengaji.

Sekolah, bermain dan bekerja. Itu ritual hidup Husaini. Dia mulai sadar akan tanggung jawabnya sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, dimana kelak keluarganya akan menggantungkan pengharapan padanya. Kalau ditanya apa cita-citanya, Husaini suka lupa. “Mamak ada bilang, kalau saya besar saya harus jadi itu tuh. Tapi saya lupa apa namanya,”katanya bingung.

Semoga saja Husaini dan adik-adiknya bisa terus bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan menggapai cita-cita mereka menjadi salah satu generasi muda Aceh yang sukses, yang mampu mengangkat derajat keluarga, dan mampu berbuat untuk orang-orang sekelilingnya. (selesai)


Husaini dan keluarganya

Tidak ada komentar: