Senin, 30 November 2009
Menghitung Waktu untuk Tripa
dokumen foto : YEL
Tripa merupakan nama satu kawasan hutan rawa gambut yang cukup penting di pesisir pantai barat Aceh, setelah Rawa Singkil dan Rawa Kluet. Ketika para Datok dan Ulu Balang Aceh berkumpul di Tapaktuan (ibu kota Aceh Selatan) mendeklarasikan penyelamatan hutan Leuser pada 6 Februari 1934, perlindungan Tripa disebutkan secara implisit dalam proposal para tetua adat itu kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Mereka meminta status perlindungan terhadap sebuah kawasan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai Simpang Kiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan ke arah lembah Sungai Tripa dan rawa pantai Meulaboh di bagian utara. Proposal itu disepakati dengan ditandatanganinya “Deklarasi Tapaktuan” yang ditandatangani Gubernur Hindia Belanda di masa itu.
Menyelamatkan Tripa untuk masa depan sudah ditetapkan sejak zaman Belanda. Namun 60 tahun kemudian, sekitar tahun 1990, kelestarian Tripa hilang secara cepat ketika perusahaan bermodal besar masuk dan mendapat kapling-kapling konsesi Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan kelapa sawit. Penghancuran Rawa Tripa pun dimulai sejak itu. Konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang diikuti pembersihan lahan dengan cara pembakaran, pengeringan air rawa dengan pembuatan kanal berkilometer panjangnya, secara destruktif telah menghancurkan hutan rawa gambut yang ada di Tripa. Kehancuran Tripa secara sadar telah dilakukan atas izin resmi Pemerintah. Meski kawasan ini telah ditetapkan menjadi bagian Kawasan Ekosistem Leuser, yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai kawasan perlindungan nasional yang terpenting, toh tidak mampu mencegah kehancuran Tripa dari waktu ke waktu.
Secara administrasi Rawa Tripa masuk wilayah Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya dan Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat. Rawa Tripa memiliki luas sekitar 63.338 hektar. Namun hanya 15.595 hektar (24 %) yang masih tersisa hutan yang relatif bagus (undisturbed) dan 9.819 hektar ( 15 %) hutan yang sudah rusak (disturbed). Lebih tragis lagi sisa hutan tersebut sebahagian besar berada dalam areal HGU perusahaan perkebunan kelapa sawit yang kelak akan segera dikonversi menjadi areal perkebunan. Di wilayah hutan yang tersisa itulah, beberapa spesies hewan langka yang terancam punah masih mencoba bertahan hidup untuk terakhir kalinya.
Dari survei terakhir yang dilakukan Yayasan Leuser Internasional tahun 2008, mereka masih menemukan kebaradaan langsung Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Beruang madu (Helarctos malayanus), dan jejak Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis). Habitatnya telah terfragmentasi dan mempersempit ruang jelajah. Keberlangsungan satwa-satwa yang ada di Tripa hanya tinggal menghitung waktu. Mereka perlahan akan mati akibat tidak mendapat makanan, tidak mampu berkembang biak lalu musnah selamanya.
Tripa sendiri merupakan hotspot keanekaragaman hayati yang cukup penting di Leuser. Selain ketiga satwa yang disebut tadi, ada juga Buaya Rawa (Crocodylus porosus), Ular Python (sanca), serta berbagai jenis burung rawa seperti Bangau Storm (Ciconia stormi), dan Burung Belibis (Cairina scutulata). Vegetasi dan jenis-jenis tumbuhan di Tripa juga diperkirakan memiliki komposisi sangat beragam, sebagaimana rawa gambut lainnya di Sumatera (Laumonier, 1997). Selain itu 40 jenis ikan bernilai tinggi hidup di rawa seperti lele dumbo, belut dan paitan.
Secara spesifik, Tripa terkenal sebagai salah satu habitat terpenting Orangutan Sumatera di Leuser. Dari sekitar 6.600 Orangutan Sumatera yang tersisa di dunia, sekitar 4% atau sekitar 280 ekor terdapat di Rawa Tripa (Wich, et al., 2008). Tripa telah ditetapkan sebagai salah satu area prioritas bagi konservasi Orangutan Sumatera oleh GRASP (Great Apes Survival Partnership), sebuah program bersama UNEP dan UNESCO yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Jika Tripa lestari, kawasan ini mampu mendukung kehidupan 1000 ekor Orangutan.
Professor Charel Van Schaik, seorang peneliti Orangutan dari Universitas Duke Amerika menyebutkan bahwa kehancuran Rawa Tripa telah mendesak kehidupan liar Orangutan Sumatera yang populasinya cukup tinggi di Rawa Tripa. Diperkirakan kini populasi Orangutan di sana menurun secara tajam.
Pembukaan hutan oleh perusahaan perkebunan telah menghacurkan habitat orangutan di Rawa Tripa. Orangutan yang terdesak terkadang terjebak dalam kurungan api ketika pembakaran lahan dilakukan. Para pekerja perkebunan membunuh induk orangutan dan mengambil anaknya untuk dijual.
The orangutan Foundation, salah satu Organisasi Non Pemerintah yang berbasis di United Kingdom yang bergerak dalam konservasi orangutan menyerukan penyelamatan Rawa Tripa dari kehancuran. Mereka menggalang dukungan internasional untuk mengkampanyekan penyelamatan Rawa Tripa. Bersama Wetland Internasional dan sejumlah NGO internasional mereka mendesak salah satu perusahaan kelapa sawit yang bekerja di Tripa yakni PT. Astra Agro Lestari untuk menghentikan penghancuran Tripa. Kebetulan Astra merupakan perusahaan yang besar sehingga titik point ada pada Astra meski ada beberapa perusahaan lainnya melakukan penghancuran Tripa. NGO internasional mendesak Astra menghentikan pembukaan lahan dan mempublikasikan Hight Value Conservation Forest (kawasan bernilai konservasi tinggi) dalam HGU Astra.
Selain PT. Astra Agro Lestari, tercatat beberapa perusahaan lainnya yang memiliki konsesi perkebunan kelapa sawit di Tripa yakni T. Kalista Alam, PT. Cemerlang Abadi, dan PT Gelora Sawita Makmur. Sementara PT Patriot Guna Sakti Abadi sudah tidak aktif, sehingga areal konsesinya diambil oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya untuk Perkebunan Inti Rakyat (PIR) sawit yang dibagi-bagikan kepada masyarakat.
Manfaat Tripa bagi Kehidupan
Di dalam hutan rawa gambut Tripa mengalir tiga sungai besar yang juga menjadi batas kawasan, Sungai Tripa/Lamie (bagian barat), Sungai Seumayam (bagian tengah) dan Sungai Babahrot (bagian timur). Air ketiga sungai ini berhulu dari gunung-gunung tinggi di Leuser. Secara ekologi Tripa menjadi penampung air ketiga sungai tadi. Gambut yang ada di dasar hutan bagaikan spon yang menyerap jutaan kubik air. Lantai hutannya berair sepanjang tahun.
Gambut memiliki peranan hidrologis penting karena secara alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas sangat besar. Jika tidak mengalami gangguan, gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8 - 0,9 m3/m3 (Murdiyarso et al, 2004). Dengan demikian Rawa gambut Tripa memiliki peran sangat penting sebagai pengatur siklus air tawar dan banjir.
Berdasarkan hasil studi kedalaman gambut yang dilakukan di Rawa Tripa, memperlihatkan bahwa kawasan ini terdapat tiga kubah gambut dengan kedalaman lebih dari 5 meter. Jumlah cadangan karbon diatas permukaan tanah pada hutan yang masih ada seluas 31.410 Ha (Hutan primer seluas 24.088 Ha dan hutan sekunder seluas 7.231 Ha) sebesar 4.048.335 ton carbon. Sementara cadangan karbon di bawah permukaan tanah (dengan kedalaman antara 130 cm - 505 cm) diperkirakan sebesar 328-2.240 ton karbon/Ha (Agus dan Wahdini, 2008). Jumlah total cadangan karbon di lapisan gambut Tripa diperkirakan mencapai 50 – 100 juta ton, dan merupakan stock cadangan karbon terbesar di Aceh yang belum terlindungi. Pembukaan hutan Rawa Tripa telah memicu pelepasan karbon ke udara dan meningkatkan emisi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global.
Penyusutan gambut akibat dari pengeringan rawa (drainase) yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit berdampak pada penurunan permukaan tanah sekitar 20 – 50 cm/tahun untuk tahun-tahun pertama pasca pengeringan (drainase). Sesudah 10 tahun, kecepatan penurunan ini dapat menurun hingga 2 – 5 cm/tahun. (Rieley and Page, 2005). Sehingga 20 tahun ke depan, gambut akan menyusut sedalam 1 meter atau lebih. Sehingga beberapa tahun ke depan diperkirakan sebagian daratan di Kabupaten Nagan Raya (Kecamatan Darul Makmur) dan Abdya (Kecamatan Babahrot) yang dalam dua tahun terakhir ini sering mengalami banjir akan berada di bawah permukaan laut. Dampak lainnya juga akan menghilangkan semua potensi pertanian dan perkebunan serta perikanan darat di areal ini, termasuk perkebunan kelapa sawit itu sendiri.
Ketika gelombang tsunami menerjang pesisir pantai barat Aceh, Rawa Tripa merupakan benteng alami yang mencegah kerusakan bagi wilayah Nagan Raya dan Abdya. Sehingga dibandingkan dengan daerah Aceh Barat, kedua daerah ini relatif sedikit kehancuran yang terjadi.
Penghancuran Tripa tidak hanya menghancurkan benteng tsunami yang dimiliki Aceh, tapi juga memberikan kehancuran jangka panjang yang sangat sulit untuk dipulihkan. Selain hutan yang hilang, keanekaragaman hayati pun musnah. Masyarakat setempat kehilangan pula sumber mata pencahariannya sebagai nelayan akibat musnahnya kehidupan ikan di rawa. Yang paling terasa kini adalah bencana banjir yang kerap melanda Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya selama beberapa tahun terakhir. Gambut yang kering tak mampu lagi menjadi spon penyerap air.
Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa yang terdiri dari berbagai NGO di Aceh seperti Walhi, Yayasan Leuser Internasional, Yayasan Ekosistem Lestari, Koalisi NGO HAM, LBH Banda Aceh, Transparacy International telah dua tahun bekerja untuk mendorong upaya penyelamatan Rawa Tripa sesegera mungkin. Koalisi ini mendesak Pemerintah Aceh meninjau kembali kebaradaan perkebunan sawit di Tripa dan meminta penghentian segera pembukaan lahan kelapa sawit oleh perusahaan-perusahaan yan ada di Tripa. Bagaimana pun, menyelamatkan Rawa Tripa harus segera dilakukan sebelum kita kehilangan Rawa Tripa dan keanekaragaman hayati untuk selamanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
bgaimana dgan hutan aceh sgkil???????apa kah yel udah pernah cek???apa solusi kepada msyarkat untuk jgan penebangan hutan lagi??sy prihatin dagn hutan a,sgkil..udah bnyak yang rusak......smga orng2 penebang hutan cpat bertaubat...slam kenal..slam hijau.....andangaceh
Posting Komentar