Senin, 30 November 2009

Menghitung Waktu untuk Tripa


dokumen foto : YEL

Tripa merupakan nama satu kawasan hutan rawa gambut yang cukup penting di pesisir pantai barat Aceh, setelah Rawa Singkil dan Rawa Kluet. Ketika para Datok dan Ulu Balang Aceh berkumpul di Tapaktuan (ibu kota Aceh Selatan) mendeklarasikan penyelamatan hutan Leuser pada 6 Februari 1934, perlindungan Tripa disebutkan secara implisit dalam proposal para tetua adat itu kepada Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Mereka meminta status perlindungan terhadap sebuah kawasan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai Simpang Kiri) di bagian selatan, sepanjang Bukit Barisan ke arah lembah Sungai Tripa dan rawa pantai Meulaboh di bagian utara. Proposal itu disepakati dengan ditandatanganinya “Deklarasi Tapaktuan” yang ditandatangani Gubernur Hindia Belanda di masa itu.

Menyelamatkan Tripa untuk masa depan sudah ditetapkan sejak zaman Belanda. Namun 60 tahun kemudian, sekitar tahun 1990, kelestarian Tripa hilang secara cepat ketika perusahaan bermodal besar masuk dan mendapat kapling-kapling konsesi Hak Guna Usaha (HGU) untuk perkebunan kelapa sawit. Penghancuran Rawa Tripa pun dimulai sejak itu. Konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit yang diikuti pembersihan lahan dengan cara pembakaran, pengeringan air rawa dengan pembuatan kanal berkilometer panjangnya, secara destruktif telah menghancurkan hutan rawa gambut yang ada di Tripa. Kehancuran Tripa secara sadar telah dilakukan atas izin resmi Pemerintah. Meski kawasan ini telah ditetapkan menjadi bagian Kawasan Ekosistem Leuser, yang oleh pemerintah ditetapkan sebagai kawasan perlindungan nasional yang terpenting, toh tidak mampu mencegah kehancuran Tripa dari waktu ke waktu.

Secara administrasi Rawa Tripa masuk wilayah Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya dan Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat. Rawa Tripa memiliki luas sekitar 63.338 hektar. Namun hanya 15.595 hektar (24 %) yang masih tersisa hutan yang relatif bagus (undisturbed) dan 9.819 hektar ( 15 %) hutan yang sudah rusak (disturbed). Lebih tragis lagi sisa hutan tersebut sebahagian besar berada dalam areal HGU perusahaan perkebunan kelapa sawit yang kelak akan segera dikonversi menjadi areal perkebunan. Di wilayah hutan yang tersisa itulah, beberapa spesies hewan langka yang terancam punah masih mencoba bertahan hidup untuk terakhir kalinya.

Dari survei terakhir yang dilakukan Yayasan Leuser Internasional tahun 2008, mereka masih menemukan kebaradaan langsung Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Beruang madu (Helarctos malayanus), dan jejak Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis). Habitatnya telah terfragmentasi dan mempersempit ruang jelajah. Keberlangsungan satwa-satwa yang ada di Tripa hanya tinggal menghitung waktu. Mereka perlahan akan mati akibat tidak mendapat makanan, tidak mampu berkembang biak lalu musnah selamanya.

Tripa sendiri merupakan hotspot keanekaragaman hayati yang cukup penting di Leuser. Selain ketiga satwa yang disebut tadi, ada juga Buaya Rawa (Crocodylus porosus), Ular Python (sanca), serta berbagai jenis burung rawa seperti Bangau Storm (Ciconia stormi), dan Burung Belibis (Cairina scutulata). Vegetasi dan jenis-jenis tumbuhan di Tripa juga diperkirakan memiliki komposisi sangat beragam, sebagaimana rawa gambut lainnya di Sumatera (Laumonier, 1997). Selain itu 40 jenis ikan bernilai tinggi hidup di rawa seperti lele dumbo, belut dan paitan.

Secara spesifik, Tripa terkenal sebagai salah satu habitat terpenting Orangutan Sumatera di Leuser. Dari sekitar 6.600 Orangutan Sumatera yang tersisa di dunia, sekitar 4% atau sekitar 280 ekor terdapat di Rawa Tripa (Wich, et al., 2008). Tripa telah ditetapkan sebagai salah satu area prioritas bagi konservasi Orangutan Sumatera oleh GRASP (Great Apes Survival Partnership), sebuah program bersama UNEP dan UNESCO yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Jika Tripa lestari, kawasan ini mampu mendukung kehidupan 1000 ekor Orangutan.

Professor Charel Van Schaik, seorang peneliti Orangutan dari Universitas Duke Amerika menyebutkan bahwa kehancuran Rawa Tripa telah mendesak kehidupan liar Orangutan Sumatera yang populasinya cukup tinggi di Rawa Tripa. Diperkirakan kini populasi Orangutan di sana menurun secara tajam.

Pembukaan hutan oleh perusahaan perkebunan telah menghacurkan habitat orangutan di Rawa Tripa. Orangutan yang terdesak terkadang terjebak dalam kurungan api ketika pembakaran lahan dilakukan. Para pekerja perkebunan membunuh induk orangutan dan mengambil anaknya untuk dijual.

The orangutan Foundation, salah satu Organisasi Non Pemerintah yang berbasis di United Kingdom yang bergerak dalam konservasi orangutan menyerukan penyelamatan Rawa Tripa dari kehancuran. Mereka menggalang dukungan internasional untuk mengkampanyekan penyelamatan Rawa Tripa. Bersama Wetland Internasional dan sejumlah NGO internasional mereka mendesak salah satu perusahaan kelapa sawit yang bekerja di Tripa yakni PT. Astra Agro Lestari untuk menghentikan penghancuran Tripa. Kebetulan Astra merupakan perusahaan yang besar sehingga titik point ada pada Astra meski ada beberapa perusahaan lainnya melakukan penghancuran Tripa. NGO internasional mendesak Astra menghentikan pembukaan lahan dan mempublikasikan Hight Value Conservation Forest (kawasan bernilai konservasi tinggi) dalam HGU Astra.

Selain PT. Astra Agro Lestari, tercatat beberapa perusahaan lainnya yang memiliki konsesi perkebunan kelapa sawit di Tripa yakni T. Kalista Alam, PT. Cemerlang Abadi, dan PT Gelora Sawita Makmur. Sementara PT Patriot Guna Sakti Abadi sudah tidak aktif, sehingga areal konsesinya diambil oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya untuk Perkebunan Inti Rakyat (PIR) sawit yang dibagi-bagikan kepada masyarakat.


Manfaat Tripa bagi Kehidupan

Di dalam hutan rawa gambut Tripa mengalir tiga sungai besar yang juga menjadi batas kawasan, Sungai Tripa/Lamie (bagian barat), Sungai Seumayam (bagian tengah) dan Sungai Babahrot (bagian timur). Air ketiga sungai ini berhulu dari gunung-gunung tinggi di Leuser. Secara ekologi Tripa menjadi penampung air ketiga sungai tadi. Gambut yang ada di dasar hutan bagaikan spon yang menyerap jutaan kubik air. Lantai hutannya berair sepanjang tahun.

Gambut memiliki peranan hidrologis penting karena secara alami berfungsi sebagai cadangan (reservoir) air dengan kapasitas sangat besar. Jika tidak mengalami gangguan, gambut dapat menyimpan air sebanyak 0,8 - 0,9 m3/m3 (Murdiyarso et al, 2004). Dengan demikian Rawa gambut Tripa memiliki peran sangat penting sebagai pengatur siklus air tawar dan banjir.

Berdasarkan hasil studi kedalaman gambut yang dilakukan di Rawa Tripa, memperlihatkan bahwa kawasan ini terdapat tiga kubah gambut dengan kedalaman lebih dari 5 meter. Jumlah cadangan karbon diatas permukaan tanah pada hutan yang masih ada seluas 31.410 Ha (Hutan primer seluas 24.088 Ha dan hutan sekunder seluas 7.231 Ha) sebesar 4.048.335 ton carbon. Sementara cadangan karbon di bawah permukaan tanah (dengan kedalaman antara 130 cm - 505 cm) diperkirakan sebesar 328-2.240 ton karbon/Ha (Agus dan Wahdini, 2008). Jumlah total cadangan karbon di lapisan gambut Tripa diperkirakan mencapai 50 – 100 juta ton, dan merupakan stock cadangan karbon terbesar di Aceh yang belum terlindungi. Pembukaan hutan Rawa Tripa telah memicu pelepasan karbon ke udara dan meningkatkan emisi gas rumah kaca yang memicu pemanasan global.

Penyusutan gambut akibat dari pengeringan rawa (drainase) yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit berdampak pada penurunan permukaan tanah sekitar 20 – 50 cm/tahun untuk tahun-tahun pertama pasca pengeringan (drainase). Sesudah 10 tahun, kecepatan penurunan ini dapat menurun hingga 2 – 5 cm/tahun. (Rieley and Page, 2005). Sehingga 20 tahun ke depan, gambut akan menyusut sedalam 1 meter atau lebih. Sehingga beberapa tahun ke depan diperkirakan sebagian daratan di Kabupaten Nagan Raya (Kecamatan Darul Makmur) dan Abdya (Kecamatan Babahrot) yang dalam dua tahun terakhir ini sering mengalami banjir akan berada di bawah permukaan laut. Dampak lainnya juga akan menghilangkan semua potensi pertanian dan perkebunan serta perikanan darat di areal ini, termasuk perkebunan kelapa sawit itu sendiri.

Ketika gelombang tsunami menerjang pesisir pantai barat Aceh, Rawa Tripa merupakan benteng alami yang mencegah kerusakan bagi wilayah Nagan Raya dan Abdya. Sehingga dibandingkan dengan daerah Aceh Barat, kedua daerah ini relatif sedikit kehancuran yang terjadi.

Penghancuran Tripa tidak hanya menghancurkan benteng tsunami yang dimiliki Aceh, tapi juga memberikan kehancuran jangka panjang yang sangat sulit untuk dipulihkan. Selain hutan yang hilang, keanekaragaman hayati pun musnah. Masyarakat setempat kehilangan pula sumber mata pencahariannya sebagai nelayan akibat musnahnya kehidupan ikan di rawa. Yang paling terasa kini adalah bencana banjir yang kerap melanda Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya selama beberapa tahun terakhir. Gambut yang kering tak mampu lagi menjadi spon penyerap air.

Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa yang terdiri dari berbagai NGO di Aceh seperti Walhi, Yayasan Leuser Internasional, Yayasan Ekosistem Lestari, Koalisi NGO HAM, LBH Banda Aceh, Transparacy International telah dua tahun bekerja untuk mendorong upaya penyelamatan Rawa Tripa sesegera mungkin. Koalisi ini mendesak Pemerintah Aceh meninjau kembali kebaradaan perkebunan sawit di Tripa dan meminta penghentian segera pembukaan lahan kelapa sawit oleh perusahaan-perusahaan yan ada di Tripa. Bagaimana pun, menyelamatkan Rawa Tripa harus segera dilakukan sebelum kita kehilangan Rawa Tripa dan keanekaragaman hayati untuk selamanya.

Yang Tua dan Tersingkir


Orangutan (Pongo pygmeus) ini ditemukan orang kampung tergeletak tak berdaya di sebuah kebun kemiri di Desa Rambah Sayang, Kecamatan Babul Rahmah, Kabupaten Aceh Tenggara pada 25 Juli 2009. Dia sakit, wajah tuanya seperti kena penyakit kulit. Sepertinya dia tersesat jauh dari hutan dan mencari makan hingga ke kebun. Oleh orang kampung, mamalia yang terancam punah ini dibawa ke rumah mereka. YLI lalu memfasilitasi penyerahan orangutan ini kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam setempat. Diperkirakan orangutan berkelamin jantan ini sudah berumur lebih dari 40 tahun. Kabar terakhir menyebutkan, si orangutan mati sebelum sempat dibawa ke pusat karantina.

Di Lembah Agusan


Namanya Agusan. Ada desa kecil di bawah lembah yang diapit bukit dan pegunungan yang memiliki pemandangan indah itu. Hamparan sawah membentang. Ada mesjid kecil di tengahnya. Rumah penduduk menumpuk di satu sisi lain. Sungai Agusan mengalir di sisi gunung, menjadi pembatas antara desa dan Taman Nasional Gunung Leuser.

Air Sungai Agusan berasal dari pertemuan sungai yang mengalir dari Gunung Leuser, Gayo Lues dan sungai dari Pucuk Mamas, Aceh Tenggara yang melingkar ke arah atas dan bertemu di Pantan Dedalu dekat Agusan. Sungai Agusan airnya mengalir jauh hingga ke Sungai Lawe Alas (Aceh Tenggara), Lawe Soraya (Subulussalam) dan berakhir di Muara Singkil. Masyarakat Agusan menggantungkan kebutuhan air bersihnya dari sungai baik untuk minum, mandi dan mencuci serta mengairi sawah dan kebun. Airnya dingin bagaikan es.

Jika kita melakukan perjalanan dari Kota Blangkejeren, ibu kota Kabupaten Gayo Lues ke arah Kutacane, ibu kota Aceh Tenggara, kita akan melewati Agusan. Jaraknya dari Blangkejeren sekitar 17 kilometer. Secara administrasi Agusan masuk dalam Kecamatan Blangkejeren. Desa Agusan persis berada diperbatasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan termasuk salah satu enclave yang ada di sana.

Desa Agusan terdiri dari 3 dusun yakni Dusun Leuser Indah, Dusun Rempelis Muda dan Dusun Pal 15. Ada 135 Kepala Keluarga tinggal di desa kecil ini, umumnya berasal dari Suku Gayo. Mereka bekerja sebagai petani nilam, cabe, kopi, coklat dan juga menanam padi di sawah.

Hutan TNGL berada di seberang sungai. Hutannya merupakan tipe hutan tropis dataran tinggi yang berada dalam gugusan pegunungan yang berlapis-lapis. Di tempat ini terdapat pos pemantauan milik Yayasan Leuser Internasional (YLI). Ada 1 unit kamp yang menjadi tempat tinggal staf lapangan dan para peneliti. Pos ini mulai diaktifkan pada 18 Agustus 2000. Sebelumnya tempat ini menjadi areal observasi orangután yang dilakukan oleh seorang peneliti Amerika yang bernama Elizabeth A. Fox.

Luas areal penelitiannya sekiatr 450 hektar. Lokasinya berbatasan dengan Sungai Agusan di sebelah utara, Burni Jamur Atu di sebelah selatan, Arul Jamur Atu di sebelah barat dan Arul Berawang Palung di sebelah timur. Ketinggian tempat berkisar 1050 - 1500 meter di atas permukaan laut. Udaranya sangat dingin apalagi di malam hari. Hujan mengguyur kawasan ini sepanjang tahun.

Karena berada di ketinggian, hutannya banyak ditumbuhi lumut. Kita juga bisa menemukan bermacam-macam anggrek dan paku-pakuan yang umumnya suka tumbuh pada tempat yang lembab. Selain terkenal sebagai habitat orangután, di kawasan ini sering ditemukan juga kedih (Presbytis thomasi), beruk (Macaca nemestriana), gibon (Hylobates lar), tupai terbang (Pteromyscus pulverulentus), kambing gunung (Capricornis sumatrensis) dan berbagai jenis burung.

Jika ingin ke pos pemantauan Agusan, pengunjung harus menyeberang sungai melalui jembatan berupa kabel baja. Jembatan yang sangat sederhana ini mengandalkan keseimbangan sehingga tidak begitu gampang dilalui bagi orang yang tidak terbiasa. Jembatan ini juga sering dipakai oleh penduduk desa yang hendak menuju kebunnya yang berada di seberang sungai. Kita mesti menyusuri jalan di sepanjang tebing sungai sejauh 4 kilometer untuk sampai ke pos Agusan. Bagi yang berminat untuk menginap sebaiknya menyediakan pakai dingin dan peralatan tidur yang memadai untuk melawan hawa dingin di malam hari.

YLI akan mengaktifkan kembali kegiatan penelitian di Pos Pemantauan Agusan. Bagi yang berminat dapat menghubungi kantor YLI di Kampus Unsyiah Banda Aceh dan Kampus USU di Medan.

Gumpang di Musim Padi





Padi di sawah mulai menguning. Bulir-bulirnya rapat dan semakin merunduk ke bawah. Petanda tak lama lagi panen besar akan tiba. Anak-anak usai pulang sekolah dengan suka cita berlarian ke tengah sawah. Berburu pipit untuk dipelihara dalam sangkar bambu buatan mereka.

Bagi penduduk Desa Gumpang, Kecamatan Putri Beutong, Kabupaten Gayo Lues, bertanam padi adalah mata pencaharian utama mereka sejak berpuluh tahun lampau. Desa ini dikenal sebagai sentra lumbung padi utama bagi daerah pedalaman Nanggroe Aceh Darussalam.

Desa ini terletak diperlintasan jalan Kutacane – Blangkejeren, berada dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Tanah desa yang subur, yang dikelilingi hutan lebat yang terlindungi dan dibelah oleh sungai Lawe Alas yang berair jernih, memberi anugrah tak terhingga bagi masyarakat selama bertahun-tahun.

Jasa-jasa ekologi hutan yang terpelihara di sekitar desa, menjamin penyediaan air dan kepastian musim untuk usaha pertanian mereka. Jika di belahan bumi lain, banyak orang mulai resah atas perubahan iklim dan ancaman kekeringan, namun masyarakat Gempang masih bertahan dengan pola tradisional mereka dalam bercocok tanam. Berkompromi dengan alam sekitar adalah jawaban untuk sebuah kearifan lokal yang berkembang secara turun temurun.

Burung pipit sudah mulai berdatangan. Petanda bulir padi tak lama lagi bisa dituai. Anak-anak Gumpang berlari ke sawah dengan suka cita. Sebentar lagi panen raya mencerahkan desa mereka.

SMS dari Chik Rini


Estimasi populasi dari tim monitoring Leuser:
Harimau sumatra: 200, mungkin 110.
Orangutan sumatra: 5.000
Gajah sumatera : 600
Badak : mungkin 6 ekor
Macan Tutul : Tidak diketahui
Sedangkan manusia berkekuatan lebih dari 5 milyar jiwa
Apa mau dikata?

(Cuplikan dari Buku Puisi : "Waktu Berpusar Daun Demi Daun tentang Leuser dan Suara-Suara Hutan", karya Debra H Yatim)

Sabtu, 28 November 2009

Namaku Husaini

Anak laki-laki ini bernama Husaini bin Muhammad Husein. Umurnya 14 tahun, kini duduk di bangku kelas 1 SMP Sibreh, Kabupaten Aceh Besar. Seperti kebanyakan anak lain dari keluarga kurang mampu, Husaini menjalani kehidupan yang keras. Selain bersekolah dan bermain, sekecil itu dia sudah harus menjalani tanggung jawab membantu mencari nafkah buat keluarganya.

Kedua orangtua Husaini, Muhammad Husein (70-an tahun) dan Hasmah (30-an tahun), bisa dikatakan tidak bisa memberikan penghidupan layak bagi ke lima anaknya. “Saya pasrah, saya tidak sanggup memberikan mereka lebih dari yang ada sekarang. Husaini dan adik-adiknya masih bisa sekolah itu sudah bagus. Untung ada orang yang mau kasih baju dan buku,” kata Husein sedih.

Husein sudah beberapa bulan ini sakit-sakitan. Disentri, malaria, dan bermacam penyakit orang uzur mulai menderanya. Tak banyak yang dia bisa lakukan sebagai kepala rumah tangga. Istrinyalah yang sekarang berperan untuk mencari nafkah keluarga itu. Hasmah saban hari mencari daun pisang dan sayur mayur di kebun orang kampung, lalu dia menjualnya di pasar Lambaro.

Hasilnya cuma bisa menghidupkan asap dapur mereka paling banyak dua kali sehari. “Mamak jarang masak karena pagi-pagi sudah ke pasar. Kami sering nggak makan karena mamak tidak tahu mau masak apa untuk makan kami,” cerita Husaini saat kami mengunjunginya di rumah di penghujung September kemarin.

Keluarga ini menjalani kehidupan yang lumayan sedih. Tadinya Husein dan keluarganya tinggal di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Dia pernah bekerja sebagai tukang bangunan dan penarik becak. Setelah gubuk mereka turut musnah dalam musibah kebakaran di pasar Meulaboh beberapa tahun lalu, Husein membawa pindah istri dan 5 anaknya yang masih kecil-kecil pulang ke kampung asalnya di Desa Tumboh Baro, Kecamatan Kuta Malaka, Samahani Aceh Besar.

Di kampung yang berjarak sekitar 25 kilometer dari Banda Aceh itu, Husein membangun rumah sederhana di atas tanah pinjaman orang yang kasihan padanya. Selain berumah di disitu, Husaini memanfaatkan lahan yang ada untuk menanam sayur dan cabe.

“Kami mau pelihara ayam. Tapi mamak belum membeli ayamnya,” kata Husaini.

Rumah keluarga ini cuma berupa gubuk kecil berukuran 5 x 6 meter. Atap rumbianya sebagian masih terbuka menantang langit. Kalau hujan bocor di sana sini. Lantainya cuma tanah Tak ada jam dan kalander penunjuk waktu di dinding papan rumah itu. Pergantian waktu hanya mereka tandai dari sinar matahari dan suara azan di mesjid.

Di dalam rumah hanya ada 3 kursi tua, lemari pakaian sederhana dan bale-bale. Husein membuat sendiri bale-bale kayu dimana dia dan anak istrinya sering pakai untuk duduk dan tidur. Di atas bale-bale penuh dengan tumpukan baju dan seonggok kasur robek. Juga berserak buku pelajaran dan tas sekolah. Kalau malam tiba penerang rumah itu cuma berasal dari dua buah lampu sentir kecil. Di pojok ruang ada rak piring tua dengan berapa piring dan kuali masak penuh jelaga.

Semua aktifitas keluarga dilakukan di situ. Tidur, makan, dan memasak. Hasmah hanya bisa memasak makanan ala kadarnya buat anak-anaknya. Jangankan daging, ikan saja sudah menjadi menu mewah untuk keluarga ini. “Kalau pulang dari pasar mamak suka membawa tempe, sayur. Kadang ada juga teri,” kata Husaini.

Husaini mengaku dia jarang makan. “Kami makan bukan untuk kenyang, hanya sekedar mengisi perut saja.”

Husaini sering ke sekolah dengan perut kosong. Dia tidak berpikir untuk makan teratur, karena di rumahnya makanan juga kurang. Itu pun harus saling berbagi dengan keempat adik perempuannya, ayah dan mamaknya. Akibatnya Husaini sering sakit maag.
Untuk mencapai sekolahnya, Husaini harus berjalan kaki dari rumahnya sejauh 800 meter untuk sampai ke jalan raya. Lalu dia menyambung naik labi-labi ke Sibreh. Dalam sehari Husaini butuh uang Rp 2 ribu untuk ongkos pulang pergi. Kalau beruntung ada uang lebih dari mamaknya, dia bisa membeli kue di sekolah dengan uang Rp 1000. Tapi Husaini tak mau menyusahkan mamaknya yang berpenghasilan pas-pasan. Pulang sekolah anak ini memilih bekerja agar dia bisa mendapatkan uang untuk ongkos ke sekolah esoknya. Kerjanya memotong rumput, atau membantu memetik sayur di kebun orang.

Di sekolah Husaini memang tidak begitu menonjol prestasi belajarnya. Tetapi semangatnya untuk terus bersekolah lumayan tinggi, meski dia harus bekerja untuk mendapatkan uang untuk ongkos ke sekolah. Gurunya mahfum dengan kondisi ekonomi keluarga Husaini yang pas-pasan. Belajar dengan perut kosong dan beban kehidupan yang menumpuk sering mengganggu konsentrasi belajarnya.

Menurut gurunya, anak ini punya kebiasaan mengantuk-antukkan kepalanya ke meja. Apalagi kalau sudah menghadapi pelajaran yang rumit. “Aku pusing kalau sudah belajar bahasa Inggris. Sulit sekali dimengerti,” katanya.

Harusnya saat ini Husaini sudah duduk di kelas 2 SMP. Dia sempat tidak melanjutkan sekolahnya selama setahun, ketika tamat dari SD Samahani. “Waktu itu aku pikir tidak ada biaya untuk adik. Biarlah dia yang sekolah dulu, aku menganggur setahun,” kisahnya.

Selama menganggur itulah Husaini bekerja penuh waktu. Dia ikut seorang kenalannya bekerja sebagai tukang bangunan di Banda Aceh. Kerjanya mengaduk semen. Dapat upah Rp 30 ribu per hari. Uangnya diberikan pada mamaknya untuk makan dan membiayai sekolah Adil Fitri adik perempuan di bawahnya.

Di lain waktu, ketika ada panen padi di kampungnya, Husaini membantu tetangganya ikut merontokkan padi. Selain dapat uang, dia bisa membawa pulang sisa-sisa padi yang terbuang waktu perontokkan di sawah.

“Bagi aku, yang penting adik-adik harus sekolah, pandai mengaji. Tidak boleh ada yang menganggur seperti aku,” ucapnya. Selain Aidil Fitri yang sudah SMP, dua adik Husaini yang lain saat ini masih dibangku SD, tinggal si bungsu Asmaul Husnah yang belum sekolah karena masih berumur 3 tahun.

Setelah setahun tak sekolah, Husaini memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di SMP. Tapi dia memilih tidak bersekolah di SMP yang sama dengan Aidil Fitri. Padahal jaraknya cuma 200 meter dari rumahnya.

“Dia malu karena adiknya si Aidil Fitri kelasnya sudah di atasnya. Jadi dia pilih SMP di Sibreh,” timpal sang ayah.

Selama ini Husaini sangat terbantu dengan perhatian guru di sekolahnya. Selain dikasih baju, dia juga dikasih buku pelajaran dan buku tulis. Pernah pula sekali mendapatkan beasiswa. Husaini sebenarnya sangat berharap dia dan adik-adiknya mendapatkan bantuan beasiswa secara rutin. Sayangnya kebanyakan program beasiswa yang ada saat ini di Aceh lebih banyak diperuntukkan untuk anak-anak korban tsunami dan anak korban konflik. Husaini dan adik-adiknya bukan korban tsunami dan bukan korban konflik. Tapi kondisi kehidupan keluarga mereka yang serba kekurangan membuat mereka kesulitan untuk bersekolah dengan baik.

Di masa serba sulit saat ini, Husein dan Hasmah mencoba bertahan agar bisa terus menyekolahkan anak-anak mereka. Ada saja yang memberikan bantuan. Baju sekolah bekas, buku pelajaran, tas sekolah, semua mereka dapatkan dari sumbangan orang sekitar mereka yang prihatin dengan keadaan keluarga ini.

Ramadhan kali ini Husaini rajin mengikuti kegiatan pesantren kilat di sekolahnya. Anak ini juga masih tetap terus bekerja di sore hari. Juga membantu ayahnya menyiram sayur di kebun mereka. Jika malam tiba, Husaini dan adik-adiknya pergi ke mesjid untuk belajar mengaji.

Sekolah, bermain dan bekerja. Itu ritual hidup Husaini. Dia mulai sadar akan tanggung jawabnya sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, dimana kelak keluarganya akan menggantungkan pengharapan padanya. Kalau ditanya apa cita-citanya, Husaini suka lupa. “Mamak ada bilang, kalau saya besar saya harus jadi itu tuh. Tapi saya lupa apa namanya,”katanya bingung.

Semoga saja Husaini dan adik-adiknya bisa terus bersekolah ke jenjang yang lebih tinggi dan menggapai cita-cita mereka menjadi salah satu generasi muda Aceh yang sukses, yang mampu mengangkat derajat keluarga, dan mampu berbuat untuk orang-orang sekelilingnya. (selesai)


Husaini dan keluarganya

King Never Land


Pukul 4 sore lewat beberapa menit. Gerimis belum berhenti sejak tengah hari. Lima orang baru saja turun dari perbukitan di ujung kampung Jambo Papeun. Desa ini diapit deretan perbukitan di Kecamatan Meukek, berjarak sekitar 30 kilometer dari kota Tapaktuan, Ibu Kota Kabupaten Aceh Selatan. Wilayahnya subur dan banyak kebun pala dan durian.

Orang-orang yang pulang dari kebun di gunung mulai nampak berdatangan menyusuri jalan setapak, jalan satu-satunya yang menghubungkan desa dengan gunung. Tampak pasangan suami istri, iikut beberapa pemuda dan orang tua. Kebanyakan berkelompok. Tapi ada juga yang sendiri jika kebunnya tak jauh. Mereka telah berjalan sejauh 2 hingga 4 kilometer dari kebunnya menuju pinggiran desa memanggul keranjang dari anyaman rotan. Isinya kebanyakan kopi dan pala. Tapi ada pula yang membawa karung berisi daun nilam dan cabai. Ritual kerja hari ini selesai.

Ada maklumat dari Keuchik Desa Jambo Papeun agar warga sudah harus kembali dari kebun sebelum hari gelap. Dan para peladang dianjurkan tidak sendirian ke kebun. Seminggu terakhir harimau mulai terlihat berkeliaran di sekitar kampung mereka dan telah berani turun ke kampung pada malam hari, mencuri 2 ekor kambing dari kandang milik warga.

Musyawarah desa sempat dilakukan. Mereka mulai mewaspadai tanda-tanda tak bagus dari si raja hutan. Maka diumumkan kepada seluruh warga untuk membersihkan semak di sekitar rumah, menghidupkan lampu di bagian depan dan belakang rumah supaya terang di malam hari, tidak melepaskan ternak jauh dari kampung dan bagi warga yang pergi ke kebun harus membawa teman untuk keamanan. Jika perkembangannya memburuk, baru mereka akan minta bantuan aparat terkait untuk mengusir atau menangkap harimau yang mendekati kampung.

Tapi harimau baru akan ditangkap jika sudah membahayakan warga. Seperti yang terjadi sepanjang tahun 2007 di Kecamatan Meukek. 3 warga dari Desa Alue Baroh, Desa Bukit Mas, dan Desa Drien Jalo berturut-turut diterkam harimau hinggá tewas saat bekerja di kebun pala milik mereka. Peristiwa merembet ke Desa Jambo Papeun, seekor harimau menerkam Samsuni (48 tahun) di kebun pala berjarak 2 kilometer dari desa. Syukur Samsuni berhasil diselamatkan sang istri yang dengan berani menarik suaminya dari mulut harimau. Samsuni terluka berat namun nyawanya berhasil diselamatkan.

Masyarakat menangkap harimau karena terpaksa karena sudah memakan korban jiwa dan ternak yang tak terhingga. Mereka yakin harimau yang telah memakan manusia tidak akan diterima lagi di hutan dan akan mudah ditangkap. Dari deretan peristiwa mengerikan itu, warga Meukek menangkap 4 ekor harimau di sekitaran hutan Desa Bukit Mas dan Desa Jambo Papeun dengan kandang perangkap. Mereka mendatang pawang harimau dari Desa Peulumat Kecamatan Labuhan Haji yang konon bisa memanggil harimau yang telah memakan manusia. Ketiga harimau diserahkan ke BKSDA di Banda Aceh dan kini telah direlokasi ke hutan Lampung. Sementara seekor lagi mati di kandang milik sebuah batalyon tentara di Aceh Selatan karena sakit, setelah sempat dipelihara beberapa saat.


Warga meyakini jika harimau marah, pasti ada manusia yang berbuat salah. Namun menurut penjelasan M. Nasir, ketua Seunebok (yang mengatur soal perkebunan) Desa Jambo Papeun, ulah harimau akhir-akhir ini tidak lumrah.

”Dulu tidak seperti ini karena harimau akan memberi tanda jika mereka marah. Pasti kita akan menemukan tanda di kebun berupa kaisan tanda silang di tanah atau di batang pohon atau mendengar auman harimau. Itu pasti ada orang berbuat salah. Mencuri di kebun,” katanya.

Aceh Selatan merupakan habitat utama harimau sumatera di dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Daerah teritorial utamanya terletak di sepanjang pegunungan yang membentang mulai dari Kecamatan Labuhan Haji Barat sampai Trumon Timur. Sebenarnya konflik manusia - harimau di kawasan ini terjadi sejak tahun 1980-an terutama di Kecamatan Labuhan Haji, Meukek, Sawang dan Samadua. Sebelum tahun 2000 hanya terjadi beberapa kasus kecil yakni kasus harimau turun ke sekitar perkampungan dan memangsa ternak. Sedangkan kasus harimau memangsa manusia terjadi 3 – 4 tahun sekali.

Konflik manusia dan harimau intensitasnya meningkat di tahun 2006 dan mencapai puncak di Aceh Selatan pada tahun 2007 karena berturut-turut 6 warga tewas dan 2 kritis karena diterkam harimau. Peristiwa penyerangan harimau umumnya terjadi di ladang/kebun masyarakat yang terletak di kawasan perbukitan yang tidak jauh dari perkampungan. Sebagian besar harimau

Selama itu pula tercatat sudah 19 ekor harimau tertangkap baik disengaja maupun karena kena jerat babi, racun dan ditembak. Di Jambo Papeun dan Desa Bukit Mas yang berdekatan, warga menangkap 4 ekor harimau yang mereka yakini telah memakan warga. Harimau yang ditangkap diserahkan ke BKSDA. Ada 8 ekor dari Aceh Selatan. Sebagian dipindahkan ke hutan Lampung serta dilepasliarkan kembali ke hutan Aceh. 11 ekor harus mati karena luka jeratan, diracun dan ditembak.

Sebagian besar harimau mati kena jeratan tak sengaja di kebun. Penduduk memasang jerat untuk babi untuk menghalangi babi masuk ke kebun. Namun itu berakibat fatal karena seringnya harimau mengejar babi yang menjadi hewan mangsanya. Kurangnya sosialisasi kepada warga tentang cara penggunaan jerat satwa dan jenis jerat yang boleh dipergunakan serta tidak adanya aturan pelarangan, menyebabkan ancaman terhadap kelangsungan hidup harimau.


Koordinator Tim Survey Harimau Yayasan Leuser Internasional (YLI), Tarmizi, menjelaskan mereka banyak menemukan jejak harimau di sekitaran kebun dekat desa semasa survey yang mereka lakukan sejak 2007 – 2009 untuk mendata penyebaran harimau sumatera di Kawasan Ekosistem Leuser.

Menurut hasil survey, hutan Leuser masih menjadi habitat terbaik untuk perkembangan harimau sumatera. Selain hutannya masih luas, satwa mangsa yang menjadi makanan harimau masih banyak dijumpai antara lain babi, rusa, kijang, dan kambing hutan.

Namun demikian akibat terjadinya pengurangan luasan hutan, harimau menjadi terusik. Habitat mereka terfragmentasi dan mengganggu wilayah jelajahnya. Harimau jantan dewasa mempunyai wilayah teritorial mencapai 350 kilometer persegi. Gangguan habitat menjadikan wilayah jelajah harimau menyempit dan terjadinya perebutan wilayah kekuasaan sesama harimau jantan.

Degradasi atau pengurangan luasan hutan yang menjadi habitat utama harimau menjadi salah satu faktor utama mengapa satwa ini turun ke sekitar kebun dan pemukiman masyarakat. Berdasarkan data temuan tim pemantau YLI setiap tahun terjadi peningkatan jumlah kasus illegal logging dan konversi hutan menjadi perkebunan dan ladang pada daerah rawan konflik harimau yaitu di Labuhan Haji, Meukek, Sawang, Samadua, Bakongan, Kluet Timur dan Trumon.

Kerusakan hutan berkorelasi dengan berkurangnya satwa mangsa, seperti rusa, kijang dan babi hutan. Hal itu diperparah dengan perburuan rusa dan kijang oleh masyarakat. Ketika satwa mangsa sulit diperoleh di dalam hutan maka harimau akan mengembara ke pinggir hutan yang berbatasan dengan perkampungan untuk mencari mangsa yang mudah didapat.

Di kawasan hutan yang berbatasan dengan perkampungan terdapat banyak ternak. Awalnya harimau mencoba untuk berburu ternak tersebut. Selanjutnya harimau menjadi terbiasa dan ketagihan berburu hewan ternak karena diperoleh dengan cara yang mudah, sehingga eskalasi konflik pun meningkat. Untuk daerah yang rawan gangguan harimau, masyarakat sangat disarankan untuk mengandangkan ternaknya agar harimau tidak terpancing datang mendekati desa.

Perburuan dan Perdagangan

Perburuan dan perdagangan harimau juga sangat mempengaruhi terjadinya konflik manusia – harimau. Jika seekor harimau mati, ditangkap atau dipindah ke tempat lain maka di lokasi habitat tersebut yang menjadi daerah kekuasaan (teritory) harimau yang mati atau dipindah tersebut dengan segera akan ditempati oleh harimau lainnya. Tidak akan ada kawasan hutan yang dibiarkan kosong untuk menjadi daerah kekuasaan harimau, kecuali jika seluruh populasi harimau di kawasan hutan tersebut tersingkir/punah secara total. Jika terjadi kasus seperti tersebut kemungkinan konflik lebih besar akan terjadi jika harimau yang masuk/pengganti adalah harimau bermasalah yang sudah pernah memangsa hewan ternak atau manusia.

Dalam beberapa tahun terakhir ini di wilayah selatan dan barat Kawasan Ekosistem Leuser terindikasi adanya perburuan dan perdagangan harimau, namun jejak para pelaku tidak dapat terendus dan barang bukti sulit ditemukan karena jaringan yang dibentuk sangat rapi dan rahasiaHarimau diburu dan diperdagangkan tidak saja untuk dipelihara, tapi juga untuk diambil organ tubuhnya seperti taring, cakar, kulit, kumis dan tulang. Pemeliharaan harimau terutama anaknya juga mempengaruhi terjadinya konflik manusia – harimau, karena induknya akan berusaha mencari anaknya yang hilang/diambil manusia.






Subspesies Harimau Terakhir di Indonesia

Harimau sumatera merupakan satu-satunya sub-spesies harimau yang masih tersisa di Indonesia. Harimau bali (Panthera tigris balica) dinyatakan punah pada 27 september 1937 setelah terbunuhnya seekor harimau betina dewasa di Sumbar Kima, Bali Barat. Harimau jawa (Panthera tigris sondaica) menyusul hilang sejak 1980-an. Oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN), harimau sumatera ini masuk dalam daftar terancam kritis. Populasinya di alam liar di perkirakan tinggal 400-500 ekor tersebar sebagian besar hutan Sumatera. Hutan Ekosistem Leuser bersama Taman Nasional Kerinci Seblat saat ini merupakan habitat utama harimau sumatera yang tersisa. Populasi harimau lainnya tersisa di hutan-hutan lainnya yang terfragmentasi.

Kita semua patut memberikan dukungan bagi upaya penyelamatan harimau. Adalah sebuah kerugian tak terhingga bagi keanekaragaman hayati Aceh, Indonesia dan dunia kita jika suatu saat nanti harimau sumatera tidak mampu bertahan hidup dan punah dari muka bumi.

Menyelamatkan Benteng Terakhir Hutan Sumatera



Kami baru memasuki jalan tak rata dengan tanah potsolik merah sejauh 7 kilometer. Ini jalan yang direncanakan akan dibangun pemerintah dari Desa Jambi Baru (Gelombang) di Kotamadya Subulussalam menembus Desa Muara Situlen di Aceh Tenggara. Di sisi kanan jalan kami menemukan tumpukan kayu yang baru dibelah dengan ukuran diameter bervariasi.

”Meranti,” kata Rusli, staf Mobile Patrol Unit Yayasan Leuser Interanasional (YLI) yang turun memeriksa jenis kayu. Rusli bertugas memantau semua kegiatan illegal kehutanan di wilayah Subulussalam dan memberikan laporan itu kepada lembaganya untuk diteruskan kepada aparat berwenang. Dia menghitung jumlahnya dengan mengkoversinya ke ton. Lantas mengambil titik koordinat melalui GPS (Geografic Position Satelite) dan mencatatnya. Bersama rekan-rekan aktivis lingkungan lainnya dari Conservation International dan Gerakan Penyelamatan Kawasan Ekosistem Leuser (GPKEL) yang ikut hari itu, mereka melanjutkan pemeriksaan ke dalam rimbunan hutan.

Ada tumbangan pohon besar di bawah bukit. Pohon dengan diameter 2 meter itu ternyata belum selesai dibelah-belah. Yang ditumpuk di pinggir jalan baru sebagian kecil. Tapi tak terlihat siapa yang menebangnya. Tapi suara cinsaw, gergaji mesin pemotong kayu jelas terdengar namun tak tahu di mana lokasinya. Ketika kami senyap, dentuman suara pohon jatuh terdengar dari jauh. Satu pohon lagi telah berhasilkan ditumbang.

Hari itu, sepanjang pembukaan jalan Gelombang yang kami lalui hampir 17 kilometer, kami menemukan 5 titik kegiatan illegal logging dengan temuan jumlah kayu yang dihitung Rusli mencapai 25 ton. Para penebang liar mencuri kayu damar dan meranti, yang harganya sangat mahal. Itu belum termasuk dengan pohon-pohon yang masih terus ditebangi karena suara cinsaw masih terdengar di mana-mana berlomba dengan suara siamang, burung rangkong dan murai batu yang bersahut-sahutan.

Damar dan meranti merupakan primadona kayu hutan tropis di daerah ini. Jalan yang dibangun pemerintah adalah bekas laluan pengangkutan kayu di dalam hutan. Dulu kawasan ini merupakan areal Hak Pengusaha Hutan (HPH) PT. Hargas dan PT. Asdal. Kegiatan mereka terhenti sejak tahun 2000 karena keamanan yang tidak kondusif dan disusul dengan penghentian sementara kegiatan HPH oleh Pemerintah Daerah. Tapi kawasan hutan di situ sudah terlanjut hancur. Sebagian besar pohon bernilai ekonomi tinggi seperti damar, meranti, kayu kapur sudah diambil. Sampai kini pun perusahaan tidak pernah melaksanakan kewajibannya merehabilitasi kawasan konsesinya. Kawasan itu dibiarkan menjadi semak dan hutan muda.

Orang-orang yang mencuri kayu saat ini mengambil pohon-pohon sisa yang jumlahnya sebenarnya jika dipertahankan masih cukup untuk merestorasi kawasan itu kembali menjadi hutan. Namun illegal logging makin memperparah kahancuran kawasan ini terutama sejak Aceh memasuki tahap rekontruksi setelah terjadinya bencana tsunami di penghujung 2004. Permintaan kayu meningkat tajam sejak saat itu.

Bencana tsunami di Aceh telah menghancurkan sebagian besar bangunan dan infrastruktur. Untuk membangun kembali 120 ribu rumah milik warga, diperkirakan membutuhkan 1,4 juta meter kubik kayu olahan. Sebagian besar kebutuhan material berasal dari hutan Aceh dan sebagian lagi didatangkan dari luar Aceh. Termasuk adanya donasi kayu dari luar negeri yang diinisiasi WWF, Conservation International dan sejumlah NGO internasional.

Kawasan hutan di Kotamadya Subulussalam tercatat yang paling cepat mengalami deforestasi setelah Kabupaten Pidie selama rekontruksi Aceh. Kayu-kayu yang diambil secara illegal di hutan dimanfaatkan sebagian untuk kebutuhan pembangunan di Aceh dan sebagian lagi dibawa ke Sumatera Utara. Daerah ini berada sisi selatan Aceh berbatasan dengan Kabupaten Pakpak Barat di Sumatera Utara.

Kehilangan tutupan hutan di Subulussalam bukan hanya terjadi karena illegal logging tapi juga karena perambahan kawasan hutan untuk perkebunan masyarakat dan juga pembukaan perkebunan skala besar. Kelapa sawit menjadi primadona daerah ini. Beberapa perusahaan yang tadinya merupakan HPH untuk kayu, melanjutkan konsesi mereka menjadi Hak Guna Usaha (HGU) kelapa sawit. Sebut saja PT Asdal yang wilayahnya berada di jalan yang kami masuki itu.

Laju pengurangan tutupan hutan di Subulussalam mencapai 12.753,2 hektar selama kurun 2006-2009. Ini yang tertinggi untuk Kawasan Ekosistem Leuser yang mencakup 13 kabupaten/kota di NAD. Selama kurun itu pula Aceh secara total kehilangan 88 ribu hektar hutannya. Kabupaten Pidie (termasuk Pidie Jaya) tercatat yang paling tinggi untuk seluruh Aceh.

Perubahan fungsi kawasan hutan di Subulussalam juga diperparah dengan pembukaan jalan dalam kawasan hutan. Dalam perencanaannya jalan Gelombang menuju Muara Situlen akan dibangun 56,4 kilometer. 80 persen lintasan akan melalui rimba yang masih alami, termasuk Taman Nasional Gunung Leuser bagian Selatan.

Menurut analisa lingkungan yang pernah dibuat oleh YLI terhadap rencana pembangunan di Leuser, jalan Gelombang – Muara Situlen ini akan memblokir Taman Nasional Gunung Leuser, memotong daerah-daerah sebaran keanekaragaman hayati yang tinggi di mana menjadi lintasan gajah dan harimau. Pembukaan jalan akan menyebabkan hutan terfragmentasi dan dapat memicu konflik satwa dan manusia. Di ujung jalan terakhir yang kami lalui (500 meter menjelang sungai Lawe Soraya), kami menemukan banyak jejak gajah baru. Jumlahnya sekitar 10 ekor. Sepertinya baru semalam mereka lewat daerah ini. Jika jalan ini dibuka menembus kawasan hutan yang masih alami di depannya, maka bisa kita bayangka bagaimana wilayah jelajah gajah akan terganggu dan semakin mempertinggi resiko konflik dengan satwa yang ada karena satwa akan turun ke pemukiman.

Pembangunan jalan juga akan menghancurkan daerah tangkapan air, dan meningkatkan ancaman bencana banjir dan tanah longsor karena melintasi wilayah dengan kemiringan lebih dari 40 persen. Daerah ini menjadi daerah tangkapan air utama utama sungai Lawe Soraya yang menghubungkan Lawe Alas dari puncuk Gunung Leuser di Gayo Lues, melintasi Aceh Tenggara, Subulussalam hingga ke Mauara Singkil. Degradasi hutan yang terjadi mengakitbakan banjir tahunan di Subulussalam dan Singkil. Dan yang waktunya sudah tak dapat diprediksi lagi.

Pemerintah sendiri telah mengajukan rencana pembangunan 8 ruas jalan di seluruh Kawasan Ekosistem Leuser. Prof Zainal Abidin Pian, pengamat tata ruang sekaligus dosen Universitas Syiah Kuala mengatakan, jika jalan jadi dibangun, maka hutan Leuser akan terfragmentasi menjadi 13 bagian, menhancurkan wilayah jelajah satwa langsa seperti harimau, gajah dan orangutan.

Menurut hasil penelitian Greenomics pembangunan jalan akan mempengaruhi tutupan hutan dan hutan akan terfragmentasi. Angka kerusakan hutan yang terstimulus oleh adanya jalan di dalam kawasan hutan berkisar 400 – 2400 hektar per kilometer jalan. Kita membayangkan dia berefek seperti jaringa laba-laba. Karena ketika jalan dibuka, maka terbukalah kesempatan manusia untuk masuk ke dalamnya.

Pemerintah harus arif melihat kebutuhan pembangunan jalan di Aceh dan memperhatikan semua aspek lingkungan yang terkait di dalamnya. Pembangunan yang ramah lingkungan dengan memperhatikan rencana desain yang tidak merusak lingkungan dan mengetatkan pengamanan hutan harus dilakukan meski itu dengan biaya sangat mahal.

Hutan Aceh masih merupakan yang terbaik untuk seluruh Sumatera. Bahkan untuk Asia Tenggara, ini merupakan satu-satunya kawasan hutan yang terdiri dari dua blok yang tak terputus yakni antara blok hutan Leuser dan blok hutan Ulu Masen. Luasnya mencapai 3,3 juta hektar. Kawasan ini juga merupakan hutan yang sangat unik di dunia karena di sini masih hidup 5 mamalia besar yang masuk dalam daftar terancam punah yakni Harimau Sumatera, Badan Sumatera, Orangutan Sumatera, Gajah Sumatera dan Beruang Madu. Selain itu juga menyimpan 4500 spesies flora dan fauna Indo Malaya yang sebagian sudah sangat langka.

Spot keanekaragaman hayati di kawasan ini berada di hutan dataran rendah di bagian barat selatan dan timur utara dengan ketinggian antara 0 – 700 meter di atas permukaan laut. Namun saat ini justru bagian dataran rendah yang mengalami laju kehancuran cukup parah karena konsentrasi aktivitas manusia berada di sana. Akibatnya spesies hewan di kawasan ini terdesak dan terkurung dalam fragmentasi. Tekanan mengakibatkan beberapa satwa berkonflik dengan manusia seperti gajah, harimau, buaya dan orangutan dan telah menelan banyak kerugian baik harta maupun jiwa.

Salah satu penyebab utama berkurangnya luasan hutan Aceh adalah konversi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit. Utama terjadi di sebagian besar kawasan hutan rawa gambut di Leuser yakni Rawa Singkil dan Rawa Tripa. Saat ini tercatat ada 89 ribu hektar kebun sawit milik petani, 39 ribu hektar milik perusahaan negara dan 132 ribu hektar milik perusahaan swasta. Perluasan perkebunan sawit yang tidak berkelanjutan dapat mengancam keberlangsungan kawasan hutan di daerah dataran rendah.

Selama masa rekontruksi Aceh upaya-upaya untuk mengetatkan pengamanan hutan Aceh dilakukan. Setahunan setelah terpilih menjadi Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf mengumumkan pemberlakukan jeda tebang (moratorium logging) pada Juni 2007. Ini merupakan langkah awal untuk komitmennya membangun ekonomi Aceh dengan Visi Hijau. Visi Aceh Hijau (Aceh Green Vission) merupakan sebuah konsep pembangunan ekonomi Aceh yang berkelanjutan. Ini strategi pemerintah untuk membangun kembali Aceh pasca bencana tsunami dan pasca meredanya konflik bersenjata yang mendera Aceh selama 3 dekade.

Moratorium logging memberi kesempatan kepada Pemerintah Aceh untuk merevisi status kawasan hutan yang ada seperti tutupan hutan, konsesi dan kepastian produksi hutan yang berkelanjutan. Lantas pemerintah melakukan redesian dan rencana strategis pengelolaan hutan Aceh. Dalam rangka pengamanan hutan Pemerintah Aceh juga telah merekrut 2000 anggota pengamanan hutan kontrak yang sebagian besar dari mantan kombatan.

Upaya pemerintah juga dibarengi dengan komitmen negara-negara donor yang terlibat dalam rekontruksi Aceh untuk mengurangi dampak negatif kegiatan mereka terhadap hutan dan lingkungan Aceh. Beberapa proyek lingkungan dilakukan seperti Proyek Hutan dan Lingkungan Aceh (Aceh Forest and Environment Project) yang didanai oleh Multi Donor Fund, Proyek Perlindungan Daerah Aliran Sungai (Watershed Management) yang didanai oleh New Zealand Aid, Program Pengelolaan DAS didanai oleh USAID-ESP, dan berbagai kegiatan lainnya. Program-program ini memberikan dukungan pada perlindungan hutan, peningkatan kapasitas tenaga pengamanan hutan serta mengembangkan kegiatan masyarakat yang tinggal di pinggiran hutan seperti rehabilitasi dan mata pencaharian.

Hutan Aceh menjadi isu penting dalam upaya dunia mengurangi emisi karbon dioksida dalam rangka mengatasi perubahan iklim. Gubernur Irwandi Yusuf gencar melakukan lobi ke luar negeri dan menunjukkan komitmennya dalam upaya menyelamatkan hutan Aceh. Aceh sedang mengupayakan sebuah negosiasi di tingkat internasional untuk upaya mendapatkan kredit karbon atas hutannya. Salah satu inisiasi perdagangan karbon yang memperlihatkan kemajuan adalah untuk blok hutan Ulu Masen dimana beberapa pembeli menyatakan minatnya untuk membiayai pelindungan kawasan hutan ini.

Pelibatan masyarakat lokal adalah kunci dalam upaya perlindungan hutan ke depan. Kredit karbon adalah salah satu bentuk intensif jasa lingkungan yang harusnya jatuh secara langsung kepada masyarakat pinggiran hutan sebagai bentuk kompensasi bagi mereka dalam menjaga hutannya. Masyarakat harus digiring dalam mengembangkan matapencaharian berkelanjutan tanpa harus tergantung pada kayu di hutan. Misalnya dengan memanfaatkan hasil hutan non kayu seperti madu, rotan, getah damar, jernang dan sebagainya.

Selain itu pemerintah daerah juga harus merencanakan pembangunan berkelanjutan yang memasukan kepentingan lingkungan dalam perencanaan pembangunan. Pembangunan harus mengikuti arahan dalam Rencana Tata Ruang Provinsi dan Kabupaten yang telah disepakati yang mengatur batas kawasan hutan, budidaya dan pemukiman. Selain itu penindakan hukum (lawinforcement) harus ditingkatkan dalam upaya memberi efek jera kepada semua pelaku pengrusakan hutan tanpa pandang bulu. (selesai)