Selasa, 01 Desember 2009
Relokasi Harimau Kurang Tepat untuk Konservasi (Oleh : GV Reddy)
Pasca relokasi 5 harimau asal hutan Aceh ke Taman Nasional Bukit Barisan Selatan di Lampung, berita masih bermunculan di media massa. “Rakyat Aceh menuntut 5 ekor harimau kembali ke hutan Aceh”, di sisi yang lain “pelepasan harimau memaksa warga lokal untuk pindah ke tempat lain” (Jakarta Post 24-07-08). Relokasi harimau menimbulkan perdebatan luas dan antusiasme, apakah tindakan ini merupakan solusi yang baik untuk konservasi Harimau Sumatera yang kini terancam punah?
Pada tanggal 27 Juni 2008, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi NAD memindahkan 5 ekor Harimau Sumatera dari Aceh ke Lampung Barat untuk dilepas di kawasan hutan taman nasional. Kelima ekor harimau ini adalah hasil tangkapan warga di Aceh Selatan September – Oktober 2007, setelah masyarakat resah pasca tewasnya sejumlah warga akibat diterkam harimau.
Harimau ini ditangkap dengan maksud mengurangi konflik satwa-manusia. Sejak dibawa ke Banda Aceh, harimau ini dikurung di dalam kandang berukuran kecil di kantor BKSDA. Dua ekor harimau diantaranya mati di dalam kurungan pada bulan November 2007 yang lalu. Seekor harimau telah dilepas di kawasan hutan Ulu Masen di Aceh. Sekarang ada tekanan dari berbagai pihak masyarakat Aceh, termasuk Gubernur Irwandi Yusuf, agar harimau yang telah dipindahkan ke Lampung dikembalikan ke Aceh.
Maka pada saat ini, sangat penting bagi kita untuk memahami sosio-biologi harimau ini, yakni biologi individu harimau dan interaksi sosial antara satu harimau dengan harimau lainnya serta mengenai habitat harimau pada umumnya. Harimau adalah satwa liar berbadan besar yang garang dan suka menyendiri (soliter). Harimau biasanya sangat pemalu dan menghindari manusia. Harimau pada umumnya hanya menyerang jika dihampiri dari jarak dekat, atau secara tiba-tiba.
Studi ilmiah selama 20-30 tahun akhir ini membuktikan bahwa dalam keadaan normal habitat harimau betina dalam hutan hujan tropis adalah seluas 10-20 kilometer persegi. Luas ini dapat bervariasi tergantung pada mangsa harimau yang tersedia. Di kawasan padang pasir yang dingin dengan jumlah mangsa sangat sedikit, luas kawasan habitat harimau betina dapat mencapai 300 kilometer per segi. Harimau jantan mempunyai kawasan habitat yang lebih luas, rata-rata luasnya mencakup 4-5 kali kawasan harimau betina (100-150 km persegi). Namun ada sebagian harimau jantan yang tidak memiliki kawasan habitat yang tetap. Harimau tersebut disebut harimau jantan pengembara (transient male).
Harimau jantan dan harimau betina hanya berinteraksi untuk reproduksi. Harimau betina bertanggung jawab membesarkan anak-anaknya. Harimau betina membesarkan anaknya sampai mencapai usia dewasa, pada umur 2 tahun. Selama masa ini, induk harimau mengajarkan anaknya berbagai cara berburu mangsa dan teknik-teknik bertahan hidup lainnya. Selama masa ini, harimau betina yang membunuh mangsa untuk anak-anaknya dan dirinya sendiri. Dia membela anak-anaknya terhadap serangan harimau jantan pengembara, yang terkenal suka menyerang anak harimau yang bukan anaknya sendiri.
Oleh sebab perilaku biologi tersebut, harimau betina menempati sebuah kawasan tertentu untuk membesarkan anak-anaknya dan membela keselamatan anaknya dengan garang. Situasi ini sangat dinamis, harimau terus menerus berjuang antar sesamanya untuk mempertahankan wilayah habitat masing-masing. Harimau yang paling kuat dapat menempati lokasi yang terbaik di hutan. Harimau yang sudah tua atau yang kurang kuat akan tersingkir ke pinggiran kawasan hutan.
Di kawasan hutan yang berbatasan dengan permukiman masyarakat, terdapat banyak ternak. Harimau menjadi terbiasa mendapatkan mangsa dengan cara yang mudah, sehingga kejadian konflik pun meningkat. Jika harimau mati, atau dipindah dari kawasan habitat aslinya, kawasan tersebut akan ditempati oleh harimau lain. Tidak akan ada kawasan hutan yang dibiarkan kosong, kecuali jika seluruh populasi harimau di hutan tersebut tersingkir secara total dari seluruh kawasan tersebut.
Mari kita terapkan ilmu sosio-biologi harimau ini pada proses relokasi harimau saat ini. Kelima harimau tersebut dipindahkan ke Lampung untuk dilepas ke dalam kawasan hutan yang diketahui sudah ditempati harimau lain sebelumnya. Dua ekor harimau sudah dilepas di kawasan yang sama, tanpa sama sekali memperhitungkan sifat territorialnya. Akan terjadi perebutan kawasan habitat dan hanya yang paling kuat yang akan dapat bertahan hidup. Maka kita tidak akan menyelamatkan harimau dengan cara memindahkannya ke Lampung.
Kelima harimau, jika dibawa kembali ke Aceh pun, tidak dapat dilepas kembali di hutan yang sama di Aceh Selatan, sebab sudah berlalu 8-9 bulan sejak harimau-harimau tersebut ditangkap. Saat ini kemungkinan besar harimau lain telah menempati kawasan hutan tersebut. Hanya tinggal satu pilihan lagi, yaitu mencari kawasan hutan lain yang layak untuk harimau, dimana terdapat mangsa tetapi tidak ditempati oleh harimau lain, dan kawasan hutan sejenis itu sepertinya tidak ada di Aceh.
Translokasi sebagai alat konservasi harus digunakan dengan sangat hati-hati. Harimau yang bermasalah perlu diidentifikasi. Hanya harimau yang memangsa manusia yang perlu ditangkap. Tidak semua harimau memangsa manusia. Kita tidak bisa mengatasnamakan konflik manusia-satwa untuk menangkap harimau dan melepaskannya di tempat lain. Di Aceh Selatan kemungkinan hanya ada satu atau dua harimau yang bermasalah. Namun saat itu ada 8-9 harimau yang ditangkap dan dipindahkan. Pada akhir proses, berapa harimau yang dapat bertahan hidup tidak diketahui.
Penangkapan harimau secara bebas untuk dipindahkan ke lokasi lain hanya akan meningkatkan kepunahan lokal. Translokasi adalah proses yang rumit yang memerlukan evaluasi/pengkajian secara ilmiah. Jika tidak dilakukan dengan benar, hal ini tidak menjadi alat bantu, tetapi malah sebaliknya akan berakibat buruk bagi konservasi harimau dengan mengakibatkan terjadinya kematian harimau itu sendiri, berkurangnya jumlah mangsa dan degradasi habitat.
Indonesia telah mengalami kehilangan spesies Harimau Bali dan Harimau Jawa. Saat ini populasi Harimau Sumatera jumlahnya juga semakin kritis. Kepedulian dan perhatian perlu ditingkatkan untuk melestarikan spesies yang dalam ancaman kepunahan ini.
* GV Reddy adalah Manager Ekosistem Yayasan Leuser Internasional yang bekerja dalam proyek AFEP, merupakan ahli harimau asal India dan menjabat pula sebagai kepala Taman Nasional di India.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar