Selasa, 01 Desember 2009

Donasi Kayu untuk Membangun Aceh


Tak dapat dipungkiri, meningkatnya aktivitas pembalakan liar di hutan-hutan Aceh turut dipicu oleh tingginya permintaan kayu untuk proses rehabilitasi dan rekontruksi Aceh pasca bencana gempa bumi dan gelombang pasang tsunami. Diperkirakan untuk membangun 120 ribu unit rumah warga yang hancur dan sejumlah infrastruktur di Aceh, dibutuhkan 1,4 juta meter kubik kayu olahan. Kemana harus mencari kayu sebanyak itu dalam tempo singkat?

Jalan tercepat adalah memakai kayu illegal yang gampang sekali didapati. Menurut Afrizal Akmal dari Masyarakat Penyayang Alam dan Lingkungan Hidup (Mapaya), kayu-kayu yang dicuri dari hutan Aceh, selain didistribusikan ke kilang-kilang kayu berizin dan liar juga ada yang langsung masuk ke proyek-proyek pembangunan yang sedang berjalan di sejumlah daerah.

Bahkan Azhar, officer Water Shed World Wildlife Fund berani mengatakan, kemungkinan besar Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal dan asing yang mempunyai proyek pembangunan rumah tsunami turut menggunakan kayu illegal untuk proyek mereka. “Sebenarnya kalau mau diinvestigasi, tak ada proyek yang bersih dari pemakaian kayu illegal,” katanya.

Namun Azhar tak bisa menyalahkan sepenuhnya LSM-LSM tersebut. “Ini sebuah persoalan tersendiri. Mereka mau bantu tapi terkendala dengan persediaan kayu. Mereka diburu waktu untuk secepatnya menyelesaikan pembangunan rumah. Sementara kayu legal sangat susah didapat,” jelasnya.

Besarnya tingkat kebutuhan kayu yang mencapai 240 ribu meter kubik per tahun, menimbulkan kekawatiran akan semakin meningkatkan tekanan terhadap hutan Aceh yang setiap tahunnya mengalami deforestasi seluas 22 ribu hektar. Belum lagi persoalan degradasi hutan yang diakibatkan oleh berbagai kondisi lain seperti konversi hutan ke peruntukan lain.

Tahun 2005 kapasitas produksi hutan Aceh dijatah 47 ribu meter kubik. Melihat kebutuhan kayu yang tinggi untuk mempercepat rehabilitasi dan rekontruksi, sebenarnya tahun 2006 Aceh telah diizinkan untuk meningkatkan kapasitas produksi kayunya sebanyak 500 ribu meter kubik.

Direncanakanlah mengaktifkan kembali sejumlah perusahaan Hak Pengelolaan Hutan (HPH), tapi diprotes oleh aktivis lingkungan hidup. Sejak 2001, pada zaman gubernur Abdullah Puteh, sebenarnya seluruh perizinan HPH yang ada di Aceh telah dicabut. Tapi ironisnya, ketika yang legal dilarang, yang illegal justru kian tak terkontrol. Hampir di seluruh bagian hutan lindung Aceh setiap hari ratusan pohon dicuri oleh para penebang liar.

Pemerintahan Aceh sudah berkomitmen untuk mempertahankan Aceh sebagai provinsi hijau. Untuk itu proses rehabilitasi dan rekontruksi Aceh jangan sampai menimbulkan dampak negatif terhadap hutan Aceh. Meski kebutuhan kayu sangat tinggi, tapi penggunaan kayu legal dan berasal dari hutan yang lestari tetap diwajibkan.

Kenapa tidak mendatangkan kayu dari daerah lain di Indonesia? Itulah persoalannya. Di Indonesia meski kayu mempunyai sertifikasi legal tapi tidak semuanya memenuhi kriteria lestari. Dari 200 perusahaan HPH yang beroprerasi di Indonesia, hanya ada 6 perusahaan yang beroperasi di Riau dan Kalimantan yang memiliki sertifikasi legal dan lestari yang diakui dunia. Mereka telah melalui proses seleksi yang panjang dan ketat. WWF termasuk yang memberikan sertifikasi nusa hijau untuk mereka.

“Tadinya kita berharap mereka bisa memasok kayu untuk Aceh, tapi mereka sudah terikat kontrak ekspor ke luar negeri,” kata Azhar.

Untuk tetap mempertahankan kelestarian hutan dalam proses pembangunan kembali Aceh pasca tsunami, maka atas inisiasi WWF dan Conservation International (CI) dilaksanakanlah kampanye apa yang disebut “Timber for Aceh” atau “Kayu untuk Aceh”.

Dalam kampanyenya lembaga lingkungan hidup dunia ini menghimbau organisasi yang terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekontruksi untuk menggunakan kayu yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari guna mengurangi beban atas hutan Indonesia.

“Kita harus mencari solusi, jika kayu dilarang diambil dari hutan Aceh, maka kita harus mendatangkan kayu yang memenuhi syarat dari luar Indonesia,” kata Azhar.

Maka digalanglah donasi kayu untuk Aceh di luar negeri. WWF mendapatkan donasi kayu dari Amerika Serikat sebanyak 480 meter kubik. Tahap pertama Januari 2006, 280 meter kubik kayu yang diberikan kepada Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional (IFRC) untuk dipergunakan membangun hunian sementara melalui lembaga mitra mereka Catholic Relief Service (CRS) yang berlokasi di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Tahap kedua September 2006, WWF menyalurkan 200 meter kubik kayu yang diberikan kepada Muslim Aid dan Habitat for Humanity Indonesia untuk membangun 161 rumah di Aceh Besar, Calang dan Sabang.

“Kayu tersebut nomor satu terbaik di Amerika dan sertifikasinya diakui seluruh dunia,” kata Azhar.

Tidak semua proyek menggunkan kayu yang berlabel legal dan lestari yang diakui dunia. Tergantung komitmen dari LSM yang bersangkutan. “Kayu seperti ini harganya mahal. Selain itu biaya pengangkutan dari Negara asal ke Aceh sangat besar. Cuma syukurnya bisa diurus bebas bea impor,”kata Azhar.

Disamping keberhasilan donasi kayu yang diinisiasi oleh WWF, secara keseluruhan atas kerjasama berbagai organisasi sudah lebih 48 ribu meter kubik kayu hibah luar negeri di datangkan ke Aceh. Beberapa lembaga kemanusiaan telah menunjukan komitmennya untuk membangun Aceh kembali secara bertanggung jawab dengan menggunakan kayu yang dikelola secara lestari. Diantaranya IFRC, OXFAM, Premiere Urgence, Save the Children dan British Red Cross.Program donasi kayu untuk Aceh ini akan berakhir Desember 2007 dimana British Red Cross menjadi lembaga yang terakhir akan mendatangkan kayu dari luar Aceh.

Azhar mengasumsikan, dengan adanya bantuan 48 ribu meter kubik kayu dari luar negeri maka secara langsung telah menyelamatkan 1200 hektar hutan Aceh dalam setahun. Namun tentu saja kenyataan di lapangan pembalakan liar tiap hari masih terus terjadi, meski di satu sisi kampanye penyelamatan hutan Aceh terus digalakan.

“Selama ada pelaku, penadah dan pembeli maka pembalakan liar akan terus terjadi,” kata Azhar.

Tidak ada komentar: