Selasa, 01 Desember 2009

Hutan Hilang Bencana Terbilang



Warga Desa Jantho Baru setahun lalu digegerkan dengan matinya 3 ekor lembu peliharaan mereka dalam semalam. Dari kondisi bangkai lembu yang ditemukan pemiliknya masih berada di kandang, diketahui kalau pembunuhnya adalah si raja hutan alias harimau sumatera.

Menurut Keuchik Desa Jantho Baru, Chamsyahrul, belakangan ini harimau sering diketahui masuk kampung mereka. Intensitasnya meningkat dalam 3 tahun ini. “Masyarakat takut sekali karena diam-diam harimau turun ke kampung di malam hari,” kata Keuchik yang sudah menjabat sejak 2003 ini.

Desa Jantho Baru berada di Kecamatan Kota Jantho tak jauh dari pusat ibu kota Kabupaten Aceh Besar. Diakui Chamsyahrul, meningkatnya gangguan satwa akhir-akhir ini turut dipicu dengan maraknya kegiatan paambalakan liar di hutan cagar alam Jantho yang jaraknya cuma 1 kilometer dari kampung mereka.

Desa ini merupakan Unit Pemukiman Transmigrasi yang dibuka sejak tahun 1986. Saat ini ada 250 kepala keluarga yang tinggal di sana. Mata pencaharian mereka umumnya adalah bertani di sawah dan di kebun. Tapi kini banyak yang mengalihkan usahanya ke pertambakan ikan air tawar.

Kebanyakan pelaku pembalakan liar adalah orang luar Jantho. Tapi ada juga penduduk kampung yang ikut serta. Selalu saja ada permintaan kayu datang dari toke-toke di kota. Masyarakat yang membutuhkan uang dalam waktu cepat, sering tergiur untuk melakukan penebangan. Kalau menunggu panen hasil kebun dan sawah butuh waktu. Sementara masyarakat butuh uang untuk kehidupan sehari-hari.

Syukurnya saat ini aktivitas pembalakan liar sudah jarang terjadi. Apalagi dengan dikeluarkannya Instruksi Gubernur Aceh Juni kemarin tentang “Moratorium Logging” yang memerintahkan penghentian sementara segala aktifitas penebangan hutan di wilayah Aceh. Petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam sering melakukan razia.

Namun demikian kerusakan hutan di cagar alam jantho sudah kadung terjadi. Menurut Afrizal Akmal dari LSM lingkungan hidup Masyarakat Penyayang Alam dan Lingkungan Hidup (Mapaya), sebagian besar kondisi hutan di sekitaran cagar alam Jantho, hutan Krueng Jreu di Indra Puri dan hutan lindung Seulawah mengalami kerusakan yang serius. Tidak hanya oleh aktivitas pencurian kayu, tapi juga oleh kegiatan penambangan liar galian c (penggalian batu dan pasir) tanpa izin. Material ini sekarang memang sangat dibutuhkan untuk proyek rehabilitasi dan rekontruksi yang sedang digalakan di Aceh pasca musibah gempa dan gelombang tsunami tahun 2004.

Wilayah-wilayah hutan tersebut diketahui sebagai Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Aceh yang selama ini menjadi sumber penghidupan ratusan ribu masyarakat di Aceh Besar dan Banda Aceh. Kerusakan hutan yang terjadi tidak saja berpengaruh besar terhadapan peningkatan konflik satwa dan manusia tapi juga mempengaruhi debit dan kualitas air sejumlah sungai yang mengalir di wilayah ini. Kalau kemarau mata air menjadi kering, kalau hujan air keruh karena sedimentasi Lumpur.

“Warga Aceh Besar dan Banda Aceh kini mengalami ancaman bencana kekeringan yang cukup serius,” katanya mengingatkan.

Warga Jantho Baru juga mulai merasakan akibat dari menurunnya kuantitas dan kualitas air di daerahnya. Kata Keuchik Chamsyahrul, Di musin panas yang berkepanjangan seperti sekarang ini, mereka mulai kesulitan mendapatkan air untuk mengairi areal pertanian karena saluran irigasi sering kekurangan air. “Kalau tidak turun hujan selama beberapa minggu, air irigasi menjadi kurang.”

Kalau di Jantho warga sering diresahkan oleh gangguan harimau, di wilayah hutan lindung Seulawah yang berdekatan dengan cagar alam Jantho, warganya justru pusing dengan sering turunnya kawanan gajah liar yang sering merusak rumah dan lahan pertanian warga. Di Desa Blang Lambaro Kecamatan Lembah Seulawah Aceh Besar, belum lama ini kawanan gajah liar yang berjumlah enam ekor mengamuk dan merusak apa yang mereka dapati dalam tempo semalam.

Menurut Akmal, kondisi hutan di kedua wilayah ini sudah mengalami fragmentasi. Habitat alami harimau dan gajah kini telah terkotak-kotak menjadi bagian yang sempit sehingga wilayah jelajah kedua satwa ini semakin sempit dan sumber pakan menjadi berkurang.

Sebenarnya tak tepat kalau dipakai istilah hewan mengganggu pemukiman manusia. Yang sebenarnyalah manusia yang telah memasuki habitat hewan. Meningkatnya pembukaan lahan untuk areal pertanian dan maraknya pembalakan liar menyebabkan hewan terus terdesak. Kalau dua tahun lalu habitatnya masih utuh, kini dalam tempo cepat telah berubah fungsi menjadi ladang dan pemukiman.

“Anehnya di Jantho, harimau tidak memakan habis sapi yang dibunuhnya. Ini merupakan indikasi perubahan perilaku satwa. Mereka stress karena habitatnya diganggu. Jadi seolah-olah hewan ini mau menunjukan pada manusia bahwa di situ daerah kekuasaannya,” jelas Akmal.

Konversi hutan Aceh tiap tahun mengalami peningkatan. Dalam catatan hutan Aceh mengalami deforestasi seluas 20 ribu hektar pertahun. Total luas hutan Aceh tidak lagi ada dalam angka 3 juta hektar.

Padahal kita ketahui Aceh memiliki hutan hujan tropis yang terbaik di dunia, terbentang di wilayah Ekosistem Leuser dan Ekosistem Ulu Masen. Kedua ekosistem ini kaya akan keanekaragaman hayati. Selama ini hutan Aceh menjadi bagian paru-paru dunia yang mensuplai oksigen untuk kehidupan milyaran penduduk bumi.

Menurut Koordinator Daerah Aliran Sungai World Wildlife Fund (WWF), Dede Suhendra, peningkatan perubahan fungsi hutan Aceh lebih didominasi oleh pembukaan perkebunan dalam skala besar dan pembalakan liar. WWF adalah sebuah organisasi lingkungan hidup dunia yang aktif mengkampanyekan penyelamatan hutan dan satwa.

Dede mengkawatirkan rencana pemerintah untuk membuka perkebunan sawit di Aceh. Sebab bakal lahan perkebunan itu bisa saja berasal dari hutan yang selama ini dilindungi. “Padahal masih banyak lahan kritis yang bisa diolah tanpa harus melakukan pembukaan hutan,” katanya.

Toh, pada kenyataan kepentingan ekonomi mampu mengalahkan kepentingan pelestarian hutan guna kelangsungan hidup manusia. Sebut saja pembukaan perkebunan kelapa sawit PT Uber Trako yang dilakukan di wilayah hutan rawa Singkil yang masuk ke dalam wilayah ekosistem Leuser.

“Di sana konflik satwa juga sudah mulai muncul. Belum lama ini ada orang yang dimangsa buaya di sungai Singkil,” katanya.

Dalam catatan WWF tahun ini telah 6 orang tewas dibunuh gajah, harimau dan buaya di Aceh Barat, Aceh Selatan dan Singkil . Dede mengingatkan meski gangguan satwa sudah mmenyebabkan kerugian materi dan memakan korban jiwa, jangan sampai kita salah dalam menangani permasalahan ini. “Jangan melihat satwa-satwa itu dalam perspektif hama yang mesti dibasmi.”

Dede menggambarkan, jika gajah, orangutan, harimau, badak sumatera dan buaya mulai terancam kehidupannya, maka ini menjadi indicator kerusakan hutan sudah sangat parah. Jika mereka musnah berarti akan hilang sebagian rantai makanan di alam. Akibatnya keseimbangan alam terganggu.

Bencana lebih besar akan menghantui kita. Banjir, longsor, kekeringan, serangan hama, penyakit akan muncul dimana-mana. Desember 2006 lalu, banjir badang di Aceh Tamiang, Aceh Tenggara dan Bener Meriah sudah menjadi bukti kuat betapa kehancuran hutan berdampak besar menyengsarakan manusia.

“Selama kita tidak arif dalam mengelola dan melindungi hutan Aceh, maka bencana akan terus menghantui kita,” ucapnya.

Tidak ada komentar: