Tidak mudah bagi Iwan Repin membangkitkan kembali usaha kafenya yang hancur terkena tsunami. Untung tak dapai diraih, malang tak dapat dihindari. Iwan Repin dalam sekejap kehilangan sumber mata pencahariannya pada musibah hari minggu di penghujung tahun 2004 tersebut. Padahal kafe yang dibangunnya dengan modal Rp 140 juta tersebut baru berjalan lima bulan.
Setelah tsunami Iwan tak putus semangat. Dengan modal pas-pasan dia merintis kembali pembangunan kafenya yang terletak di Desa Tibang, dekat pinggiran kali Alue Naga, Banda Aceh. Hasilnya memang belum maksimal. Uang yang ada belum mencukupi untuk membangun kafe seperti sedia kala.
Iwan kini sangat berharap ada lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman modal untuk usahanya. Dia telah berusaha mencari pinjaman kemana-mana. Karena dia butuh modal di atas Rp. 10 juta, lembaga-lembaga keuangan seperti bank dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang pernah didatanginya mengharuskannya menyertakan anggunan sebagai jaminan.
Iwan tak punya jaminan. Surat tanahnya sudah tergadai di bank pemerintah sejak sebelum tsunami ketika dia meminjam modal untuk pembangunan kafenya dulu.
“Tadinya saya berharap sisa kredit saya yang Rp. 16 juta lagi akan diputihkan bank karena terkena tsunami. Ternyata tidak,”kata pria asal Aceh Tengah ini.
Iwan sangat berharap, pengusaha kecil seperti dirinya dapat dibantu. Karena berjualan adalah sumber mata pencaharian utamanya selama ini. Keluarganya sangat menggantungan hidup mereka pada ayah dua anak ini. Kini dia cuma bisa berkerja membantu usaha temannya di Peunayong. Kafe yang baru belum bisa dijalankan karena belum ada barang inventarisasi yang memadai. Semua memang harus dirintis dari awal kembali. Beli meja kursi, dan peralatan berjualan lainnya.
Iwan tidak beruntung. Dia sudah pernah mengirim proposal ke beberapa lembaga seperti Mercy Corp dan UNDP. Tapi tak ada jawaban hingga saat ini. Di desanya bukan tak pernah ada bantuan permodalan dari NGO. Tapi lelaki berkaca mata ini mengaku tidak pernah diberitahu pihak keuchik kalau ada peluang untuk mendapatkan modal bagi korban tsunami. Padahal bantuan seperti itu sangat diharapkannya.
Di Desa Iwan Repin sebenarnya ada LKM. Namanya Nanggroe Atjeh. Dikelola oleh koperasi Pemuda Usaha Mandiri. Kantornya sederhana terletak di dekat jembatan Krueng Cut. Iwan mengaku pernah mencoba meminjam modal, tapi LKM ini tidak menyalurkan modal uang tunai seperti yang diharapkannya.
Menurut Muakhir Muhammad, Direktur LKM Nanggroe Atjeh, saat ini pihaknya memang mendapat kucuran dana dari Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh Nias sebesar Rp. 216 juta. Dana ini diperuntukkan untuk para korban tsunami. Dari data permohonan yang sudah direalisasikan, nasabahnya datang dari Desa Tibang, Alue Naga, Deah Raya, Kampung Kramat dan juga ada yang dari Tungkop Darussalam.
Tapi bentuk bantuannya berupa barang dagangan sembilan bahan pokok. Nilainya mencapai 5 juta rupiah per nasabah. Dikhususkan untuk para pemilik kios yang kekurangan modal.
“Tidak pakai agunan. Kami memilih nasabah berdasarkan karakter orang yang mengajukan dan hasil verifikasi di lapangan. Jika dicek mereka benar-benar butuh bantuan barang jualan, maka akan kami berikan,”kata Muakhir.
LKM ini menargetkan tahun ini ada 100 orang nasabah. Yang sudah mendaftar kebanyakan ibu rumah tangga yang sudah punya kios. Tapi ada pula pedagang buah dan pedagang baju keliling yang mengajukan permohonan bantuan.
“Yang terpenting adalah dana ini bisa tersalurkan dan pengembaliannya lancar. Sebab jika kredit menjadi macet, maka bantuan modal ini tidak bisa digilir ke orang lain yang juga membutuhkan bantuan modal. Untuk itu antara kami dan nasabah harus ada saling kepercayaan bahwa mereka akan membayar cicilan bantuan,”kata Muakhir.
Bagai berharap uang turun dari langit. Rasanya sulit sekali mencari bantuan modal usaha. Tidak semua orang bisa beruntung mendapatkan bantuan modal untuk membuka usaha setelah tsunami. Senasib dengan Iwan Repin, hal yang sama juga dialami oleh Saifuddin, seorang pedagang kelapa di pinggiran lapangan tugu kampus Unsyiah di Darussalam.
Bersama 6 orang pedagang kelapa lainnya yang juga berjualan di situ, dia pernah mengajukan bantuan modal ke LKM Lambaro Angan sejak Januari lalu. Pinjaman yang diajukan Rp. 5 juta. Tapi hingga kini tak ada kabar kapan dia bisa mendapatkan pinjaman.
“Alasannya bermacam-macam. Dibilang sudah habis dan harus menunggu dana pinjaman kembali dari nasabah. Ada juga yang beralasan tempat jualan kami yang tidak permanen. Padahal saya sudah mengajukan sejak awal sebelum dana turun dari BRR.,” keluh pemuda ini.
Saifuddin sebelum tsunami mempunyai tambak di Desa Alue Deyah Teungoh, tapi kini telah hancur. Karena butuh uang untuk biaya hidup keluarganya, Saifuddin banting stir jadi penjual kelapa muda.
Karena modal dari LKM tak jelas kapan turunnya, atas pinjaman uang Rp 2 juta dari temannya dia kini sudah bisa berjualan walau dalam keadaan seadanya. Dia sebenarnya masih berharap mendapatkan modal. Dia ingin mengganti gerobak jualannya yang sudah tidak bagus lagi. Yang penting baginya dia bisa mencari uang yang halal untuk keluarganya, tidak menyusahkan orang lain.
Persoalan Saifuddin pernah ditangani tim Community Advocacy Unit (CAU) Palang Merah Irlandia. Tim ini mencoba memfasilitasi Saifuddin agar bisa memperoleh bantuan modal usaha di LKM Lambaro Angan. Sebelumnya CAU pernah berhasil membantu seorang janda sehingga berhasil mendapatkan modal dari LKM Lambaro Angan.
Mariani M. Yusuf warga Simpang Lamreung, Desa Meunasah Papeun setahun lalu pernah mendapatkan bantuan modal untuk usaha jahitannya. Tim CAU membantunya membuat proposal dan mengajukannya ke LKM Lambaro Angan. Mariani mendapatkan bantuan modal usaha sebesar Rp. 3 juta. Dengan uang tersebut dia membeli 2 unit mesin jahit dan bahan-bahan jahitan lainnya.
“syaratnya tidak susah. Cuma KTP dan KK (kartu keluarga). Tidak pakai agunan,”katanya.
Setiap bulan dia mencicil sekitar Rp. 260 ribu, dan kini kreditnya telah lunas. Mariani sekarang bisa mengembangkan usaha jahitannya dengan baik. Dia bisa menopang biaya hidup keluarganya dari hasil usahanya itu. Seorang anaknya bahkan bisa dibiayai kuliahnya. Kalau ada kesempatan lagi, Mariani masih berharap bisa meminjam modal lagi. Sambil menjahit Mariani juga membuka usaha kios di rumahnya.
Pasca tsunami, bantuan permodalan bagi korban tsunami sebenarnya banyak tersedia. Ada banyak NGO yang berkiprah di aceh memberikan bantuan hibah maupun kredit permodalan bagi masyarakat. Selain itu banyak lembaga keuangan mikro yang dikelola oleh koperasi, bank perkreditan rakyat dan bank konvensional yang menyalurkan dana serupa. Semuanya ditujukan untuk membangkitkan kembali pemberdayaan ekonomi rakyat di Aceh pasca tsunami.
Dari catatan Aceh Micro Finance, lembaga yang menaungi LKM di Aceh, BRR Aceh-Nias paling tidak sudah menyalurkan dana 126 milyar ke 77 LKM di sejumlah daerah. Dengan memakai jasa koperasi diharapkan akses masyarakat untuk memperoleh pinjaman semakin mudah karena koperasi bisa menjangkau hingga ke desa.
Namun kendala paling besar saat ini adalah kredit macet. Banyak nasabah yang tidak lancar membayar cicilan kreditnya, sehingga LKM kesulitan memutar uang itu ke nasabah lainnya. Akibatnya ada calon nasabah yang sudah mengajukan permohonan tapi belum terealisasikan bantuannya karena dana di LKM belum kembali.
Untuk itu perlu kesadaran dari para nasabah untuk secara tertib membayar cicilan kredit secara tepat waktu, agar dana itu dapat digulirkan secara merata ke mereka yang juga membutuhkan modal untuk usaha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar