Apa arti uang sebesar Rp. 600 jt bagi Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh Nias yang mengelola 40 triliun dana tsunami? Tentu kecil sekali. Setara dengan 10 kali kegiatan seminar yang sering mereka lakukan di hotel bintang empat Banda Aceh, membahas nasib 500 ribu korban tsunami.
Tapi untuk 163 Kepala Keluarga (KK) di Desa Layeun, Kecamatan Leupung, Aceh Besar (berjarak sekitar 30 km dari Banda Aceh) BRR justru dianggap tak memiliki hati nurani terhadap korban tsunami. Hampir dua tahun warga memperjuangkan agar BRR memberi bantuan dana Rp. 600 juta kepada kampung mereka. Uang itu sangat mereka butuhkan untuk membayar tanah relokasi seluas 6 hektar yang terletak di sebuah lahan pinggiran bukit, dimana sebagian besar rumah bantuan tsunami untuk warga Layeun kini telah berdiri.
“Kami hanya bisa melihat rumah baru kami dari jauh. Kami tak ada uang untuk membayar tanah. Pemilik tanah baru mengizinkan kami tinggal disana kalau sudah melunasi uang Rp 3 juta untuk ganti rugi tanah,” cerita Amiruddin, warga Layeun yang sampai kini terpaksa tinggal di rumah sementara (shelter) yang dibangun di atas tanah lamanya yang tersisa.
Tak sedikit pula warga Layeun yang masih bertahan di barak pengungsi Lambaro. Mereka belum bisa pulang ke kampung karena tak jelas akan berumah dimana. Rumah bantuan telah setahun lalu rampung dibangun. Tapi karena tanahnya belum lunas dibayar, relokasi warga pun menjadi terhambat.
Desa Layeun terletak di pinggiran pantai sekitar teluk Lhok Seudu yang turut hancur akibat bencana tsunami pada 26 Desember 2004. Tak ada yang tersisa di kampung itu selain satu onggokan kubah mesjid yang menjadi salah satu saksi bisu kedasyatan bencana yang menewaskan dua ratus lebih orang di Layeun. Sekitar tujuh ratus orang penduduk yang selamat, kemudian tinggal dari satu tempat pengungsian ke tempat pengungsian yang lain. Hingga akhirnya sebagian dari mereka pulang ke kampung untuk membangun kembali kehidupan baru.
Pada awalnya adalah World Vision, salah satu lembaga internasional yang berkomitmen membangun kembali rumah warga Layeun yang hancur total. World Vision sudah masuk kampung itu sejak Maret 2005, merencanakan pembangunan kembali rumah penduduk. Masih ingatkah bagaimana pada masa awal setelah tsunami, pemerintah sibuk dengan program blue printnya untuk Aceh?
“Yang kami tahu waktu itu pemerintah mengatakan daerah kurang dari 2 kilometer dari pantai tidak lagi layak untuk dihuni. Artinya kalau dihitung-hitung, hampir sebagian besar tanah warga di Layeun tidak boleh lagi ditinggali ,”kata Junaidi, Koordinator Komite Pembangunan Desa di Layeun.
Dalam beberapa rapat, warga sebenarnya ingin World Vision membangun rumah di atas tanah mereka yang tersisa. Dari 290 KK yang tersisa, cuma 50 KK yang tanahnya benar-benar musnah tergerus lautan. Namun kala itu World Vision tetap tak berani melanggar aturan blue print pemerintah, walaupun kemudian banyak yang tahu aturan itu hanya macan ompong di atas kertas.
Akhirnya disepakatilah warga akan direlokasi ke sebuah lahan kosong yang letaknya tak jauh dari lokasi kampung mereka semula. “Itu pun masih dalam jarak 2 kilometer dari pantai, jadi sebenarnya sama saja masih melanggar aturan blue print,”kata Junaidi tertawa geli.
Tapi tak ada pilihan lain. Daerah tempat tinggal mereka terkepung gunung dan lautan. Lahan kosong tidak gampang didapat. Di satu sisi mereka terdesak butuh rumah. Tanah relokasi harus segera dicari. Maka di lahan bekas sawah dan bukit yang dikeruk itulah World Vision mulai membangun rumah pada Mei 2005. Lahan seluas 6 hektar itu milik 20 orang warga Layeun. Mereka rela tanahnya dijadikan lahan relokasi dengan kesepakatan kelak akan mendapat ganti rugi. Sejak awal World Vision hanya berkomitmen memberikan bantuan rumah saja. Soal tanah menjadi urusan warga.
Di atas lahan itulah kini berdiri 163 unit rumah. Tiap KK korban tsunami mendapat jatah kapling tanah 200 meter persegi, berikut rumah tipe 36 dengan dua kamar tidur, satu ruang tamu dan satu kamar mandi. Di lahan relokasi kini juga sudah dibangun meunasah, kantor Keuchik dan poliklinik. Jalan lebar membelah kompleks perumahan itu. Sebuah tempat pemukiman baru pun telah berdiri tertata rapi. Indah dipandang dari kejauhan.
“Rumahnya lebih bagus dari rumah lama kami. Sayangnya pekarangan sempit tak bisa pelihara ayam. Tapi tak apalah,” kata M. Isa, lelaki paruh baya yang sudah setahun menikmati rumah baru bersama istri dan anaknya. Dia dapat tinggal disitu karena dia salah seorang pemilik tanah di lahan relokasi. M. Isa senang dengan rumah barunya walau pun dia mengeluh tentang jalan yang berlumpur dikala hujan, juga ketiadaan sarana air bersih dan jaringan listrik. Syukurlah kini sarana air bersih dan listrik sedang dalam proses pembuatan.
Sayangnya, tak semua warga bisa seperti M. Isa dan 37 KK lainnya yang dapat menempati rumah bantuan tanpa masalah. Persoalannya kini masih ada 125 KK yang tak bisa masuk ke rumah baru mereka karena belum mampu membayar uang kepada pemilik tanah sebesar Rp. 3 juta.
Kata M. Isa, warga Layeun banyak yang miskin. Mereka cuma nelayan dan petani. Banyak yang menganggur pula. Uang 3 juta untuk orang seperti mereka suatu nilai yang besar. Apalagi sebagian warga yang mendapat jatah rumah adalah janda dan anak yatim yang masih di bawah umur.
“Anak paman saya yang masih SD yatim piatu. Keluarganya habis semua. Dia termasuk yang mendapatkan rumah bantuan. Tapi dari mana dia mencari uang Rp 3 juta? Sampai sekarang dia masih tinggal di barak Lambaro bersama makciknya,” kata Amiruddin.
Kini tak hanya warga korban tsunami yang nasibnya terkatung-katung, pemilik tanah seperti M. Isa juga gundah. Tanahnya tak hanya dipakai untuk membangun rumah, tapi juga untuk pembuatan jalan dan fasilitas desa lainnya.
Harapan mereka bertumpu pada BRR. “Tahun 2006 kami mendapat informasi kalau di BRR ada program pembebasan tanah untuk relokasi. Walau di Layeun relokasi sudah disepakati sebelum terbentuk BRR, tapi kami pikir Layeun berhak mendapat bantuan dana,”tutur Junaidi.
Bersama warga Layeun lainnya, Junaidi pun memperjuangkan bantuan dana relokasi yang mereka anggap menjadi hak mereka sebagai korban tsunami. Dari sejak 2006 warga sudah menempuh berbagai prosedur agar BRR mau membayar tanah relokasi warga yang keseluruhannya seharga Rp. 600 juta.
Ceritanya warga sudah membuat surat permohonan sejak 2006. Mereka sering berdelegasi ke BRR. Para pejabat di bagian pertanahan lembaga itu cuma mampu mengucap janji untuk sekedar melegakan hati warga. Kenyataannya mereka sering dibola sana sini, tanpa realisasi apapun.
Maret 2007 lalu, tim Community Advocacy Unit (CAU) Palang Merah Irlandia yang mendapat laporan tentang persoalan di Layeun, berupaya membantu warga Layeun memperjuangkan apa yang mereka sebut sepetak tanah masa depan.
Mulanya dalam acara diskusi di radio Baiturrahman, warga yang diwakili Junaidi dipertemukan dengan pejabat pertanahan BRR. Warga mempertanyakan janji-janji BRR yang tidak pernah jelas tindak lanjutnya sejak dari 2006. BRR berjanji akan segera memverifikasi tanah warga Layeun.
“Itu pun kami harus berkali-kali datang ke BRR lagi menagih janji mereka. Baru kemudian tanah warga diverifikasi oleh pascam BRR,”ucap Junaidi.
Hasilnya April 2007 Direktorat P3 BRR mengeluarkan surat memorandum yang isinya menyebutkan Layeun layak mendapat bantuan relokasi.
Warga pun senang. Harapan terbentang di depan mata. Tak lama lagi warga bisa pulang ke kampung menempati rumah bantuan dengan hati lega.
Ternyata itu kegembiraan sesaat. Cuma berselang 3 minggu, Deputi Pertanahan BRR mengirimkan surat yang sangat mengecewakan semua warga Layeun. Surat itu menganulir keputusan Direktorat P3 BRR. Intinya BRR tidak akan membantu pembayaran tanah relokasi warga Layeun. Alasannya tanah warga yang lama tidak musnah. Kalau pun mau diganti, warga harus menyerahkan tanah lama milik mereka ke BRR.
“Ini yang tak disepakai warga. Bayangkan saja, tanah lama mereka yang luasnya bisa ratusan meter masak ditukar guling dengan sepetak tanah seluas 200 meter?” keluh Junaidi.
Juli kemarin warga yang kecewa mendatangi pejabat pertanahan BRR mempertanyakan surat keputusan yang tidak mempertimbangkan nasib korban tsunami yang terkatung-katung di luar sana.
“Ini kan tak adil bagi kami. Desa tetangga kami sudah lama mendapat bantuan relokasi. Padahal permohonannya kami buat bersamaan,” ucap Junaidi.
Yang dimaksud Junaidi adalah beberapa desa di Kecamatan Leupung yakni Desa Meunasah Ba’u, Desa Meunasah Mesjid, Desa Lam Seunea dan Desa Pulot termasuk yang mendapat bantuan dana relokasi dari BRR.
“Tanah warga disana tidak musnah semua, sama seperti Layeun. Tapi mereka bisa mendapatkan bantuan. Malah tanah relokasi Desa Meunasah Ba’u di Panton lebih luas dari punya kami.”
Warga pun merasa dipermainkan BRR. Tapi Apalagi dengan entengnya pejabat BRR mengatakan soal relokasi di Meunasah Ba’u, “itu kecolongan kami.”
BRR tetap ngotot dengan keputusannya. Warga yang tak terima dengan sikap arogan pejabat pertanahan BRR tak tertahan lagi emosinya. Kesal merasa dipermainkan mereka melampiaskannya dengan membanting dua unit laptop dan menendang meja kerja hingga terbalik. Insiden tersebut menyebabkan jalan penyelesaian soal relokasi Layeun semakin tak jelas kesudahannya.
“Kami akan terus maju untuk mendapatkan hak-hak kami sebagai korban tsunami. Mudah-mudahan pihak-pihak terkait seperti Pemda dan DPRD bisa turut membantu kami,”tekad Junaidi penuh percaya diri.
Di pojok warung kopi sederhana, Amiruddin, M. Isa dan warga Layeun lainnya saban hari terus menanti kabar gembira dari Banda Aceh dengan sabar. Kelak suatu hari perjuangan mereka untuk mendapatkan sepetak tanah masa depan bisa terwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar