Selasa, 01 Desember 2009

Memberdayakan Zakat untuk Kepentingan Ekonomi Umat

Di lantai dua pasar ikan Peunayong Banda Aceh, Rasunah dan Saodah melakoni hari-hari mereka sebagai penjual sayur mayur demi menghidupi keluarga. Kedua wanita yang biasa disebut nyak-nyak pasar ini merupakan potret perempuan Aceh yang gigih mencari nafkah meski usia telah merambat senja.

Sudah setahun ini mereka menempati lapak di pasar yang baru selesai dibangun setelah tsunami. Mereka bergabung dengan ratusan pedagang lainnya yang setiap hari melayani kebutuhan dapur masyarakat Banda Aceh. Sebelumnya mereka pernah berjualan di berbagai pasar. Rasunah menyebutkan dia sudah 20 tahun berjualan. Sedang Saodah sudah menjadi pedagang sayur sejak 8 tahun lalu.

Meski terkesan berdagang kecil-kecilan, namun begitu kedua perempuan ini bisa menjadi penopang perekonomian keluarganya. Rasunah yang sudah lama menjanda bahkan bisa menghidupi 15 orang di rumahnya. Ada anak kandung, ada anak yatim yang diasuhnya sejak kecil, juga cucu-cucunya yang kehilangan orangtua waktu tsunami.

“Alhamdulillah, anak saya ada yang kuliah dan juga sekolah di pesantren,” ucapnya bangga.

Begitu pula dengan Saodah. Dia dan suami yang juga pedagang sayur, mampu menyekolahkan anak-anak daan cucunya. Saat ini anak Saodah ada yang ikut membantunyaa berjualan di pasar peunayong.

Rasunah dan Saodah adalah pedagang kecil yang hanya punya modal pas-pasan. Mereka tak berani meminjam modal usaha baik itu di rentenir atau di lembaga keuangan yang menyalurkan bantuan modal. “Saya takut berhutang, nanti bayarnya susah karena pakai bunga,” ucap Rasunah.

Maka Rasunah berdagang dengan cara mengutang barang di agen sayur. “Paginya saya ambil sayur di kenalan saya. Saya jual, lalu uangnya saya setor sore ke yang punya sayur,” kata perempuan yang tinggal di Desa Kemireu Aceh Besar ini.

Saodah memakai modal sendiri walau tidak banyak. Habis tsunami, perempuan yang tinggal di Desa Lam Ateuk, Kecamatan Kuta Baro Aceh Besar ini, mengaku pernah didatangi orang dari Lembaga Swadaya Asing. “Waktu itu ada 10 orang yang jualan di sini dikasih uang Rp 3 juta sama orang panjang hidung rambutnya kuning. Habis kasih uang dia salami saya terus pergi. Uangnya saya pakai untuk makan sehari-hari.”

Kini kedua nyak-nyak pasar ini meningkat omset penjualannya setelah sekitar setahun lalu mereka mendapat bantuan modal usaha dari Baitul Mal Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tanpa anggunan, tanpa bunga, juga tanpa bagi hasil. Mereka hanya diwajibkan mengembalikan pokok pinjaman selama setahun. Itu yang melegakan sehingga mereka dengan antusias ikut meminjam modal usaha tanpa was-was terjerat hutang.
Syaratnya tak begitu sulit. Cuma mengisi formulir yang turut ditanda tangani oleh Keuchik. Tidak perlu buat proposal. Di formulir mereka cukup menyebutkan kebutuhan dagangannya dan berapa nilainya. Rasunah yang tidak mengerti membuat perincian kebutuhan, malah dibantu oleh petugas Baitul Mal.

Selanjutnya petugas Baitul Mal akan mensurvey kelayakan si calon nasabah. apakah tempat jualannya permanen, berapa penghasilannya, berapa tanggungan keluarganya, apakah usahanya bisa dikembangkan?

Yang uniknya lembaga ini mensyaratkan para calon nasabahnya harus rajin shalat dan jujur. Cara mengetahuinya, petugas akan menanyai keluarga dan orang-orang yang kenal dengan mereka, apakah si polan rajin shalat dan apa pernah menipu orang?

“Hal ini penting karena kami memberikan bantuan atas dasar kepercayaan. Jadi untuk menjamin dia akan mengembalikan modal tepat waktu, diperlukan kejujuran,” jelas petugas Baitul Mal, Aplizwardi, SH.

Untuk memudahkan mengontrol mereka, maka dibentuk kelompok berdasarkan lingkungan tempat usaha mereka. Selain itu, para nasabah juga diwajibkan untuk ikut pengajian yang diadakan oleh Baitul Mal sebulan sekali di mesjid dekat mereka jualan. Baitul Mal akan mendatangkan penceramah. Disamping untuk menambah pemahaman agama, juga dimanfaatkan untuk menagih cicilan kredit. Yang tidak bersedia ikut pengajian akan dicoret namanya.

Rasunah menyebutkan dirinya mendapatkan bantuan modal Rp. 2 juta pada tahun 2006. Uang yang didapatnya dibelanjakan berbagai macam sayur, cabe, bawang, dan macam bumbu dapur dalam jumlah besar. Dalam sehari dia membelanjakan uang sekitar Rp. 1,5 juta di pasar Lambaro Aceh Besar. Dari situ dia membawa ke pasar Peunayong. Butuh uang Rp. 70 ribu sehari untuk biaya transportasi.

“Sekarang saya yang memasok sayur-sayur untuk beberapa pedagang di sini. Sehari bisa dapat untung bersih sampai Rp 100 ribu,” kata Rasunah.

Rasunah merupakan salah satu pedagang yang dianggap berhasil dalam mengelola bantuan usaha dan tak pernah mangkir mencicil kreditnya. Maka setelah setahun dia melunasi bantuan tahap awal, Baitul Mal memberinya kepercayaan lagi untuk mendapat tambahan modal sebesar Rp. 3 juta.

Dari 45 orang pedagang sayur di pasar Peunayong yang diberi pinjaman modal, 30 persen mangkir melunasi sisa kreditnya. Persoalan utama ada pedagang yang menghilang berpindah jualan ke tempat yang tidak terlacak petugas Baitul Mal. Ada juga yang meninggal. Bagi yang meninggal Baitul Mal akan menghapuskan hutang mereka. Selain itu ada juga yang tak sanggup mengembalikan pinjaman karena tertimpa musibah atau mengalami kerugian.

“Kalau perempuan biasanya banyak yang jujur. Dan selalu tepat waktu mengembalikan pinjaman,” kata Aplizwardi.

Baitul Mal sendiri hingga kini tetap berkomitmen membantu para pedagang di pasar. Seperti Saodah, tahun ini giliran ia yang mendapatkan pinjaman modal Rp. 1 juta. Kali ini uang bantuan benar-benar dimanfaatkannya untuk menambah jumlah barang dagangannya.

Bantuan modal yang diberikan Baitul Mal kepada para pedagang merupakan dana yang berasal dari zakat, infaq dan sedekah masyarakat. Tadinya lembaga ini bekerjasama dengan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) di Banda Aceh menyalurkan bantuan modal usaha untuk kaum dhuafa.

Tapi dalam prakteknya, BPRS memungut bagi hasil yang mencapai 21 persen dari nilai pinjaman. Lebih tinggi dari bunga kredit bank konvensional. Karena dana yang disalurkan berasal dari zakat, maka tidak seharusnya menarik keuntungan.

Maka sejak 2006 Baitul Mal menyalurkan sendiri bantuan usaha untuk kaum dhuafa di Banda Aceh dan Aceh Besar.

“Baitul Mal saat ini memang sedang memfokuskan diri pada pemberdayaan ekonomi kaum dhuafa. Jika selama ini zakat di Baitul Mal disalurkan dalam bentuk zakat konsumtif, maka sekarang zakat yang ada akan diberdayakan dalam bentuk pinjaman kebajikan (Qardhul Hasan),” kata pimpinan Baitul Mal NAD, Amrullah.

Selain memberikan bantuan modal usaha untuk pedagang di pasar, lembaga yang dibentuk sejak 2003 ini juga menyalurkan bantuan modal bagi petani sayur dan palawija, peternak sapi dan kambing, juga kelompok usaha menjahit ibu-ibu.

Tahun ini Baitul Mal menyalurkan 1,2 milyar zakat produktif untuk bantuan modal usaha. Karena dananya terbatas, biasanya petugas Baitul Mal mensurvey sendiri kelompok dan desa yang kira-kira perlu mendapatkan bantuan. Tapi bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan modal bisa juga mendaftar langsung ke kantor Baitul Mal.

Kantor Baitul Mal NAD berada di Jalan T. Nyak Arief No. 148 Aceh, Peurada Banda Aceh. Telepon 0651 – 7400800.

Baitul Mal juga menyalurkan zakat konsumtif dimana setiap bulannya 300-an keluarga miskin di Banda Aceh da Aceh besar mendapatkan bantuan dana Rp. 250 ribu. Selain itu ada juga beasiswa untuk anak-anak tak mampu mulai dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.

Saat ini Baitul Mal di Aceh telah mempunyai struktur dari tingkat kabupaten / kota hingga ke desa. Sebagian besar zakat yang dikelola Baitul Mal NAD berasal dari zakat penghasilan pegawai negeri sipil provinsi yang mencapai Rp. 4,5 milyar per tahun. Ada juga zakat perorangan walau tidak mendominasi.

Di Aceh sendiri ada banyak lembaga amil zakat swasta yang beroperasi. Sebut saja milik Muhammadyah, Nahdatul Ulama, Dewan Dakwah, Rumah Zakat, Dompet Dhuafa, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), dan lain-lain. Dibanding dengan Baitul Mal, lembaga zakat swasta lebih proaktif menjalankan kegiatannya.

Amrullah berkeyakinan Baitul Mal kelak akan berkembang pesat. Apalagi Baitul Mal di tingkat desa kelak akan lebih ditingkatkan peranannya dalam pengelolaan zakat infaq dan sedekah masyarakat. Apalagi sejak September 2007 telah keluar peraturan pemerintah tentang perluasan wewenang Baitul Mal menjadi pengelola harta tak bertuan (seperti tanah, rekening bank dan asuransi korban tsunami) dan juga wali anak yatim di Aceh. Yang tentu saja semua itu harus melalui persetujuan Mahkamah Syariah.

Untuk lebih meningkatkan peran serta masyarakat dalam membantu kaum dhuafa, penting sekali meningkatkan kesadaran untuk menyisihkan zakat sebesar 2,5 persen dari harta atau penghasilan tiap tahun. Karena manfaat zakat sangat besar untuk membantu orang-orang tak mampu.

Tidak ada komentar: