Senin, 28 Desember 2009

Aku pada 26 Desember 2004

26 Desember 2004

Aku selalu merasa gelisah ketika ada dalam perut pesawat. Senyaman apapun itu penerbangan itu. Mau cuaca bagus apalagi buruk. Mungkin sekarang sudah jam 9.30. Rencananya Garuda ini akan mendarat di Bandara Blangbintang sekitar 15 menit lagi. Dia memang mulai merendah di dekat pegunungan halimun Pidie. Di luar sana matahari bersinar kemilau memburamkan daratan di bawah. Tapi pegunungan dengan hutan lebat masih bisa kulihat. Membayangkan pesawat jatuh ke dalam hutan yang tak terjangkau itu begitu menyeramkan, karena gunungnya berlapis-lapis, dan begitu tebalnya kanopi pohon terlihat.

Aku mulai merasa tak enak ketika pesawat memiring tajam. Ini belum waktunya dia mengambil posisi mendarat. Aku mulai ketakutan. Ada apa? Dia mau mendarat darurat? Aku melihat suasana kabin untuk melihat tanda-tanda tak aman. Tapi pramugari masih sibuk melayani minuman tambahan untuk beberapa penumpang. Aku mengintip keluar lagi.

Aku meyakini diriku, pesawat berbelok arah. Kini posisiku berada di kiri arah ke Medan karena aku melihat pantai. Aku duduk di sit 23 A. Tidak begitu jelas lautannya karena semua putih. Lautan seperti penuh buih putih. Refleksi cahaya matahari pagi yang terik membuat tak jelas pemandangan di bawah. Aku tidak begitu tertarik melihat ke bawah lagi.

”Mengapa pesawat berbelok arah?” tanyaku pada penumpang di sebelahku. Dia lelaki muda. Tapi dia tak menjawab pertanyaanku. Aku gelisah. Celingak-celinguk mencari pramugari ingin menanyakan tentang hal ini. Aku sudah ketakutan. Jangan-jangan pesawat ini rusak. Atau mesin mati sebelah. Atau ekornya terbakar...dan segala macam hal yang mengerikan selalu aku bayangkan kalau di pesawat. Aku meminum berkali-kali sisa jus apel di gelas plastik untuk menenangkan pikiranku. Kotak kue yang dibagikan tak kusentuh sama sekali. Biasanya aku suka membawanya pulang untuk Suci dan Farah.

Aku coba cari orang yang aku kenal di pesawat ini. Ada Andi. Dia seorang perwira dari satuan Brimob Gegana, pasukan penjinak bom dari markas Mangga Dua Depok. Aku tadi melihatnya beserta keluarganya waktu transit di Polonia. Mereka ada sekitar 7 orang. Andi aku kenal tahun 2001, ketika dia bertugas sebagai aparat BKO di Banda Aceh. Aku masih menjadi wartawan Analisa waktu itu. Aku mengenalnya saat persidangan adhock di Banda Aceh terhadap pasukan tentara yang menembak mati Tgk Bantaqiah dan pengikutnya di Beutong Ateuh.

Andi tak jelas duduk dimana. Aku hanya melihat adiknya saja.

Tiba-tiba suara pilot terdengar dari speaker. ”Bapak dan Ibu yang terhormat. Kami mohon maaf atas ketidak nyamanan ini.” Deg...aku semakin pucat. Tuh kan benar ada yang tak beres.

”Kita harus kembali ke bandara Polonia di Medan. Ada gempa di Banda Aceh sehingga kita tidak bisa mendarat.” ucap sang Pilot lagi.

Ah, sit... Kenapa gempa, pesawat tidak bisa mendarat? Aku membayangkan landasan retak-retak. Dan pesawat akan goncang ketika mendarat kalau tiba-tiba datang gempa. Oh jadi maklum. Aku membayangkan lagi. Sebesar apa gempanya? Oh, rumahku, pasti piring berantakan. Atau tembok ruang tengah yang belum diplester jangan-jangan ambruk.

Aku menjadi sedikit lega. Artinya bukan pesawat yang rusak. Artinya aku akan selamat. Itu yang penting. Tapi gimana Banda Aceh? Oh biasanya gempa tidak parah. Dulu waktu aku kelas 2 SD tahun 1982 pernah ada gempa besar di Banda Aceh. Memang banyak bangun rusak. Tapi tidak parah sekali. Mungkin ibu sekarang sibuk beres-beres kalau ada yang berantakan di rumah.

Rumah sudah selesai direhab. Semua sudah komplit, termasuk aliran listrik sudah dipasang. Aku akan mulai pulang lagi ke Lamjame, ke rumah ayah yang baru kami renovasi. Kami baru memindahkan barang tanggal 2 Desember 2004. Dan 3 hari kemudian aku sudah berangkat ke Jakarta. Kamar mandi baru, dapur baru. Hmmm, sungguh menyenangkan membayangkan tinggal di rumah yang serba baru.

Aku sebenarnya akan pulang pada hari libur Natal kemarin. Karena aku harus cepat pulang mengurus mesin air di rumah yang belum sempat dibeli. Tapi aku kemudian membatalkan tiket hari itu, karena si Mpok, temanku di Jakarta mengajak aku jalan-jalan lagi setelah pada Jumatnya dia mengajakku ke Dufan bersama Meji, istri dan anak-anaknya. Mpok Rini PWI, adalah seorang perempuan menjelang senja yang begitu menyenangnya sebagai sahabat. Dia mantan wartawan Majalah Tempo. Meji adalah teman kami, seorang fotografer di Aceh yang bekerja untuk kantor berita Reuters. Kami diajak jalan-jalan melihat Dufan. Sebuah acara jalan-jalan yang membuat aku perang dingin dengan seseorang karena aku pulang larut malam.

Ibu sempat kirim sms kemarin sore. Dia katanya mau menginap di Lampulo, karena ada acara keluarga di salah satu rumah sanak famili. Semalam, waktu aku sedang di bajaj bersama Mpok menuju Kemang untuk makan malam, aku melihat ada panggilan telepon dari ibu di hp ku. Tapi sampai tadi subuh aku mau berangkat ke Cengkareng, aku tak sempat menelpon balik,. Atau malas menelpon tepatnya. Toh ntar jam 10 aku udah sampai di rumah. Aku udah pesan jauh hari, kalau aku pulang aku minta dibuatkan sambal udang pakai kentang kesukaanku. Aku tadi pagi terburu-buru ke Cengkareng karena sulit dapat taxi. Aku terpaksa minta pembantu kosan mencari taxi dekat Hotel Four Season dan akhirnya dapat naik Silverbird.

Akhirnya kami mendarat di Polonia sekitar setengah jam kemudian. Dari kasak kusuk orang-orang di bandara baru ketahuan tadi sebelum jam 8 ada gempa besar sekali terasa di Medan. Oh di Medan tidak banyak yang rusak. Berarti di Banda Aceh juga begitu. Itu pikiranku. Padahal sebelum jam 9 ketika transit di Polonia aku sempat lari-lari membeli kue lapis legit dan bika ambon, tak ku dengar cerita ada gempa barusan di Polonia. Mereka tenng-tenang saja.

Tapi ada kabar lain lagi. Air laut naik. Ada orang di Banda Aceh sempat telepon ke salah satu orang di bandara Polonia. Air laut sudah sampai ke Mejid Jamik Lamprit, depan RSU Zainal Abidin. Ya ampun. Bahkan katanya air dengan lumpur sampai ke bandara Balangbintang. Aku pun membayangkan landasan penuh lumpur kuning, makanya pesawat tak bisa mendarat.

Aku melihat dua perempuan mulai menangis. Mereka mengaku tinggal di Uleeleu, sebuah pemukiman dekat pantai. Nah, aku juga melihat Andi dan keluarganya bergerombolan. Aku menegurnya, dan dia masih kenal aku.

Andi ternyata lagi memboyong keluarganya karena beberapa hari lagi dia akan menikah dengan seorang Polwan di Punge. Oh, ya ampun. Aku melihat dia sibuk menelpon. Mungkin dia mencoba menelpon calon istrinya di Banda Aceh, tapi sepertinya tidak tersambung. Aku coba menelpon juga, tapi hp ku hanya mengeluarkan bunyi tulalit. Aku mencoba menelpon keluarga ku di Medan dan kenalanku di Jakarta. Tapi tak tersambung. Aku heran, Andi bisa menelpon.

Setelah ku tanya-tanya, semua nomor telkomsel area Banda Aceh eror. Sedangkan telkomsel luar Banda Aceh, bisa berfungsi di Medan ini.

Dalam kegelisahan, kebingungan, kesedihan, ketakutan, para penumpang masih berupaya menekan pihak Garuda untuk tetap menerbangkan penumpang ke Banda Aceh. Tapi mereka tidak memberikan jawaban pasti. Hanya bisa menunggu. Dua penumpang perempuan yang menangis tadi sepertinya berinisiatif melanjutkan perjalanan dengan bus, karena ku lihat ada mobil jemputan dari armada Pelangi menunggu di luar. Ini armada bus terkenal yang melayani trayek Banda Aceh-Medan lintas timur Aceh.

Aku melihat dua perempuan itu diwawancarai wartawan. Sudah ada beberapa wartawan tv di Polonia. Kami mencoba melihat berita di tv yang ada di bandara, tapi tidak ada informasi apapun.

Maka dengan berat hati kami mulai mengambil barang bagasi. Sambil mendaftarkan tiket untuk penerbangan yang tak jelas kepastiannya kapan.

Dan aku pulang ke rumah Kak Tuni, kakak sepupuku di Jalan Garu I. Aku menjerit memanggil dan dia keluar dengan hebohnya bercerita ada gempa. Aku menangis. Mengatakan aku takut ada terjadi apap-apa dengan keluarga di Banda Aceh.

Setelah membeli sebuah nomor simpati baru area Medan maka aku bisa menelpon kembali. Aku menelpon Joko, adikku yang tinggal di Balikpapan. Busyet..dia lagi enak-enakan kelonan sama istrinya di kamar dan tidak tahu ada gempa di Banda Aceh. Dia memang baru 3 bulan menikah dan kini istrinya lagi hamil muda.

Aku duduk di depan tv melihat Metro TV. Sudah ada informasi di berita berjalan...ada gempa di Banda Aceh. 10 ribu orang tewas. Masya Allah. Aku menjerit membayangkannya. Itu luar biasa. Siapa yang mati? Kenapa mati? Kenapa begitu banyak korban. Tidak pernah ada bencana di Aceh yang memakan korban demikian banyak. Aku membayangkan banyak gedung rubuh.

Aku menelpon Joko dengan menjerit-jerit histeris. Aku menyuruh dia membuka tv. Sontak dia pun histeris, menangis, padahal dia laki-laki. Aku meminta dia menghubungi Ayu, adikku nomor dua di Jepang. Siapa yang bisa menghubungi Ayu? Ohya ada Ryan, pacaranya di Jakarta. Joko akan menelpon Ryan agar menghubungi Ayu di Jepang.

Berita pertama secara jelas muncul di Metro TV pukul 12 siang. Ada gambar dari Lhokseumawe. Ada mayat anak-anak diletakkan berjejer di sebuah ruangan. Ada keluarga yang menjerit, ada gambar orang-orang yang berlarian. Ada gambar sebuah desa yang porak poranda penuh air, dimana petugas PMI mengangkat mayat. Ada seorang ibu memeluk anaknya sambil histeris ”Maya lon,”

Dan kami di rumah pun tak kuasa menahan tangis kami. Sudah jelas. Aceh sedang terkena bencana gempa. Ada banyak korban. Lantas bagaimana dengan ibu? Suci? Farah? Apa mereka kena bangunan yang runtuh? Ibu luka?

Dan berita tentang gempa di Aceh muncul di seantero tv.


27 Desember 2004

Aku berlari menuju tempat tiket pesawat di bandara Polonia. Baru setengah jam lalu aku berada di Perwakilan Garuda Medan, untuk menanyakan jadwal pesawat ke Banda Aceh. Dan segera aku diberitahu untuk ke Polonia untuk boarding karena ada pesawat jam 1 siang nanti.

Maka aku sempat menelpon Nuki, anak Kak Tuni untuk membawa barangku yang super banyak dengan naik taxi ke Polonia. Jadi aku tidak pulang lagi ke rumah.

Saat aku sibuk mengurus tiket ku, Ayu menelpon dari Jepang. Dan dia menangis-nangis. Memanggil-manggil nama ibu. ”Rini gimana ibu?” Dia membaca berita di internet, Banda Aceh tsunami. Ya...aku sudah mengetahuinya kemarin tepatnya sore dari berita di tv. Diperkirakan gempa besar kemarin pagi telah menimbulkan tsunami yang dasyat di Aceh. Seperti apa tsunami itu tidak pernah terbayangkan olehku.

Mungkin air laut naik. Sampai ke rumahku? Mungkin airnya pelan. Jadi rumahku mungkin banjir kemarin. Gimana barang-barang? Ijazah, laptop ku yang dalam lemari? Dan ya Allah, kucing-kucingku... Mereka mungkin naik ke atas loteng rumah atau manjat pohon ketika air datang. Itu harapanku.

Akhirnya sudah bisa dipastikan aku bisa pulang siang ini ke Banda Aceh. Aku melihat rekan-rekan penumpang Garuda kemarin yang batal berangkat sepertiku. Setelah barangku datang aku segera check in. Dan sudah pukul 11 siang aku duduk dengan gelisah di ruang tunggu. Aku menyapa Dani temannya Joko yang juga satu pesawat dengan ku sejak kemarin.

Kami mendengar cerita dari seorang bapak. Dia tadi pagi sampai ke Medan dengan menumpang pesawat Jatayu. Itu pesawat paling pagi masuk Banda Aceh dan kembali ke Medan membawa penumpang dari Banda Aceh termasuk si Bapak.

”Air laut sampai menghantam sisi dinding mesjid raya;” ceritanya. Kami terus bertanya, apa air lautnya tinggi. Tapi deskripsinya tidak membuat aku membayangkan semengeri kenyataannya.

Kami melihat gambar pertama dari Banda Aceh muncul di Metro TV pukul 12.00 laporan dari Najwa Shihab. Ada banyak mayat digotong ke lobi pendopo gubernur. Masya Allah. Aku menangis. Orang-orang di bandara bergerombolan di depan tv. Dan para perempuan seperti ku menangis. Kami mengkhawatirkan keluarga kami. Tak ada informasi jelas bagaimana keadaan di Banda Aceh. Tidak bisa menghubungi seorangpun di Aceh hingga saat ini.

Siang itu Garuda berangkat dengan pesawat Airbus. Tiga kali lebih besar dari pesawat regular yang kami tumpangi kemarin. Aku melihat temanku Maria, wartawan dari Asahi Sinbun beserta 2 teman Jepangnya. Mereka sudah biasa aku jumpai sejak liputan Milad GAM 1999. Dan banyak wartawan lainnya lagi.

Luar bias. Pesawat itu penuh. Kami duduk seperti masuk dalam bis. Tidak berlaku nomor kursi. Aku menangis lagi sejak masuk pesawat. Kekawatiranku kali ini memuncak tentang Ibu, Farah dan Suci. Sepertinya bencana ini tidak main-main. Kalau tidak mengapa demikian banyak orang mau masuk ke Aceh terutama wartawan. Di sebelahku duduk seorang bapak masih dengan pakai dinas dari PLN. Dia bilang ditugaskan untuk memulihkan aliran listrik sesegera mungkin diAceh.

Aku membaca yasin dan alfatihah berkali-kali. Hatiku mengatakan ibu dan adik-adikku mungkin tidak selamat. Mereka ada di Lampulo atau di Lamjame, di tempat yang memang benar-benar hancur luluh lantak oleh terjangan gelombang tsunami. Tangisku tak dapat ku bendung.

Akhirnya kami terbang juga menuju Banda Aceh. Ketika pesawat mulai merendah dan membelok dari atas laut Sabang kami melihat laut. Dan semua penumpang nekat bergerombolan dekat jendela pesawat. Pramugari tak dihiraukan meski berkali-kali meminta penumpang duduk dan memasang sabuk pengaman karena pesawat akan mendarat. Aku juga tidak peduli. Aku berdiri dari deretan kursi tengah menuju bangku sebelah kanan melihat ke luar jendela. Masya Allah, lautan penuh sampah seperti kayu dan segala macam tak jelas. Panjangnya bisa berkilometer memenuhi panjang pantai di dekat Banda Aceh. Dan itu, di bawah, aku tak melihat padatan atap rumah seperti biasanya. Tapi hanya tanah kosong hitam seperti penuh titik-titik putih tak jelas. Air masih menggenang di daratan.

Aku cepat-cepat kembali ke tempat duduk karena pramugari memberi peringatan lagi. Kami mendarat dengan kesedihan mendalam.

Tidak ada komentar: